BAB I
PENDAHULUAN
Mu’tazilah adalah salah satu aliran
yang cukup dikenal dikalangan umat islam. Pada mulanya nama itu diberikan oleh
kalangan luar Mu’tazilah, karena tokoh pendiri mazhab ini Wasil ibn Atha
memisahkan diri dari gurunya, akan tetapi dalam perkembangan secara diam-diam
mereka menyetujui nama itu dengan pengertian memisahkan diri atau menjauhi yang
salah sebagai tindakan terbaik.
Selain
nama Mu’tazilah, maka mazhab ini dikenal pula dengan nama Ashabul ‘Adli Wat
Tauhid, al-Qadariyah, al-‘Adli, al-Muattilah dan kaum Rasionalis islam.
Dinamaka Ashabul ‘Adli Wat Tauhid, karena mazhab ini
lebih banyak menerbitkan pembahasannya pada segi-segi keadilan dan ke-Esa-an
Allah. Dinamakan al-Qadariyah, sebab
mereka menganut paham free will, makhluk sendirilah yang menjadikan dan
menggerakkan perbuatannya. Sedangkan
al-Muattil adalah nama yang diberikan karena mereka menafsirkan sifat Tuhan,
dan diberi nama kaum rasional karena dalam memecahkan permaslahan, khususnya
masalah teologi, bersifat filosofis dan lebih banyak menggunakan akal dan
mengenyampingkan tradisional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH MUNCULNYA MU’TAZILAH
Sebenarnya istilah Mu’tazilah sudah dikenal sejak pertengahan
abad pertama hijriah[1],
yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada
peristiwa-peristiwa poltik yang timbul setelah wafatnya Usman ra.
Golongan pertama muncul sebagia respon poltik murni. Golongan
ini timbul sebagai kaum netral politik. Khususnya bersikap lunak dalam
menghadapi petentengan dalam menghadapi Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya.
Khususnya pertentengan antara Aisyah, Thallah dan Zubair[2].
Golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa Tahkim[3].
Diantara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu
adalah Sa’ad ibn Abi Wakas, Abdullah ibn Umar Muhammad ibn Maslamah, Usman ibn
Zaid, Suhaib dan Zaid inb Tsabit.
An-Naubati dalam kitab Firaq al-Syi’ah, menjelaskan setelah
Ali ra. Diangkat sebagai Khalifah, sekelompok umat islam memisahkan diri dari
Ali ra. Meskipun mereka menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah. Mereka
inilah yang disebut golongan Mu’tazilah.
Dari uraian diatas jelas bahwa istilah Mu’tazilah sudah
dikenal pada periode seperampat abad terakhir pad abad pertama Hijriah dengan
latar belakang kemelut politik. Hal itu menumbulkan pertanyaan apakah
Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atha yang muncul pada abad kedua
Hijriah itu ada hubungan atau merupakan kelanjutan dari Mu’tazilah yang muncul
pada abad pertama Hijriah ataukh kedua kasus itu muncul sendiri-sendiri, tidak
ada kaitan satu sama lainnya, sekalipun mempunyai nama yang sama.
Kalau kita memperhatikan keadaan masyarakat dan konstelasi
politik pada saat laihirnya kedua Mu’tazilah itu, maka tampaknya Kedua
Mu’tazilah yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah itu tidak ada
hubungannya. Yang pertama lahir akibat adanya kemelut polotik, sedangkan yang
kedua lahir didorong oleh akidah, oleh sebab itu yang kedua digolongkan ke
dalam aliran atau mazhab dalam teologi islam, meskipun kemudian harinya mereka
turut serta mempermasalahkan politik sebagai umat yang kritis terhadap
perkembangan zaman.
B. POKOK – POKOK AJARAN MU’TAZILAH
Ada lima prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Abu
Huzail, yaitu At Tauhid, Al ‘Adlu, Al Wa’du wal Wa’id, Al Manzilu baina
manzilataini, dan Amar Ma’ruf & Nahi Mungkar[4].
a.
At Tauhid ( ke-Esa-an Tuhan )
Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam akidah islam,
jadi prinsip tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Mu’tazilah saja, tapi
prinsip seluruh umat islam, akan tetapi orang Mu’tazilah mempermasalahkannya
lebih mendalam, sehingga prinsip yang pertama ini meninbulkan beberapa
kelanjutan lainnya, antara lain:
Menafsirkan sifat Allah, mereka tidak
mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang
dianggap atau disebut sifat Allah tidak dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
Quran adalah makhluk, yang qadim
hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi
berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak
dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu
berarti bukan tuhan.
Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan
adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
b.
Al ‘Adlu ( keadilan )
Pokok ajaran Mu’tazilah yang keduan adlah Al ‘Adlu, yang
artinya keadilan. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk
menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan mahasempurna, dia sudah pasti adil.
Ajaran ini bertujuan menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia,karena alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia.Tuhan
dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-asalah) dan terbaik
(al-shalah) dan bukan yang baik[5].
Begitu pula Tuhan adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian Tuhan
terkait dengan janjin-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa
hal, antara lain berikut in:
1.
Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan
perbuatnnya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik,
bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang
dilarang-Nya tentulahburuk. Tuhan berlepas diri dari perbbuatan yang buruk.
Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang
akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatnnya di dunia.
Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah
keadilan. Karena ia berbuat atas kemauannya sendiri dan tidak dipaksa.
2.
Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah bahasa arab, berbuat baik dan terbaik disebut
ash-shalah wa al-shalah[6].
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi
manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan
Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku
jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti Ia tidak
adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak mahasempurna, bahkan menurut Annazam
salah satu tokoh Mu’tazilah. Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini
berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan, yaitu
sifat-sifat yang layak bagi-Nya.
3.
Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan
karena alasan-alasan berikut ini:
Tuhan wajib berlaku baik kepada
manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada
manusia.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan
kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara
[26]:29). Cara yang terbaik untuk maksud adalah dengan pengutusan Rasul.
Tujuan diciptakannya manusia adalh
untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan
lain, selain mengutus Rasul.
c.
Al-wa’du wal Wa’id (janji dan
ancaman)
Tuhan mahaadil dan mahabijaksana, tidak akn melanggar
janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahal surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan
siksa neraka atas orang durhaka (al-ashi)[7].
Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertaubat
nasuha pasti benar adanya.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluan bagi Tuhan, selain
menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa
orang yang bebuat maksiat, kecuali orang yang bertaubat nasuha. Tidak ada
harapan bagi ppendurhaka, kecuali bila ia tobat. Kejahatn dan kedurhakaan yang
menyebakan pelakunya masuk neraka adalah kejahatn yang termasuk dosa besar.
Sedangkan terhadap dosa kecil Tuhan mungkin mengampuninya.
d.
Al-manzila baina Manzilataini
Inilah ajran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab
Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman ( mukmin ) yang
melakukan dosa besar.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa
besar dan belum tobat bukan lagi mukmin
atau kafir, tetapi fasik, Izutsu, dengan mengutip ibn Hazam menguraikan
pandangan Mu’tazilah sebagai berikut, “Orang yang melakukan dosa besar disebut
fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokirt)”.
Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah
adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa
besar dan mukmin lain dihalalkan binatang sembelihannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat
dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya
kepatuha terhadap Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa
besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakn
kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan
mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat,
ia dimasukkan ke neraka dan kekal didalamnya.
e.
Amar ma’ruf dan Nahi Mungkar
Ajaran yang kelima adalah menyuruh kebijakan dan melarang
kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.
Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mennyuruh orang
berbuat baik dan mencegahnya berbuat kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin
beramar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dijelaskan olh salah seorang
tokohnya, Abd Al-jabar[8],
yaitu beriut ini:
Ia mengetahui perbuatan yang disuruh
itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang mungkar.
Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah
nyata dilakukan orang.
Ia mengetahui bahwa perbuatan amar
ma’ruf atau nahi mungkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
Ia mengetahui atau paling tidak
menduga bahwa tindaknnya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya[9].
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain
mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut
Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan
ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya
ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
C. PEMUKA-PEMUKA MU’TAZILAH
1. Wasil
ibn Atha
Wasil ibn Atha lahir sekitar tahun 70 H di Madinah[10],
kemudian beliau pendak ke Basrah dan berguru pada seorang ulama besar bernama
Hasan Basri. Beliau termasuk salah seorang murid yang cerdas dan tekun dengan
pelajarannya.
Pokok-pokok pikiran tentang teologi dapat disimpulkan dalam
tiga hal penting, yaitu tentang dosa besar, kekuasaan berbuat atua free will
dan tentang sifat Allah.
Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal dunia tanpa
taubat, maka orang itu disebut fasik, karena pada dirinya belum terkumpul
perbuatan-perbuat baik, sehingga ia belum berhak disebut mukmin, akan tetapi
karena ia mengucapkan syahadat, maka tidak pula tergolong yang kafir.
Tentang manusia apakah bebas berbuat atau tidak, Wasil
berpendirian manusia bebas berbuat karena kuasa dan keinginan yang diberikan
Tuhan kepadanya. Manusia bebas menggunaknnya, apakah untuk kebaikan atau
keburukan, dengan demikian adillah Tuhan menghukum orang yang berbuat baik di
akhirat kelak.
Di akhirat kelak Tuhan akan meminta pertanggung jawaban
manusia dan perbuatan selama ia di dunia, hal ini tidak mungkin Tuhan
memaksakan kehendaknya, kemudian meminta pertanggungjawaban manusia yang
dipaksa.
Tentang sifat bila Allah diberi sifat, maka sifat itu
harus qadim, hal ini berarti yang qadim
itu tidak hanya Allah. Dari dasar pemikiran ini hasil kesimpulan bahwa Allah
tidak bisa disifati dengan sifat sebagaimana sifat manusia,sedangkan sifat
Allah yang tersebut dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah zat Allah itu
sendiri.
2. Abdul
Huzail Al Allaf
Beliau lahir pada tahun 135 H/751 M dan wafat pada tahun 235
H/849 M, Abdul Huzail merupakan generasi kedua penganut Mu’tazilah dan
beliaulah orang pertama yang mengintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham
Mu’tazilah[11]. Beliau
berguru pada Utsman at-Thawil, murid Wasil ibn Atha.
Berlainan dengan Wail ibn Atha beliau lahir dalam situasi
memuncaknya ilmu pengetahuan, telah banyak buku-buku Yunani yang telah
diterjemahkan dalam bahasa arab.
3. An
Nazzam
Nama lenglapnya Ibrahim ibn Sayyar, tapi beliau lebih dikenal
dengan An Nazzam. Beliau adalah seorang murid dari Abdul Huzail. Pada waktu
kecilnya banyak bergaul dengan orang yang non muslim dan pada usia dewasa
bergaul dengan ahli filsafat dan sekaligus
menekuninya.
4. Al
Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdil Wahab, lahir tahun
235 H/849 M di Juba’, wafat tahun 303 H/915 M di Basrah.
Situasi poltik pada masanya sedang mulai menurun menuju
kemunduran, gerakan-gerakan sparatis bermunculan dibanyak daerah yang
selanjutnya timbul kekuasaan-kekuasaan kecil dibeberapa daerah, namun masalah
ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat. Beliau berguru dengan Asy Syahham,
salah seorang murid Al Allaf.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh mu’tazilah, akan tetapi kalau
dipelajari secara mendalam walaupun disana sini terdapat perbedaan pendapat,
namun perbedaan itu saling lengkap
melengkapi. Mereka mempunyai pola berpikir yang sama yaitu menitikberatkan pada penggunaan akal dalam memecahkan masalah
teologi. Tolak ukur yang digunakan oelh orang Mu’tazilah adalah tolak ukur
kamanusiaan (raional) seperti keadilan Tuhan dan lain-lain.
BAB III
PENUTUPAN
Mu’tazilah sudah dikenal pada abad
pertengahan pertama Hijriah, yaitu orang-orang yang memisahkan diri. Golongan
pertama muncul sebagai respon politik murni, dan golongan kedua muncul sebagai
persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah.
Pokok ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan
oleh Abu Huzail ada lima, yaitu At Tauhid, Al ‘Adlu, Al Wa’du wal Wa’id, Al
Manzilu baina manzilataini, dan Amar Ma’ruf & Nahi Mungkar.
Banyak tokoh-tokoh Mu’tazilah yag
saling berbeda pendapat, namun perbedaan tersebut saling lengkap melengkapi.
Diantara tokoh-tokoh tersebut ialah Wasil ibn Atha, Abul Huzail al Allaf, An
Nazzam, dan Al Juba’i.
DAFTAR PUSTAKA
Amuni,
Yusran, Dirasah Islam, PT. Grafindo
Persada, Jakarta, 1998.
Anwar,
Rosihan & Rozak, Abdul, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia, Bandung, 2007.
[1] Yusran Amuni, Dirasah Islamiyah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada:
1998), hal. 76
[2] Ibd, hal. 76
[3] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung, Pustaka Setia:
2007), hal.77
[4] Yusran Amuni, Dirasah Islam (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada:
1998), hal. 78
[5] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia:
2007), hal.83
[6] Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia:
2007), hal: 84
[7] Ibd, hal: 85
[8] Abdul Rozak & Rosihan Anwa, Ilmu Kalam ( Bandung, Pustaka Setia:
2007), hal: 86
[9] Ibid, hal: 87
[10] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah ( Jakarta, PT Grafindo Persada: 1998
), hal. 81
[11] Ibid, hal. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar