Senin, 29 April 2013

Gejala kejiwaan pada manusia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT melalui fase-fase pertumbuhan dan perkembangan, yang dalam prosesnya mengalami interaksi (saling mempengaruhi) antara kemampuan dasar (pembawaan) dengan kemampuan yang diperoleh (hasil belajar/pengaruh lingkungan).
Terdapat perbedaan pendapat dalam pengertian pertumbuhan perkembangan pertumbuhan diartikan ahli biologi sebagai suatu penambahan dalam ukuran bentuk, berat atau ukuran dimensi tubuh, perkembangan dimaksudkan untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk atau bagian tubuh dan integrasi berbagai bagiannya ke dalam suatu kesatuan fungsional, bila pertumbuhan itu berlangsung. 
Langfeld dan boring, menggunakan pengairan kematangan untuk pertumbuhan, sedang, perkembangan, diterapkan pada baik sebelum tingkah laku yang tidak dipelajari itu terjadi, maupun sebelum terjadinya proses belajar dari tingkah laku yang khusus. 
Istilah “kematangan” mencakup didalamnya pengertian pertumbuhan dan perkembangan, maka seseorang telah dianggap “matang”, apabila fisik dan psikisnya masalah pertumbuhan dan perkembangan, telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai pada tingkat-tingkat tertentu.
Sedangkan istilah “perkembangan” adalah berhubungan erat dengan pertumbuhan maupun kemampuan-kemampuan pembawaan dari tingkah laku yang pekat terhadap rangsangan-rangsangan sekitar.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Gejala-gejala Kejiwaan Pada Manusia
1.      Persepsi 
Di dalam psikologi, proses sensasi dan persepsi berbeda sensasi ialah penerimaan stimulus melalui ialah indera, sedangkan persepsi adalah menafsirkan stimulus yang telah ada dalam otak. 
Sensasi tanpa persepsi/sensasi murni jarang terjadi sensasi murni mungkin terjadi dalam peristiwa dimana rangsang warna ditunjukkan untuk pertama kali kepada seseorang yang sejak lahirnya buta dan tiba-tiba dapat melihat.
Pada bayi yang baru lahir, bayangan-bayangan yang sampai ke otak masih bercampur aduk, sehingga belum dapat membedakan benda-benda dengan jelas. Makin besar anak itu makin baiklah struktur susunan syarat otaknya sehingga mampu mengenali obyek satu persatu. 
2.      Belajar dan Berfikir 
Belajar adalah suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi/rangsang yang terjadi. 
Pada manusia proses belajar tidak hanya menyangkut aktifitas berfikir saja, tetapi terutama menyangkut kegiatan otak, yaitu berfikir. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prose belajar. 
a)      Waktu istirahat, dalam waktu istirahat sebaiknya tidak banyak melakukan kegiatan yang mengganggu pikiran 
b)      Pengetahuan tentang materi yang dipelajari secara menyeluruh. 
Untuk melakukan hal ini diperlukan taraf kecerdasan yang relatif tinggi.
c)      Pengertian terhadap materi yang dipelajari. Tanpa pengertian kita akan mendapat kesulitan. 
d)     Pengetahuan akan prestasi sendiri. Pengetahuan dan prestasi sendiri akan mempercepat kita dalam mempelajari sesuatu. 
e)      Transfer. Transfers dapat bersifat positif. Jika hal yang lalu mempermudah proses belajar yang sekarang/dapat juga bersifat negatif jika proses belajar yang lalu justru mempersulit proses belajar yang sekarang. 
Sudah dikatakan diatas, bahwa proses belajar pada manusia erat sekali hubungannya dengan proses berfikir, yaitu tingkah laku yang menggunakan ide. 
3.      Mengingat 
Ingatan adalah bukti bahwa seseorang telah belajar, semua orang mengingat banyak hal setiap harinya, tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang di ingatnya karena itu, mengingat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan sekarang tentang pengalaman masa lampau. 
Mengingat dapat terjadi dalam beberapa bentuk :
a)        Rekognisi adalah mengingat sesuatu apabila sesuatu itu dikembangkan pada indera. 
b)        Redall adalah apabila kita sadar bahwa kita telah mengalami sesuatu dimasa lampau tanpa mengenakan pada indera kita 
c)        Reproduksi adalah mengingat dengan cukup tepat untuk memproduksi bahan yang pernah dipelajari. 
d)       Performance adalah mengingat kebiasaan,-kebiasaan yang sangat otomatis. 
Untuk melakukan semua itu pertama-tama kita harus memperoleh materinya yang merupakan langkah utama dalam keseluruhan proses yang bertitik puncak pada mengingat. 

4.      Emosi 
Menurut English and English, emosi adalah “A com plex feeling state accompanied by characteristic motor dan glandular act ivies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). 
Emosi merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu, baik pada tingkat yang lemah maupun tingkat yang kuat. 
Warna efektif pada seseorang mempengaruhi pula pandangan orang tersebut terhadap obyek atau situasi di sekelilingnya ia dapat menyukai atau tidak menyukai sesuatu.
Emosi dapat dikelompokkan keadaan 2 bagian, yaitu: 
a.       Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh 
b.      Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, meliputi: 
a.       Perasaan intelektual 
b.      Perasaan social
c.       Perasaan susila
d.      Perasaan keindahan
e.       Perasaan ketuhanan 
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologi mengandung ciri-ciri sebagai berikut: 
1)       Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologi lainnya seperti pengamatan dan berfikir 
2)       Bersifat fluktuatif (tidak tetap) 
3)       Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera. 
B.     Proses Berpikir
Mengenai soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang menganggap sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini dikemukakan oleh kaum Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons. Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi. Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang.
Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologisKemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang relatif berbeda.
Ada berbagai jenis dan tipe berpikir. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir langsung. Berpikir autistik (autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi. Berpikir langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Gejala-gejala Kejiwaan Pada Manusia
1.      Persepsi 
2.      Belajar dan Berfikir 
3.      Mengingat 
4.      Emosi 
Ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi.
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang.


DAFTAR PUSTAKA

Gejala yang ditimbulkan pada kejiwaan manusia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan roh menjadi sebuah teka-teki bagi manusia; sejak dari masa sebelum Al-masih, masalah jiwa manusia atau roh ini menjadi bahan pembahasan pokok dalam dunia filosofi. Dimulai dari masa Socrates, Plato, Aristoteles, sampai Neo-Platonik, manusia berusaha untuk menerka apa dan bagaimana hakikat dari roh itu? Apakah itu riil ada atau hanya sebuah kiasan kata yang tidak mempunyai bentuk makna sama sekali.
Adalah Socrates yang beranggapan bahwa badan manusia adalah alat dari jiwa manusia yang diibaratkan dengan kapal dan nahkodanya: nahkodanya adalah jiwa dan kapalnya badan, dan badan tidak lebih dari sekedar alat bahkan dianggap sebagai penjara bagi jiwa, karena dengan adanya jiwa dalam tubuh itu membuat jiwa tidak bebas bergerak dan berfikir. Alasan inilah yang menyebabkan dia tidak menolak atau lari dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya untuk minum racun, dan ia malah menyambutnya dengan senang hati karena ia akan terlepas dari penjara badan dan akan bebas untuk berfikir.
Plato adalah murid dari Socrates yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Socrates, dia menganggap bahwa dunia ini dan segala yang ada hanyalah bayangan dari sebuah alam, alam lain, yang terpisah dari alam ini, yang disebut alam ideal (alam hakiki), dan segala yang ada di alam ini adalah semu. Dengan demikian badan kita bukanlah badan sebenarnya, menurut dia, karena masih ada alam lain yang merupakan alam sebenarnya.
Datang setelah Plato, sebuah aliran baru yang bernama aliran Aristoteles, yang lebih rasionalis dan mengembalikan pikiran manusia dari dunia khayal atau dunia langit ke bumi, karena dia memandang segala sesuatu atas apa yang terjadi atau fakta, dia tidak meyakini akan adanya alam ideal, dan ia menganggapnya ia hanyalah sebuah istilah yang tidak ada dalam realita. maka diapun beranggapan bahwa jiwa itu mati setelah badannya mati.
BAB II
PEMBAHASAN
          A.      Gejala Pengenalan (Kongnisi)
1.      Pengindraan atau pendirian
ialah penyaksian indera kita atas rangsangan yang merupakan suatu kompleks(suatu kesatuan yang kabur, tidak jelas) dalam pengindraan atau unsur-unsur dari rangsangan sebelum terurai masih menjadi satu. Bahkan diri kitapun seakan-akan termasuk di dalamnya menjadi jiwa kita pasif. Misalnya: pengindraan kita atas pengindraan yang simpang siur di jalan raya.
2.      Pengamatan (pencerapan perception)
Ialah hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk meyadari adanya perangsang, dalam pengamatan dengan sadar orang dapat pula memisahkan unsur-unsur dari objek tersebut. Misalnya: becak melampaui kita, mula-mula tampak dalam kebalutannya(pengindraan), tetapi kemudian makin jelas cahaya, belnya. Pengendaraanya, rodanya dsb.
3.      Tanggapan
Dapat diartikan sebagai gambaran ingatan dari pengamatn, dalam mana objek yang telah diamati tidak lagi berada dalam ruang dan waktu pengamatan, jadi proses pengamatan sudah berhenti dan hanya tinggal kesan-kesannya saja.
Ptabila tanggapan-tanggapan yang kita sadari itu langsung berpengaruh pada kehidupa kejiwaan (berpikir, perasaan dan pengenalan) maka fungsi tanggapan tersebut sebagai “fungsi primer”


4.      Reproduksi dan assosiasi
Reproduksi ialah pemunculan tanggapan-tanggapan dari keadaan dibawah sadar (tidak disadari) ke dalam keadaan didasari, reproduksi juga dapat terjadi adanya perangsang atau pengaruh dari luar dan reproduksi dapat juga muncul dengan sendirinya/tidak sengaja dan tidak terseba. Jadi secara spontan muncul dalam kesadaraan.
5.      Ingatan (memory)
Ialah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan dan memproduksi kesan-kesan jadi ada 3 unsur dalam perbuatan ingatan: menerima kesan-kesan, menyimpan dan memproduksikan
6.      Fantasi (khayalan)
Ialah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru, dengan kekuatan fantasi manusia dapat melepaskan diri dari  keadaan yang di hadapinya dan menjangkau kedepan. Ke keadaan-keadaan yang menjangkau kedepan, ke keadaan-keadaan yang akan mendatang.
7.      Berpikir (thinking)
Adalah merupakan aktifitas psikis yang intensional, dan terjadi apabila seseorang menjumpai problema(masalah)yang harus dipecahkan.
8.      Intelegensi (kecerdasan)
Perkataan inteligensi berasal dari kata latin”intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain ( organizme, torelate, to bind, to gether)

9.      Intuisi
Intuisi ialah : pandangan batiniah yang seta merta tembus mengenai satu  peristiwa atau kebenaran, tanpa perurutan pikiran, mirip ilham.
           B.      Gejala Perasaan
Perasaan termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang. Hanya corak dan tingkatannya tidak sama. Tapi perasaasn juga sering berhubungan dengan gejala mengenal.
Perasaan adalah sutu keadaan kerohaniaan atau peristiwa kejiwaan yang kita alami dengan senang atau tidak sengan hubungan dalam peristiwa mengenal dan berifat subyektif.
Perasaan lebih sama dengan pribadi seseorang dan berhubungan pula dengan gejala-gejala jiwa yang lain. Oleh sebab itu tanggapan perasaan orang terhadap sesuatu tidak sama bagi tanggapan perasaan orang lain terhadap hal yang sama.
Sebagai contoh, ada 2 orang bersama-sama menyaksikan suatu lukisan, seorang di antaranya menanggapi lukisan tersebut dengan rasa senang dan kagum. Tapi seorang yang lain menangapi lukisan tersebut dengan acuh tak acuh. Dengan penilaian yang berbeda.etu semua bersifat subyektif dan subyektif ini berhubungan erat dengan keadaan pribadi masing-masing.
Karena adanya sifat subyektif pada perasaan maka segala perasaan tidak dapat di samakan dengan gejala mengenal, pengamatan, pikiran dan sebagainya.
Pengenalan hanya bersandar berdasarkan pada kenyataan, sedangkan perasaan sangat dipengaruhi tafsiran sendiri dari orang yang megalaminya.
Perasaan merupakan gejala kejiwaan yang bersangkut paut atau berhubungan erat dengan gejala-gejala jiwa yang lain, antara lain dengan gejala mengenal
          C.      Gejala Campuran/sempurna
a.      Perhatian dan kesadaran
Perhatian adalah keaktifan jiwa yang diarahkan kepada sesuatu obyek baik di dalam maupun di luar dirinya. Perhatian berhubungan erat dengan kesadaran jiwa terhadap sesuatu ovyek yang di reaksi pada sesuatu waktu. Terang tidaknya kesadaran kita terhadap sesuatu obyek tertentu tidak tetap ada kalanya kesadaran kita meningkat  ( menjadi terang) dan ada kalanya menurun (menjadi samara-samar).
Taraf kesadaran kita akan meningkat kalau jiwa kita dalam mereaksi sesuatu meningkat juga, apabila taraf kekuatan kesadaran kita naik atau menjadi giat karena suatu sebab, maka kita tidak dapat permulaan perhatian. Perhatian timbul dengan andanya pemusatan kesadaran kita terhadap sesuatu
Adanya kemauan yang kuat
b.      Macam-macam perhatian
  1. Perhatian spontan dan disengaja :
Perhatian spontan ialah perhatian yang timbul dengan sendirinya tanpa adanya dorongan atau kemauan. Sedangkan perhatian sengaja yaitu perhatian yang timbul karena di dorong oleh kemaua
  1. Perhatian statis dan dinamis
Perhatian statis : perhatian yang tetap terhadp sesuatu. Misalnya: seseorang anak memperhatikan sekali pelajaran seni suara. Agaknya pelajaran itu cocok untuknya, dalam waktu agak lama. Perhatiannya tidak mudah berpindah-pindah dari obyek satu ke obyek yang lain.
Perhatian dinamis: perhatian yang mudah berubah-ubah, mudah berpindah-pindah dari obyek satu ke obyek yang lain.
  1. Perhatian konsentratif dan distributif
 Perhatian kensentratif yakni perhatian yang hanay ditujukan pada satu obyek masalah tertentu sedangkan perhatian distributive adalah perhatian kepada beberapa arah dengan sekali jalan.
  1. Perhatian sempit dan luas.
Orang yang mempunyai perhatian sempit dengan mudah memusatkan perhatian terhaap suatu obyek yang terbatas sedangkan perhatian luas mudah sekali tertarik oleh kejadian-kejadian sekelilingnya.
  1. Perahatian fiktif dan fluktuatif
Perhatian fiktif yakni perhatian yang mudah dipusatkan pada suatu hal dan boleh di katakana bahwa perhatian dapat melekat lama pada obyeknya sedangkan fluktuatif dapat memperhatikan bermacam-macam sekaligus. Tetapi kebayakan tidak seksama.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Macam-macam gejala yang mempengaruhi kejiwaan manusia
1)      Gejala Pengenalan (Kongnisi)
a.         Pengindraan atau pendirian
b.         Pengamatan (pencerapan perception)
c.         Tanggapan
d.        Reproduksi dan assosiasi
e.         Ingatan (memory)
f.          Fantasi (khayalan)
g.         Berpikir (thinking)
h.         Intelegensi (kecerdasan)
i.           Intuisi
2)      Gejala Perasaan
3)      Gejala Campuran/sempurna
a.       Perhatian dan kesadaran
b.      Macam-macam perhatian
1.      Perhatian spontan dan disengaja :
2.      Perhatian statis dan dinamis
3.      Perhatian konsentratif dan distributif
4.      Perhatian sempit dan luas.
5.      Perahatian fiktif dan fluktuatif



DAFTAR PUSTAKA
·         http://dedenwahyudi.files.wordpress.com/.../gejala-gejala-jiwa-pada-manusia.doc

FUNGSI PROFETIK AGAMA DI DALAM HUKUM


FUNGSI PROFETIK AGAMA DI DALAM HUKUM
A.    Pesan Profetik Agama
Salah satu imbas dari merekahnya reformasi pertengahan 1998 adalah hidupnya demokrasi yang memberi ruang kepada agama untuk berperan secara lebih leluasa. Dalam rentang waktu itu pula peran agama selalu mengundang kontroversi karena beragamnya perspektif, interpretasi, dan ekspektasi dari pemeluknya saat memasuki ruang publik. Pada satu sisi, terdapat ’’mazhab’’ yang menganjurkan sentralitas peran agama di tengah-tengah ruang publik (teokrasi); tetapi pada sisi lain ada yang menghendaki sublimasi agama ke wilayah privat (sekular).
Secara substantif, polarisasi dua kutub aliran itu bermuara pada keharusan agama tetap keep updated dengan etos kehidupan publik serta mempertahankan relevansinya di ranah publik. Dari sinilah muncul tuntutan agar agama mampu bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi seperti good governance, hak asasi manusia (HAM), ketertiban sipil, dan ketaatan hukum. Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik?
Buku Islam Profetik, Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik karya Masdar Hilmy ini berusaha mengurai masalah itu dengan ’’agak’’ tuntas. Buku ini terbagi dalam empat bagian dengan bahasan yang cukup menohok pola keberagamaan Indonesia kontemporer. Bagian pertama berisi tentang berbagai fenomena kehidupan yang makin menjauh dari pesan profetik agama, serta bagaimana ’’santri’’ menafsir makna zaman pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga membahas kesalehan sosial masyarakat multikultural, dan ditutup dengan bahasan ruang publik yang tidak privat.
Melihat beragam bahasannya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu upaya menempatkan teks suci tidak berhenti pada kodratnya sebagai teks saja. Lebih daripada itu, teks harus dijadikan sebagai kekuatan substansial yang mendorong perubahan di ranah publik. Upaya imperatif ini penting dilakukan karena tidak sedikit kenyataan sosial yang menunjukkan adanya paradoks keagamaan, seperti maraknya korupsi yang dilakukan orang yang justru dikenal ’’agamis’’. Padahal dalam tataran normatif, agama selalu mengandaikan kehadiran unsur-unsur Ilahi dalam setiap tingkah laku manusia sebagai konsekuensi ke-Maha Hadir-an Tuhan.
Bagi umat muslim yang mayoritas di negeri ini, Masdar menyatakan bahwa ’’cermin besar’’ keteladanan itu sesungguhnya bisa dilacak dalam diri Nabi Muhammad Saw dalam segala aspek kehidupannya. Dosen Pascasrajana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menekankan, pemaknaan terhadap keteladanan itu tidak boleh dilakukan secara harfiah dan sepotong-potong, tetapi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif.
B.     Kesadaran Profetik
Kesadaran profetik ini penting karena fenomena kehidupan kekinian terlihat makin menjauh dari semangat kenabian, dengan maraknya kekerasan, terorisme, kriminilitas, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketertindasan, keangkuhan, pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Sedangkan Islam profetik mempunyai misi membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu kemanusiaan tersebut, serta mengajak mereka melakukan perubahan menuju kurva positif.
Untuk memunculkan kesadaran profetik setidaknya ada dua jalan yang mesti ditempuh. Yaitu membebaskan agama dan mengkonstruksinya menjadi agama yang membebaskan. Langkah pertama meniscayakan pembacaan agama yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, serta pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan. Artinya, pembacaan agama yang bersifat teosentris (manusia untuk agama) harus diubah menjadi antroposentris (agama untuk manusia).
Pembebasan umat dari kungkungan teks-teks yang membelenggu aspek kemanusiaan inilah secara otomatis melahirkan agama yang membebaskan. Dalam tahap ini ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Pesan ini selaras dengan perjalanan Nabi Muhammad Saw yang semasa hidupnya setidaknya melakukan tiga pembebasan besar bagi umat dan masyarakatnya dalam bidang sosio-kultural, ekonomi, serta penyikapan terhadap agama yang berlainan
C.    Profetik Agama
Agama rakyat merupakan keyakinan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan menjadi pendorong serta penggerak terjadinya perbaikan dan perubahan, yang kadang dipengaruhi faktor kekuasaan. Agama rakyat itu merupakan agama monoteisme yang melakukan perlawanan terhadap agama multiteisme. Agama multiteisme meniscayakan dirinya sebagai pendukung banyak kebenaran yang hakikatnya kebodohan dan kerusakan. Sebab kebenaran dan keadilan memiliki substansi pada suatu kausa prima yang teraktualkan oleh manusia melalui sikap dan tingkah lakunya.
Agama rakyat dalam realitasnya dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki banyak sisi. Artinya realitas sosial selalu dipengaruhi oleh posisi agama. Olehnya itu, Zainuddin Maliki menuliskan bahwa tesis agama rakyat dengan melihat fungsi-fungsinya dalam masyarakat, dapat di kemukakan berikut :
Pertama, Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan penyatu dan kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meskipun menghadapi perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat memiliki keyakinan dan kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem sosial.
Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan kualifikasi tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak ke arah integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan-pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang menganggap agama rakyat tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.
Kedua, legitimasi. Di sini agama rakyat di posisikan sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya di tengah konflik sosial-politik dan ketidak-pastian. Antara pemimpin dan yang di pimpin merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem sosial. Dalam hal ini karakteristik otoritas pemimpin akan menentukan legitimasi di hadapan yang di pimpin. Karakteristik itu bisa berasal dari sumber tradisonal, legal rasional dan kharisma pemimpin.
Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan persetujuan masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat merupakan fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis, tetapi berubah kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya munculnya agama rakyat mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan masyarakat.
Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial yang autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara episodik sesuai kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya dalam hal ini, pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi kekuasaan dan otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.
Ketiga, Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang sedang dicapainya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme dan lebih memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan kenestapaan.
Agama rakyat memposisikan dirinya sebagai medium pembebasan atas segala kerusakan dan kebobrokan yang menimpa termasuk dilakukan oleh penguasa. Dalam hal ini jika penguasa merupakan pendukung status quo maka agama rakyat menjadi pendukung perubahan yang anti kemapanan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden. Nilai-nilai profetik keagamaan menjadi orientasi ideal serta motivasi dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan. Walhasil terjadi di kotomi antara agama rakyat yang pro-perubahan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden dengan pendukung realitas sosial yang rusak dan bobrok.
D.    Profetik Agama dan Hukum
Bisa dipastikan, misi profetik agama dapat memberi kontribusi bagi pembangunan. Setidaknya, ia mendorong terciptanya ruang yang kondusif bagi perkembangan demokrasi yang bisa menjamin berlangsungnya sebuah pembangunan. Pada titik inilah misi profetik agama bisa mengambil peran, yaitu membangun ruang publik demokratis, karena dengan ruang publik yang demokratis, kebebasan beragama dijamin dan pembangunan bisa berjalan.
Meski demikian, sering persoalan agama dan pembangunan, menjadi problem tersendiri. Keinginan dominasi negara dengan menancapkan kuku-kukunya yang tajam pada ranah privat agama bukan hanya membelenggu agama, tetapi juga melahirkan tindakan balas dendam agama untuk menguasai negara serta melahirkan gerakan radikal yang kemudian menebar teror di berbagai tempat. Politisasi agama merupakan bumerang bagi negara di satu sisi, dan agamanisasi politik yang ingin mensubordinasi negara di bawah agama ternyata lebih berdampak negatif pada agama serta menghancurkan hubungan yang harmonis antaragama di sisi lain.
Oleh karena itu, ketika agama memasuki ruang publik dalam rangka memperjuangkan kepentingan umum (maupun kepentingan agama itu sendiri) harus melalui perdebatan rasional, dan tidak boleh melampaui nalar publik (public reason). Yang dimaksud nalar publik di sini yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah kebijakan publik (atau undang-undang) dalam bentuk penalaran yang menyediakan kemungkinan bagi setiap warga negara untuk menerima, menolak, bahkan membuat usulan tandingan melalui mekanisme debat publik yang setara dan bebas paksaan.
Karena argumen publik bersifat intersubjektif, maka apa pun yang berasal dari agama tidak boleh "diutamakan" hanya karena ia berasal dari Tuhan. Ia hanya dapat diberlakukan setelah terbukti dapat diterima oleh penalaran publik. Hukum agama (agar bisa diberlakukan secara publik, misalnya), harus terlebih dahulu memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut nalar publik. Baik individu maupun kelompok agamawan yang hendak memublikkan agama juga harus melakukan persuasi melalui nalar publik, dan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang melampaui nalar publik, misalnya koersi (An-Na'im: 2007).
Dengan demikian, agama tidak memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka (kaum agamawan) memaksakan kehendak tertentu kepada negara tanpa melalui debat publik. Negara harus lebih leluasa dalam menentukan dan menjalankan kebijakannya, namun tetap melalui jalur nalar publik. Sebaliknya, individu atau kelompok agama tidak saja diberi kebebasan menjalankan ibadah, melainkan juga mengedepankan misi profetik agama mereka ke hadapan publik tanpa harus menyertakan atribut-atribut agama masing-masing.
Dengan kata lain, nilai atau pesan publik agama tidak boleh melampaui prinsip "kewarganegaraan", yaitu harus mengakui adanya kesamaan status warga negara jika mereka ingin diperlakukan sama. Karena itulah, kesediaan menerima paham kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal adalah merupakan prasyarat moral, hukum, dan basis politik agar dapat dinikmati manfaatnya secara bersama.
Pada konteks inilah misi profetik agama tentu akan mampu berkontribusi bagi pembangunan, karena peran publik agama tidak lagi dipaksakan terhadap seluruh warga negara, tetapi diposisikan sebagai milik bersama melalui nalar publik, tanpa harus diklaim sebagai bagian dari salah satu agama tertentu. Dengan demikian, ruang publik dipelihara dan diperkaya oleh nilai-nilai profetik agama tanpa dibajak oleh kepentingan-kepentingan atau simbol-simbol agama tertentu, sehingga ruang publik bisa dinikmati bersama oleh berbagai kelompok dan seluruh warga negara. Pada saat yang sama, nalar publik ini menyelamatkan martabat agama yang mengemban misi profetik. Dengan kata lain, masing-masing agama memberi kontribusi pada ruang publik tanpa adanya klaim-klaim atau menyertakan simbol agamanya masing-masing.
Paralel dengan hal tersebut, tak pelak lagi misi profetik agama bisa dilibatkan dalam pembangunan dengan pengaturan yang tepat seperti di atas. Apabila tidak menjadi bagian dari pembangunan, agama-agama itu tidak dapat memainkan peranan profetik ke arah terbentuknya wajah batin kesadaran sebuah negara (Soejatmoko: 1996).
Kepekatan politik negeri ini dan kekuatannya untuk bertahan pada akhirnya tidak semata-mata bergantung pada keberhasilan material semata, tetapi juga pada kemampuan kaum agamawan dalam menerjemahkan misi profetik agama ke dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (pembangunan). Jika agama gagal memainkan peran ini, maka akan membuka jalan bagi kekuasaan despotik -yang dangkal misi profetik- dan negara akan berhenti melaksanakan agenda pembangunan yang membebaskan, tapi malah destruktif.
DAFTAR PUSTAKA
·         http://putrakeadilan.blogspot.com/2009/03/agama-dan-kekuasaan-agama-sebagai.html
·         http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=189616
agraphCd�id@I�H7�'mso-margin-top-alt:auto;mso-margin-bottom-alt: auto;mso-add-space:auto;text-align:justify;text-indent:-18.0pt;mso-list:l1 level1 lfo6'>·         http://www.scribd.com/doc/19794351/Filsafat-Abad-Pertgahan-Pd-Masa-Patristik-Dan-Skolastik?secret_password=&autodown=doc