BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ovarium
terletak di kedalaman rongga pelvis. Bila timbul kanker, biasanya tanpa gejala
pada awalnya sehingga sulit ditemukan, membuat diagnosis tertunda. Ketika lesi
berkembang dan timbul gejala, sering kali sudah bukan stadium dini. Maka
terdapat 60-70% pasien kanker ovarium saat didiagnosis sudah terdapat
metastasis di luar ovarium.
Penyebab
kanker ovarium hingga kini belum jelas, tapi faktor lingkungan dan hormonal
berperan penting dalam patogenesisnya. Di dunia insiden kanker ovarium
tertinggi terdapat di Norwegia (15,3/100.000), terendah di Jepang
(3,2/100.000), selisihnya 5 kalilipat. Insiden pada orang kulit putih Amerika
Serikat adalah 12,9/100.000, lebih tinggi dari etnis Tionghoa yang bermukim di
Los Angeles (8,5/100.000), lebih tinggi dari China daratan (5,0/100.000) dan
Hongkong (5,8/100.000).
Tampilan
patologik kanker ovarium sangat rumit, terutama adalah tumor sel epitel
superfisial. Manifestasi klinisnya terutama berupa rasa tidak enak perut bawah
atau tenesmus, pada stadium awal dapat timbul asites; dengan cepat kanker
tumbuh melampaui kavum pelvis hingga ke abdomen hingga teraba massa; haid tidak
teratur, dapat timbul perdarahan per vaginam. Pemeriksaan USG, CT dan MRI
merupakan cara diagnosis utama.
Prinsip
terapi kanker ovarium adalah operasi sebagai dasar dari terapi kombinasi.
Lingkup operasi harus mencakup uterus dan penunjangnya, diekstensi hingga
membuang omentum. Prinsip terapi kanker ovarium stadium lanjut adalah dengan
syarat tidak membahayakan jiwa pasien, sedapat mungkin dilakukan operasi
regular, dan sedapat mungkin membuang lesi primer dan semua metastasisnya; jika
tidak dapat diangkat seluruhnya, paling baik mengurangi diameter lesi yang
tersisa hingga kurang dari 2mm, karena lesi kecil pasca operasi, khususnya
nodul dengan diameter kurang dari 2mm dapat dengan kemoterapi dan lainnya
dikendalikan hingga mencapai remisi jangka panjang, bahkan kesembuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor Penyebab Kanker pada Ovarium
Hingga saat
ini, belum diketahui secara pasti penyebab kanker ovarium. Meskipun demikian,
faktor pemakaian obat secara berlebihan dicurigai dapat memicu munculnya kanker
ovarium. Selain itu, penggunaan obat-obat kesuburan dalam jangka waktu lama
juga diduga dapat meningkatkan risiko serangan penyakit tersebut. Faktor
genetika bisa juga menjadi acuan karena sebanyak 10 persen penderitanya
ternyata memiliki keluarga yang juga menderita kanker ovarium.
Kini, sebuah
studi di Amerika Serikat (AS) mengaitkan kegemukan dengan peningkatan risiko
munculnya kanker ovarium. Studi itu melibatkan lebih dari 94.000 wanita berusia
51 hingga 71 tahun, yang dipantau selama lebih dari tujuh tahun. Hasil studi
itu, seperti dikutip Reuters, menunjukkan bahwa wanita yang mengalami obesitas
memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terserang kanker ovarium. Risiko itu
meningkat pada wanita yang tidak pernah melakukan terapi pengganti hormon (HRT)
selama masa menopause. Studi yang dilakukan sebelumnya mengaitkan hormon yang
digunakan untuk mengurangi risiko kanker ovarium.
Di antara
wanita yang tidak pernah melakukan HRT, mereka yang kegemukan memiliki risiko
83 persen lebih tinggi terserang kanker ovairum dibanding wanita dengan berat
badan normal.Penemuan yang dilaporkan dalam jurnal Cancer itu juga menunjukkan
bahwa obesitas merupakan salah satu faktor penyebab kanker ovarium yang dapat
dikendalikan. Menurut kepala peneliti dalam studi itu, Dr Michael L Leitzman
dari Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat (AS) di Bethesda, Maryland dan
Universitas Regensburg di Jerman, hasil. studi itu memberikan satu lagi alasan
bagi para wanita untuk menghindari kenaikan berat badan yang tidak sehat.
"Data kami menunjukkan bahwa mempertahankan berat badan yang sehat
berkaitan dengan penurunan risiko perkembangan kanker ovarium," kata
Leitzmann.
Belum jelas
mengapa obesitas memiliki kontribusi terhadap kanker ovarium, tetapi mungkin
hal itu berkaitan dengan efek lemak tubuh yang berlebihan terhadap kadar
estrogen dalam tubuh seorang wanita, kata Leitzmann dan para mitranya.
Kenyataan bahwa risiko terserang kanker ovarium itu bergantung pada penggunaan
HRT mendukung teori ini.Studi itu juga menemukan kaitan antara obesitas pada
usia 18 tahun dan peningkatan risiko terserang kanker ovarium pada usia lebih
tua ?- sebuah kaitan yang bahkan lebih kuat dibanding kaitan antara kegemukan
pada usia lebih lanjut dan kanker ovarium. Berat badan pada usia remaja mungkin
lebih relevan dengan kanker ovarium dibanding berat badan pada usia lebih
lanjut. Penelitian lain yang di lakukan para ilmuwan di AS juga menunjukkan
bahwa perempuan yang mengalami obesitas lebih rentan terkena kanker ovarium
ganas. Obesitas memang meningkatkan risiko perkembangan beberapa jenis kanker,
tetapi riset itu mengungkapkan bahwa jaringan lemak berpengaruh terhadap
perkembangan tumor.
Menurut hasil
penelitian yang dimuat dalam jurnal Cancer itu, sel lemak yang menghasilkan
hormon atau protein membuat kanker ovarium berkembang lebih pesat. Kepala
penelitian, Dr Andrew Li mengatakan penelitian itu melibatkan 216 perempuan
yang menderita kanker ovarium epithelial, jenis kanker ovarium yang paling
banyak ditemui, atau sekitar 90 persen dari seluruh kasus. Penelitian itu
membandingkan 35 perempuan yang mengalami obesitas dengan 108 perempuan yang
memiliki berat badan normal untuk melihat perbedaan signifikan dalam kemunculan
kanker. Ternyata, obesitas berpengaruh pada ketahanan tubuh. Mereka yang
mengalami obesitas, sel kankernya bisa timbul lagi setelah melakukan pengobatan
dan berisiko pada kematian. Untuk mengenali kanker ovarium, The American Cancer
Society mengumumkan hasil konsesus para ahli kanker tentang gejala kanker
ovarium. Gejala tersebut antara lain bengkak-bengkak di tubuh, rasa sakit di
bagian perut dan panggul,kehilangan napsu makan, sering buang air kecil dan
nyeri saat bersenggama.
B.
Kanker Ovarium Muncul Tanpa Gejala Khas
Kanker
ovarium susah ditemukan lebih awal, karena sering tidak ada gejala pada stadium
awal. Pada banyak kasus, pasien yang dating ke dokter dengan gejala ternyata
kanker itu telah menyebar. Kanker itu sudah bertumbuh beberapa waktu sebelum
menyebabkan gejala yang khas. Bahkan ketika gejalanya tiba, mungkin
samara-samar sehingga para wanita mengabaikannya.Dr. M. Farid Aziz, Sp.OG,
konsultan onkologi ginekologi RS Cipto Mangunkusomo menjelaskan bahwa sebenarnya
penyebab kanker ovarium banyak diketahui, tetapi ada beberapa factor yang
diduga seperti hormone-hormon tertentu misalnya hormone estrogen dikatakan bisa
menyebabkan kanker ovarium, kemudian pola makanan tertentu misalnya menggunakan
lemak hewani.
Gejala yang umum ditemukan pada kanker ovarium seperti perut
mengembung, tidak nyaman pada perut bagian bawah, kurang nafsu makan dan perut
berasa penuh, tidak sanggup mencerna, muntah, dan berat badan menurun. Tumor
yang besar mungkin menekan organ-organ disekitarnya, misalnya usus besar atau
kandung kemih. Deteksi DiniMenurut Farid, deteksi awal yang paling bagus adalah
pemeriksaan dalam, kemudian diperkuat dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG)
yang bisa mengetahui bentuk morfologi daripada ovarium, dan pemeriksaan tumor
marker (petanda tumor). Dengan pemeriksaan itu, stadium awal akan kelihatan dan
bisa diambil suatu diagnosis kemungkinan ganas atau tidak. Farid menjelaskan,
pengobatan utama kanker ovarium adalah operasi. Bila ditemukan lebih awal pada
stadium 1A dan masih terbatas tidak menyebar, mash terdapat pada satu ovarium,
maka operasinya akan lebih bagus. Peluang kesembuhannya pun bisa sembuh 100
persen.
C.
Gejala
Kanker Ovarium
Umumnya perempuan yang mengidap kanker ovarium tidak menimbulkan
gejala dalam waktu yang lama. Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak
spesifik.
- Pembesaran perut
karena terdapat penggumpulan cairan di dalam perut yang menimbulkan rasa
sakit dan pendarahan cukup banyak saat menstruasi
- Perut terasa
kembung dan tidak nyaman
- Terasa ada
benjolan di perut ketika diraba
- Nyeri panggul
- Gangguan buang
air besar atau buang air kecil akibat penekanan pada saluran pencernaan
dan saluran kencing
D.
Terapi
Kanker Ovarium
1. Kemoterapi dengan pemanasan intraperitoneal: melalui insisi
perkutan dimasukkan dua tabung silicon intraperitoneal, satu diletakkan di
permukaan hati subdiafragma, satu lagi di resesus posterior kavum pelvis,
ujungnya difiksasi di dinding abdomen. Obat yang diinfuskan biasanya FU, DDP,
CTX dll. di dalam 3000-4000cc larutan garam faal. Sebelumnya larutan itu
dipanaskan hingga 42oC, dan upayakan temperatur itu dipertahankan. Lalu melalui
satu tabung silicon dialirkan ke rongga abdomen, setelah 8-12 jam larutan
dikeluarkan lewat tabung yang lainnya. Kecepatan pemberian adalah 500cc per
jam. Setiap minggu dilakukan 1-2 kali. Efek buruknya berupa sakit perut, untuk
itu dapat serentak diberikan lidokain intraperitoneal.
2. Imunoterapi intraperitoneal: masukkan tabung ke rongga pelvis,
abdomen, suntikkan obat kemoterapi, 1-2 kali per minggu, serentak disuntikkan
imunomodulator, umumnya digunakan vaksen kuman Serratia marcescen (S311), 1cc
per kali. Pasca injeksi dapat timbul demam yang mencapai 39oC, 2-3 jam kemudian
reda spontan. Demam pertanda respons imun bekerja, tidak akan berdampak buruk.
3. Krioablasi argon-helium: terhadap massa ovarium, tidak peduli
itu lesi primer atau metastasis rongga pelvis dan dinding abdomen, dapat
memakai krioablasi argon-helium. Metode ini setara dengan operasi debulking,
rudapaksa bagi pasien jauh lebih kecil dibandingkan operasi.
4. Terapi intra-arteri: melalui arteri femoralis dimasukkan kateter
hingga mencapai arteri ovarial, suntikkan emulsi campuran kemoterapi (misal
DDP) dan lipiodol. Jepang melaporkan terapi dengan cara ini, setelah 1 bulan
massa ovarium menyusut rata-rata 49%. Kami sering mengombinasikan cara ini
dengan krioablasi argon-helium. Seorang pasien dari kota Shenyang di RRC, usia
56 tahun, kavum pelvis penuh dengan tumor disertai asites, setelah terapi
intra-arteri dan krioablasi argon-helium, lesi lenyap total, hingga kini 18
bulan tidak tampak kekambuhan.
E.
Penyakit Polycista Ovarium Syndrom
Sindrom
ovarium polikistik (SOPK), polycystic ovarian syndrome. Kumpulan
gejala yang ditandai dengan adanya anovulasi (tidak keluarnya ovum/sel telur)
kronis (yang berkepanjangan/dalam waktu lama) disertai perubahan endokrin
(seperti: hiperinsulinemia, hiperandrogenemia).
a)
Penyebab SOPK:
·
Resistensi
insulin
·
Hiperandrogenemia
·
Kelainan
produksi hormon gonadotropin
·
Disregulasi
P450 c 17 Defek gen pembentuk P450 c 17α, yang mengkode aktivitas
17α-hidroksilase dan 17,20-lyase.
·
Genetik
Ada
kecenderungan penurunan sifat secara autosomal dominan.
b)
Diagnosis SOPK:
1.
Kriteria Klinis
Hirsutisme
(tumbuhnya rambut tubuh yang berlebihan), akne, obesitas/kegemukan (sangat
tidak spesifik), oligomenore (menstruasi yang jarang), amenore (tidak
menstruasi), perdarahan uterus disfungsi, dan infertilitas.
Konsensus
Diagnostik menurut konferensi National Institute of Health (NIH) di
Amerika Serikat:
a.
gambaran
ovarium polikistik tidak harus ada.
b.
Kriteria mayor:
anovulasi kronis dan hiperandrogenemia.
c.
Kriteria minor:
adanya resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, rasio LH/FSH lebih dari 2,5
dan gmbaran ovrium polikistik pada USG.
Diagnosis
SOPK ditegakkan jika memenuhi SATU kriteria mayor dan sekurngnya DUA kriteria
minor, dengan menyingkirkan penyebab lain hiperandrogenemia.
Konsensus Diagnostik menurut negara di Eropa:
Konsensus Diagnostik menurut negara di Eropa:
a.
Harus
didapatkan gambaran ovarium polikistik dengan USG
b.
Gangguan
menstruasi (oligomenore atau amenore), dan atau
c.
Gambaran klinis
hiperandrogenemia (hirsutisme, akne)
d.
Tidak
diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan iagnosis SOPK.
Kriteria
praktis dari Homburg (2002):
·
Kriteria awal
yang harus ada:
a. Gangguan menstruasi
b. Hirsutisme
c. Akne
d. Infertilitas anovulasi
·
Diagnosis
ditegakkan cukup dengan memperoleh gambaran ovarium polikistik pada USG.
·
Jika tidak
ditemukan gambaran ovarium polikistik pada USG, maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis SOPK dapat ditegakkan jika ditemukan satu/lebih
abnormalitas: peningkatan testosteron serum, peningkatan LH (luteinizing
hormone), peningkatan testosteron bebas (dengan menyingkirkan hiperplasi
adrenal), perbandingan glukosa puasa:insulin puasa kurang dari 4,5.
2.
Kriteria
Ultrasonografis (USG)
Kriteria
diagnostik jika memakai USG transabdominal:
·
Penebalan
stroma
·
Lebih dari 10
folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu bidang.
Kriteria
diagnostik jika memakai USG transvaginal:
·
Penebalan
stroma 50%
·
Volume ovarium
lebih dari 8 cm3
·
Lebih dari 15
folikel dengan diameter 2-10 mm dalam satu bidang
3.
Kriteria
Laboratorium
Pemeriksaan
kadar hormon androgen, insulin, dan LH/FSH (Luteinizing
Hormone/Follicle-Stimulating Hormone)
Kadar
androgen yang dapat diperiksa adalah: testosteron, androstenedion, testosteron
bebas, dehidroepiandrosteron (DHEA) atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS),
dan dehidrotestosteron (DHT).
c)
Terapi SOPK:
1.
Penurunan berat
badan, diet, dan olahraga
2.
Obat
antidiabetik oral
Misalnya:
metformin, troglitazone, rosiglitazone, pioglitazone, chlorpropamide,
tolazamide, glipizide, D-chiro-inositol.
3.
Obat pemicu
ovulasi
Misalnya:
klomifen, human menopausal gonadotrophin (hMG), purified FSH,
recombinant FSH, bromocriptine, dan gonadotrophin releasing
hormone (GnRH).
4.
Pembedahan (surgery)
a. EBOB (Eksisi Baji Ovarium Bilateral)
b. TEKO (Tusukan ElektroKauter pada
Ovarium)
Terapi TEKO dengan laparoskopi
lebih baik dibandingkan dengan EBOB karena angka perlekatan pascoperasi yang
lebih rendah.
d)
Komplikasi SOPK Jangka
Panjang:
1.
Diabetes Melitus
tipe 2
2.
Dislipidemia
3.
Kanker
endometrium
4.
Hipertensi
5.
Penyakit
kardiovaskular
6.
Gestational DM
7.
Pregnancy-induced hypertension
(PIH)
8.
Kanker ovarium
9.
Kanker payudara
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar