Selasa, 02 April 2013

ILMU KALAM-SEJARAH MUNCULNYA MU'TAZILLAH


BAB I
PENDAHULUAN
                Mu’tazilah adalah salah satu aliran yang cukup dikenal dikalangan umat islam. Pada mulanya nama itu diberikan oleh kalangan luar Mu’tazilah, karena tokoh pendiri mazhab ini Wasil ibn Atha memisahkan diri dari gurunya, akan tetapi dalam perkembangan secara diam-diam mereka menyetujui nama itu dengan pengertian memisahkan diri atau menjauhi yang salah sebagai tindakan terbaik.
            Selain nama Mu’tazilah, maka mazhab ini dikenal pula dengan nama Ashabul ‘Adli Wat Tauhid, al-Qadariyah, al-‘Adli, al-Muattilah dan kaum Rasionalis islam.
            Dinamaka Ashabul ‘Adli Wat Tauhid, karena mazhab ini lebih banyak menerbitkan pembahasannya pada segi-segi keadilan dan ke-Esa-an Allah. Dinamakan al-Qadariyah, sebab  mereka menganut paham free will, makhluk sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan perbuatannya.  Sedangkan al-Muattil adalah nama yang diberikan karena mereka menafsirkan sifat Tuhan, dan diberi nama kaum rasional karena dalam memecahkan permaslahan, khususnya masalah teologi, bersifat filosofis dan lebih banyak menggunakan akal dan mengenyampingkan tradisional.













BAB II
PEMBAHASAN
A.     SEJARAH MUNCULNYA MU’TAZILAH

Sebenarnya istilah Mu’tazilah sudah dikenal sejak pertengahan abad pertama hijriah[1], yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa poltik yang timbul setelah wafatnya Usman ra.

Golongan pertama muncul sebagia respon poltik murni. Golongan ini timbul sebagai kaum netral politik. Khususnya bersikap lunak dalam menghadapi petentengan dalam menghadapi Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Khususnya pertentengan antara Aisyah, Thallah dan Zubair[2].

Golongan kedua muncul sebagai respon  persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa Tahkim[3].
Diantara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah Sa’ad ibn Abi Wakas, Abdullah ibn Umar Muhammad ibn Maslamah, Usman ibn Zaid, Suhaib dan Zaid inb Tsabit.
An-Naubati dalam kitab Firaq al-Syi’ah, menjelaskan setelah Ali ra. Diangkat sebagai Khalifah, sekelompok umat islam memisahkan diri dari Ali ra. Meskipun mereka menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah. Mereka inilah yang disebut golongan Mu’tazilah.

Dari uraian diatas jelas bahwa istilah Mu’tazilah sudah dikenal pada periode seperampat abad terakhir pad abad pertama Hijriah dengan latar belakang kemelut politik. Hal itu menumbulkan pertanyaan apakah Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atha yang muncul pada abad kedua Hijriah itu ada hubungan atau merupakan kelanjutan dari Mu’tazilah yang muncul pada abad pertama Hijriah ataukh kedua kasus itu muncul sendiri-sendiri, tidak ada kaitan satu sama lainnya, sekalipun mempunyai nama yang sama.

Kalau kita memperhatikan keadaan masyarakat dan konstelasi politik pada saat laihirnya kedua Mu’tazilah itu, maka tampaknya Kedua Mu’tazilah yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah itu tidak ada hubungannya. Yang pertama lahir akibat adanya kemelut polotik, sedangkan yang kedua lahir didorong oleh akidah, oleh sebab itu yang kedua digolongkan ke dalam aliran atau mazhab dalam teologi islam, meskipun kemudian harinya mereka turut serta mempermasalahkan politik sebagai umat yang kritis terhadap perkembangan zaman.
B.      POKOK – POKOK AJARAN MU’TAZILAH

Ada lima prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Abu Huzail, yaitu At Tauhid, Al ‘Adlu, Al Wa’du wal Wa’id, Al Manzilu baina manzilataini, dan Amar Ma’ruf & Nahi Mungkar[4].

a.      At Tauhid ( ke-Esa-an Tuhan )
Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam akidah islam, jadi prinsip tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Mu’tazilah saja, tapi prinsip seluruh umat islam, akan tetapi orang Mu’tazilah mempermasalahkannya lebih mendalam, sehingga prinsip yang pertama ini meninbulkan beberapa kelanjutan lainnya, antara lain:
*      Menafsirkan sifat Allah, mereka tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang dianggap atau disebut sifat Allah tidak dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
*      Quran adalah makhluk, yang qadim hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
*      Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti bukan tuhan.
*      Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.

b.      Al ‘Adlu ( keadilan )
Pokok ajaran Mu’tazilah yang keduan adlah Al ‘Adlu, yang artinya keadilan. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan mahasempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia,karena alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia.Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-asalah) dan terbaik (al-shalah) dan bukan yang baik[5]. Begitu pula Tuhan adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terkait dengan janjin-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain berikut in:
1.      Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatnnya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulahburuk. Tuhan berlepas diri dari perbbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatnnya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena ia berbuat atas kemauannya sendiri dan tidak dipaksa.
2.      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah bahasa arab, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-shalah[6]. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak mahasempurna, bahkan menurut Annazam salah satu tokoh Mu’tazilah. Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya.
3.      Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
*      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada manusia.
*      Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]:29). Cara yang terbaik untuk maksud adalah dengan pengutusan Rasul.
*      Tujuan diciptakannya manusia adalh untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus Rasul.

c.       Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Tuhan mahaadil dan mahabijaksana, tidak akn melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahal surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang durhaka (al-ashi)[7]. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluan bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang yang bebuat maksiat, kecuali orang yang bertaubat nasuha. Tidak ada harapan bagi ppendurhaka, kecuali bila ia tobat. Kejahatn dan kedurhakaan yang menyebakan pelakunya masuk neraka adalah kejahatn yang termasuk dosa besar. Sedangkan terhadap dosa kecil Tuhan mungkin mengampuninya.

d.      Al-manzila baina Manzilataini
Inilah ajran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman ( mukmin ) yang melakukan dosa besar.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar  dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik, Izutsu, dengan mengutip ibn Hazam menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut, “Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokirt)”. Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dihalalkan binatang sembelihannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuha terhadap Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakn kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal didalamnya.

e.      Amar ma’ruf dan Nahi Mungkar
Ajaran yang kelima adalah menyuruh kebijakan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mennyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya berbuat kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin beramar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dijelaskan olh salah seorang tokohnya, Abd Al-jabar[8], yaitu beriut ini:
*      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang mungkar.
*      Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang.
*      Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi mungkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
*      Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindaknnya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya[9].
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.




C.      PEMUKA-PEMUKA MU’TAZILAH

1.      Wasil ibn Atha
Wasil ibn Atha lahir sekitar tahun 70 H di Madinah[10], kemudian beliau pendak ke Basrah dan berguru pada seorang ulama besar bernama Hasan Basri. Beliau termasuk salah seorang murid yang cerdas dan tekun dengan pelajarannya.
Pokok-pokok pikiran tentang teologi dapat disimpulkan dalam tiga hal penting, yaitu tentang dosa besar, kekuasaan berbuat atua free will dan tentang sifat Allah.
Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal dunia tanpa taubat, maka orang itu disebut fasik, karena pada dirinya belum terkumpul perbuatan-perbuat baik, sehingga ia belum berhak disebut mukmin, akan tetapi karena ia mengucapkan syahadat, maka tidak pula tergolong yang kafir.
Tentang manusia apakah bebas berbuat atau tidak, Wasil berpendirian manusia bebas berbuat karena kuasa dan keinginan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia bebas menggunaknnya, apakah untuk kebaikan atau keburukan, dengan demikian adillah Tuhan menghukum orang yang berbuat baik di akhirat kelak.
Di akhirat kelak Tuhan akan meminta pertanggung jawaban manusia dan perbuatan selama ia di dunia, hal ini tidak mungkin Tuhan memaksakan kehendaknya, kemudian meminta pertanggungjawaban manusia yang dipaksa.
Tentang sifat bila Allah diberi sifat, maka sifat itu harus  qadim, hal ini berarti yang qadim itu tidak hanya Allah. Dari dasar pemikiran ini hasil kesimpulan bahwa Allah tidak bisa disifati dengan sifat sebagaimana sifat manusia,sedangkan sifat Allah yang tersebut dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah zat Allah itu sendiri.

2.      Abdul Huzail Al Allaf
Beliau lahir pada tahun 135 H/751 M dan wafat pada tahun 235 H/849 M, Abdul Huzail merupakan generasi kedua penganut Mu’tazilah dan beliaulah orang pertama yang mengintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah[11]. Beliau berguru pada Utsman at-Thawil, murid Wasil ibn Atha.
Berlainan dengan Wail ibn Atha beliau lahir dalam situasi memuncaknya ilmu pengetahuan, telah banyak buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan dalam bahasa arab.

3.      An Nazzam
Nama lenglapnya Ibrahim ibn Sayyar, tapi beliau lebih dikenal dengan An Nazzam. Beliau adalah seorang murid dari Abdul Huzail. Pada waktu kecilnya banyak bergaul dengan orang yang non muslim dan pada usia dewasa bergaul dengan ahli filsafat dan sekaligus  menekuninya.


4.      Al Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdil Wahab, lahir tahun 235 H/849 M di Juba’, wafat tahun 303 H/915 M di Basrah.
Situasi poltik pada masanya sedang mulai menurun menuju kemunduran, gerakan-gerakan sparatis bermunculan dibanyak daerah yang selanjutnya timbul kekuasaan-kekuasaan kecil dibeberapa daerah, namun masalah ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat. Beliau berguru dengan Asy Syahham, salah seorang murid Al Allaf.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh mu’tazilah, akan tetapi kalau dipelajari secara mendalam walaupun disana sini terdapat perbedaan pendapat, namun  perbedaan itu saling lengkap melengkapi. Mereka mempunyai pola berpikir yang sama yaitu menitikberatkan  pada penggunaan akal dalam memecahkan masalah teologi. Tolak ukur yang digunakan oelh orang Mu’tazilah adalah tolak ukur kamanusiaan (raional) seperti keadilan Tuhan dan lain-lain.



















BAB III
PENUTUPAN

            Mu’tazilah sudah dikenal pada abad pertengahan pertama Hijriah, yaitu orang-orang yang memisahkan diri. Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni, dan golongan kedua muncul sebagai persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah.
            Pokok ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Abu Huzail ada lima, yaitu At Tauhid, Al ‘Adlu, Al Wa’du wal Wa’id, Al Manzilu baina manzilataini, dan Amar Ma’ruf & Nahi Mungkar.
            Banyak tokoh-tokoh Mu’tazilah yag saling berbeda pendapat, namun perbedaan tersebut saling lengkap melengkapi. Diantara tokoh-tokoh tersebut ialah Wasil ibn Atha, Abul Huzail al Allaf, An Nazzam, dan Al Juba’i.



























DAFTAR PUSTAKA

Amuni, Yusran, Dirasah Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Anwar, Rosihan & Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007.




[1] Yusran Amuni, Dirasah Islamiyah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 1998), hal. 76
[2] Ibd, hal. 76
[3] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung, Pustaka Setia: 2007), hal.77
[4] Yusran Amuni, Dirasah Islam (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 1998), hal. 78
[5] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia: 2007), hal.83
[6] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia: 2007), hal: 84
[7] Ibd, hal: 85
[8] Abdul Rozak & Rosihan Anwa, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia: 2007), hal: 86
[9] Ibid, hal: 87
[10] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah ( Jakarta, PT Grafindo Persada: 1998 ), hal. 81
[11] Ibid, hal. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar