Kamis, 11 April 2013

Faktor Penyebab Kanker pada Ovarium


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ovarium terletak di kedalaman rongga pelvis. Bila timbul kanker, biasanya tanpa gejala pada awalnya sehingga sulit ditemukan, membuat diagnosis tertunda. Ketika lesi berkembang dan timbul gejala, sering kali sudah bukan stadium dini. Maka terdapat 60-70% pasien kanker ovarium saat didiagnosis sudah terdapat metastasis di luar ovarium.
Penyebab kanker ovarium hingga kini belum jelas, tapi faktor lingkungan dan hormonal berperan penting dalam patogenesisnya. Di dunia insiden kanker ovarium tertinggi terdapat di Norwegia (15,3/100.000), terendah di Jepang (3,2/100.000), selisihnya 5 kalilipat. Insiden pada orang kulit putih Amerika Serikat adalah 12,9/100.000, lebih tinggi dari etnis Tionghoa yang bermukim di Los Angeles (8,5/100.000), lebih tinggi dari China daratan (5,0/100.000) dan Hongkong (5,8/100.000).
Tampilan patologik kanker ovarium sangat rumit, terutama adalah tumor sel epitel superfisial. Manifestasi klinisnya terutama berupa rasa tidak enak perut bawah atau tenesmus, pada stadium awal dapat timbul asites; dengan cepat kanker tumbuh melampaui kavum pelvis hingga ke abdomen hingga teraba massa; haid tidak teratur, dapat timbul perdarahan per vaginam. Pemeriksaan USG, CT dan MRI merupakan cara diagnosis utama.
Prinsip terapi kanker ovarium adalah operasi sebagai dasar dari terapi kombinasi. Lingkup operasi harus mencakup uterus dan penunjangnya, diekstensi hingga membuang omentum. Prinsip terapi kanker ovarium stadium lanjut adalah dengan syarat tidak membahayakan jiwa pasien, sedapat mungkin dilakukan operasi regular, dan sedapat mungkin membuang lesi primer dan semua metastasisnya; jika tidak dapat diangkat seluruhnya, paling baik mengurangi diameter lesi yang tersisa hingga kurang dari 2mm, karena lesi kecil pasca operasi, khususnya nodul dengan diameter kurang dari 2mm dapat dengan kemoterapi dan lainnya dikendalikan hingga mencapai remisi jangka panjang, bahkan kesembuhan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Faktor Penyebab Kanker pada Ovarium
Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti penyebab kanker ovarium. Meskipun demikian, faktor pemakaian obat secara berlebihan dicurigai dapat memicu munculnya kanker ovarium. Selain itu, penggunaan obat-obat kesuburan dalam jangka waktu lama juga diduga dapat meningkatkan risiko serangan penyakit tersebut. Faktor genetika bisa juga menjadi acuan karena sebanyak 10 persen penderitanya ternyata memiliki keluarga yang juga menderita kanker ovarium.
Kini, sebuah studi di Amerika Serikat (AS) mengaitkan kegemukan dengan peningkatan risiko munculnya kanker ovarium. Studi itu melibatkan lebih dari 94.000 wanita berusia 51 hingga 71 tahun, yang dipantau selama lebih dari tujuh tahun. Hasil studi itu, seperti dikutip Reuters, menunjukkan bahwa wanita yang mengalami obesitas memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terserang kanker ovarium. Risiko itu meningkat pada wanita yang tidak pernah melakukan terapi pengganti hormon (HRT) selama masa menopause. Studi yang dilakukan sebelumnya mengaitkan hormon yang digunakan untuk mengurangi risiko kanker ovarium.
Di antara wanita yang tidak pernah melakukan HRT, mereka yang kegemukan memiliki risiko 83 persen lebih tinggi terserang kanker ovairum dibanding wanita dengan berat badan normal.Penemuan yang dilaporkan dalam jurnal Cancer itu juga menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor penyebab kanker ovarium yang dapat dikendalikan. Menurut kepala peneliti dalam studi itu, Dr Michael L Leitzman dari Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat (AS) di Bethesda, Maryland dan Universitas Regensburg di Jerman, hasil. studi itu memberikan satu lagi alasan bagi para wanita untuk menghindari kenaikan berat badan yang tidak sehat. "Data kami menunjukkan bahwa mempertahankan berat badan yang sehat berkaitan dengan penurunan risiko perkembangan kanker ovarium," kata Leitzmann.
Belum jelas mengapa obesitas memiliki kontribusi terhadap kanker ovarium, tetapi mungkin hal itu berkaitan dengan efek lemak tubuh yang berlebihan terhadap kadar estrogen dalam tubuh seorang wanita, kata Leitzmann dan para mitranya. Kenyataan bahwa risiko terserang kanker ovarium itu bergantung pada penggunaan HRT mendukung teori ini.Studi itu juga menemukan kaitan antara obesitas pada usia 18 tahun dan peningkatan risiko terserang kanker ovarium pada usia lebih tua ?- sebuah kaitan yang bahkan lebih kuat dibanding kaitan antara kegemukan pada usia lebih lanjut dan kanker ovarium. Berat badan pada usia remaja mungkin lebih relevan dengan kanker ovarium dibanding berat badan pada usia lebih lanjut. Penelitian lain yang di lakukan para ilmuwan di AS juga menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami obesitas lebih rentan terkena kanker ovarium ganas. Obesitas memang meningkatkan risiko perkembangan beberapa jenis kanker, tetapi riset itu mengungkapkan bahwa jaringan lemak berpengaruh terhadap perkembangan tumor.
Menurut hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Cancer itu, sel lemak yang menghasilkan hormon atau protein membuat kanker ovarium berkembang lebih pesat. Kepala penelitian, Dr Andrew Li mengatakan penelitian itu melibatkan 216 perempuan yang menderita kanker ovarium epithelial, jenis kanker ovarium yang paling banyak ditemui, atau sekitar 90 persen dari seluruh kasus. Penelitian itu membandingkan 35 perempuan yang mengalami obesitas dengan 108 perempuan yang memiliki berat badan normal untuk melihat perbedaan signifikan dalam kemunculan kanker. Ternyata, obesitas berpengaruh pada ketahanan tubuh. Mereka yang mengalami obesitas, sel kankernya bisa timbul lagi setelah melakukan pengobatan dan berisiko pada kematian. Untuk mengenali kanker ovarium, The American Cancer Society mengumumkan hasil konsesus para ahli kanker tentang gejala kanker ovarium. Gejala tersebut antara lain bengkak-bengkak di tubuh, rasa sakit di bagian perut dan panggul,kehilangan napsu makan, sering buang air kecil dan nyeri saat bersenggama.
B.     Kanker Ovarium Muncul Tanpa Gejala Khas
Kanker ovarium susah ditemukan lebih awal, karena sering tidak ada gejala pada stadium awal. Pada banyak kasus, pasien yang dating ke dokter dengan gejala ternyata kanker itu telah menyebar. Kanker itu sudah bertumbuh beberapa waktu sebelum menyebabkan gejala yang khas. Bahkan ketika gejalanya tiba, mungkin samara-samar sehingga para wanita mengabaikannya.Dr. M. Farid Aziz, Sp.OG, konsultan onkologi ginekologi RS Cipto Mangunkusomo menjelaskan bahwa sebenarnya penyebab kanker ovarium banyak diketahui, tetapi ada beberapa factor yang diduga seperti hormone-hormon tertentu misalnya hormone estrogen dikatakan bisa menyebabkan kanker ovarium, kemudian pola makanan tertentu misalnya menggunakan lemak hewani.
Gejala yang umum ditemukan pada kanker ovarium seperti perut mengembung, tidak nyaman pada perut bagian bawah, kurang nafsu makan dan perut berasa penuh, tidak sanggup mencerna, muntah, dan berat badan menurun. Tumor yang besar mungkin menekan organ-organ disekitarnya, misalnya usus besar atau kandung kemih. Deteksi DiniMenurut Farid, deteksi awal yang paling bagus adalah pemeriksaan dalam, kemudian diperkuat dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang bisa mengetahui bentuk morfologi daripada ovarium, dan pemeriksaan tumor marker (petanda tumor). Dengan pemeriksaan itu, stadium awal akan kelihatan dan bisa diambil suatu diagnosis kemungkinan ganas atau tidak. Farid menjelaskan, pengobatan utama kanker ovarium adalah operasi. Bila ditemukan lebih awal pada stadium 1A dan masih terbatas tidak menyebar, mash terdapat pada satu ovarium, maka operasinya akan lebih bagus. Peluang kesembuhannya pun bisa sembuh 100 persen.


C.    Gejala Kanker Ovarium
Umumnya perempuan yang mengidap kanker ovarium tidak menimbulkan gejala dalam waktu yang lama. Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik.
  • Pembesaran perut karena terdapat penggumpulan cairan di dalam perut yang menimbulkan rasa sakit dan pendarahan cukup banyak saat menstruasi
  • Perut terasa kembung dan tidak nyaman
  • Terasa ada benjolan di perut ketika diraba
  • Nyeri panggul
  • Gangguan buang air besar atau buang air kecil akibat penekanan pada saluran pencernaan dan saluran kencing
D.    Terapi Kanker Ovarium
1.      Kemoterapi dengan pemanasan intraperitoneal: melalui insisi perkutan dimasukkan dua tabung silicon intraperitoneal, satu diletakkan di permukaan hati subdiafragma, satu lagi di resesus posterior kavum pelvis, ujungnya difiksasi di dinding abdomen. Obat yang diinfuskan biasanya FU, DDP, CTX dll. di dalam 3000-4000cc larutan garam faal. Sebelumnya larutan itu dipanaskan hingga 42oC, dan upayakan temperatur itu dipertahankan. Lalu melalui satu tabung silicon dialirkan ke rongga abdomen, setelah 8-12 jam larutan dikeluarkan lewat tabung yang lainnya. Kecepatan pemberian adalah 500cc per jam. Setiap minggu dilakukan 1-2 kali. Efek buruknya berupa sakit perut, untuk itu dapat serentak diberikan lidokain intraperitoneal.
2.      Imunoterapi intraperitoneal: masukkan tabung ke rongga pelvis, abdomen, suntikkan obat kemoterapi, 1-2 kali per minggu, serentak disuntikkan imunomodulator, umumnya digunakan vaksen kuman Serratia marcescen (S311), 1cc per kali. Pasca injeksi dapat timbul demam yang mencapai 39oC, 2-3 jam kemudian reda spontan. Demam pertanda respons imun bekerja, tidak akan berdampak buruk.
3.      Krioablasi argon-helium: terhadap massa ovarium, tidak peduli itu lesi primer atau metastasis rongga pelvis dan dinding abdomen, dapat memakai krioablasi argon-helium. Metode ini setara dengan operasi debulking, rudapaksa bagi pasien jauh lebih kecil dibandingkan operasi.
4.      Terapi intra-arteri: melalui arteri femoralis dimasukkan kateter hingga mencapai arteri ovarial, suntikkan emulsi campuran kemoterapi (misal DDP) dan lipiodol. Jepang melaporkan terapi dengan cara ini, setelah 1 bulan massa ovarium menyusut rata-rata 49%. Kami sering mengombinasikan cara ini dengan krioablasi argon-helium. Seorang pasien dari kota Shenyang di RRC, usia 56 tahun, kavum pelvis penuh dengan tumor disertai asites, setelah terapi intra-arteri dan krioablasi argon-helium, lesi lenyap total, hingga kini 18 bulan tidak tampak kekambuhan.
E.     Penyakit Polycista Ovarium Syndrom
Sindrom ovarium polikistik (SOPK), polycystic ovarian syndrome. Kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya anovulasi (tidak keluarnya ovum/sel telur) kronis (yang berkepanjangan/dalam waktu lama) disertai perubahan endokrin (seperti: hiperinsulinemia, hiperandrogenemia).
a)      Penyebab SOPK:
·         Resistensi insulin
·         Hiperandrogenemia
·         Kelainan produksi hormon gonadotropin
·         Disregulasi P450 c 17 Defek gen pembentuk P450 c 17α, yang mengkode aktivitas 17α-hidroksilase dan 17,20-lyase.
·         Genetik
Ada kecenderungan penurunan sifat secara autosomal dominan.
b)     Diagnosis SOPK:
1.         Kriteria Klinis
Hirsutisme (tumbuhnya rambut tubuh yang berlebihan), akne, obesitas/kegemukan (sangat tidak spesifik), oligomenore (menstruasi yang jarang), amenore (tidak menstruasi), perdarahan uterus disfungsi, dan infertilitas.
Konsensus Diagnostik menurut konferensi National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat:
a.       gambaran ovarium polikistik tidak harus ada.
b.      Kriteria mayor: anovulasi kronis dan hiperandrogenemia.
c.       Kriteria minor: adanya resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, rasio LH/FSH lebih dari 2,5 dan gmbaran ovrium polikistik pada USG.
Diagnosis SOPK ditegakkan jika memenuhi SATU kriteria mayor dan sekurngnya DUA kriteria minor, dengan menyingkirkan penyebab lain hiperandrogenemia.

Konsensus Diagnostik menurut negara di Eropa:
a.       Harus didapatkan gambaran ovarium polikistik dengan USG
b.      Gangguan menstruasi (oligomenore atau amenore), dan atau
c.       Gambaran klinis hiperandrogenemia (hirsutisme, akne)
d.      Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan iagnosis SOPK.
Kriteria praktis dari Homburg (2002):
·         Kriteria awal yang harus ada:
a.       Gangguan menstruasi
b.      Hirsutisme
c.       Akne
d.      Infertilitas anovulasi
·         Diagnosis ditegakkan cukup dengan memperoleh gambaran ovarium polikistik pada USG.
·         Jika tidak ditemukan gambaran ovarium polikistik pada USG, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis SOPK dapat ditegakkan jika ditemukan satu/lebih abnormalitas: peningkatan testosteron serum, peningkatan LH (luteinizing hormone), peningkatan testosteron bebas (dengan menyingkirkan hiperplasi adrenal), perbandingan glukosa puasa:insulin puasa kurang dari 4,5.

2.         Kriteria Ultrasonografis (USG)
Kriteria diagnostik jika memakai USG transabdominal:
·         Penebalan stroma
·         Lebih dari 10 folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu bidang.
Kriteria diagnostik jika memakai USG transvaginal:
·         Penebalan stroma 50%
·         Volume ovarium lebih dari 8 cm3
·         Lebih dari 15 folikel dengan diameter 2-10 mm dalam satu bidang

3.         Kriteria Laboratorium
Pemeriksaan kadar hormon androgen, insulin, dan LH/FSH (Luteinizing Hormone/Follicle-Stimulating Hormone)
Kadar androgen yang dapat diperiksa adalah: testosteron, androstenedion, testosteron bebas, dehidroepiandrosteron (DHEA) atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS), dan dehidrotestosteron (DHT).


c)      Terapi SOPK:
1.      Penurunan berat badan, diet, dan olahraga
2.      Obat antidiabetik oral
Misalnya: metformin, troglitazone, rosiglitazone, pioglitazone, chlorpropamide, tolazamide, glipizide, D-chiro-inositol.
3.      Obat pemicu ovulasi
Misalnya: klomifen, human menopausal gonadotrophin (hMG), purified FSH, recombinant FSH, bromocriptine, dan gonadotrophin releasing hormone (GnRH).
4.      Pembedahan (surgery)
a.       EBOB (Eksisi Baji Ovarium Bilateral)
b.      TEKO (Tusukan ElektroKauter pada Ovarium)
Terapi TEKO dengan laparoskopi lebih baik dibandingkan dengan EBOB karena angka perlekatan pascoperasi yang lebih rendah.

d)     Komplikasi SOPK Jangka Panjang:
1.      Diabetes Melitus tipe 2
2.      Dislipidemia
3.      Kanker endometrium
4.      Hipertensi
5.      Penyakit kardiovaskular
6.      Gestational DM
7.      Pregnancy-induced hypertension (PIH)
8.      Kanker ovarium
9.      Kanker payudara





DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar