FILSAFAT
DAN TASAWUF
A. Masuknya Filsafat ke
Dunia Islam
Di dalam Islam, filsafat termasuk salah
satu kajian Islam klasik. Kajian Islam klasik itu antara lain fiqih, kalam,
filsafat dan tasawuf. Dalam konteks ini, filsafat termasuk kajian yang
kontroversial. Sebagian ada yang mengharamkan, dan sebagian lainnya membolehkan.
Filsafat terjebak dalam pro dan kontra. Mereka yang pro-filsafat tentu saja
mempelajari kajian filsafat, sedangkan yang kontra-filsafat menentang kajian
ini. Biasanya yang menentang kajian filsafat yaitu kaum Islam tradisionalis
(pesantren). Orang-orang yang mempelajari filsafat sering dianggap kafir oleh
kaum tradisionalis ini.
Mengapa filsafat termasuk kajian yang
kontroversial, karena filsafat merupakan barang “impor” dari luar Islam.
Filsafat tidak lahir dari ajaran Islam. Pada masa Nabi, tidak ada kajian
filsafat. Nabi sendiri memang tidak mempelajari filsafat. Jadi, mungkin dalam
bidang filsafat, kita lebih pintar dari Nabi. Apalagi jika dibandingkan dengan
para sahabat (Nabi). Mereka tidak mengerti filsafat. Akan tetapi dalam
perjalanannya, saat Islam melebarkan sayapnya ke luar jazirah Arab, Islam
sampai ke Persia, Mesir, Syam, Irak, dan daerah lainnya. Sebelum datangnya
Islam, daerah-daerah ini sudah merupakan kantong-kantong pemikiran filsafat. Di
Mesir sudah berkembang filsafat, dengan berpusat di Iskandariah. Di Syam dan
daerah lainnya pun telah berkembang filsafat. Saat Islam sampai di sana,
terjadi dialog dan polemik. Ternyata Islam selalu kalah dalam setiap polemik.
Ini dikarenakan nalar umat Islam yang tidak berjalan. Umat Islam hanya terbiasa
mengkaji hadits dan fiqih saja. Umat Islam tidak bisa menjawab kajian-kajian
filsafat. Karena itulah, mau tidak mau, akhirnya umat Islam mempelajari
filsafat hingga mengembangkannya. Dikarenakan filsafat merupakan “barang impor”
maka sampai sekarang, bagi ulama dan umat Islam, filsafat tetap menimbulkan pro
dan kontra. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menyikapi kajian filsafat,
maka kita seharusnya mempelajari terlebih dahulu “filsafat itu apa?”.
Filsafat merupakan usaha akal pikiran
yang radikal, universal, dan integral. Filsafat berbeda dari ilmu lainnya yang
bersifat partikular. Contoh pertanyaan filsafat tentang “Manusia itu siapa?”,
sejak awal kajian filsafat yang mempertanyakan hal ini sampai sekarang,
pertanyaan ini tidak pernah selesai dipertanyakan. Dengan demikian, filsafat
ialah dasarnya ilmu pengetahuan. Filsafat tidak terikat dengan sistem nilai,
sosial dan budaya apapun. Termasuk di dalamnya adat, kebudayaan, keyakinan,
kepercayaan, agama, dan moral. Tujuannya hanya mencari kebenaran akhir sebatas
kemampuan akal manusia. Jadi, sumber kebenaran filsafat adalah akal pikiran.
Ini jelas berbeda dari sumber kebenaran agama yang berasal dari wahyu. Bagi
saya yang mempelajari filsafat, maka saya mengakui bahwa sumber kebenaran adalah
akal pikiran. Bila agama tidak sesuai dengan filsafat, maka saya tolak
kebenaran agama. Tapi bila sebaliknya, maka saya pasti menerima kebenaran agama
tersebut.
Sampai di sini, kita bisa pahami bahwa
filsafat masuk ke dunia Islam sejak Islam ekspansi ke luar wilayah jazirah
Arab. Padahal, saat Islam hanya berada di kawasan Mekah dan Madinah, umat Islam
hanya berpegang pada tafsir saja. Para sahabat hanya berusaha menebak-nebak
makna teks al-Qurán. Tentu saja, saya bisa katakan, bahwa kita tidak perlu mengikuti
ajaran sahabat yang seperti itu. Sudah kadaluwarsa. Masa masuknya filsafat ke
dunia Islam ternyata melahirkan banyak pemikir brilian yang berasal dari umat
Islam sendiri. Tokoh-tokoh tersebut contohnya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn
Maskawih, Abu Bakar Ar-Rabi, dan sebagainya. Khusus tentang Ar-Rabi, dia sangat
radikal sekali. Ar-Rabi tidak percaya kenabian. Bahwa Nabi tidak
diperlukan.
B. Filosof Muslim
danPemikirannya
1.
Al-Kindi dan Pemikirannya
Al-Kindi membagi daya jiwa
menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible),
dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana
Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya
berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu)
sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat
berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan
baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi
dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka
yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi
filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut
keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah
sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran
dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
2.
Al-Farabi dan Pemikirannya
Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan
Ibnu Abi rabi’, farabi berpendapat bahwa manusia adalah mahluk social yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat lantaran tidak mungkin
memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa melibatkan bantuan dan kerjasama
dari orang lain. Kepemimpinan dapat tumbuh karena adanya keahlian dan pembawaan
yang bisa mengarahkan orang untuk menegakkan nilai-nilai etis dan
tindakan-tindakan yang mampu memelihara apa yang ada secara mantap.
Menurut Al-Farabi ada tiga macam
masyarakat yang sempurna, yaitu: masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna
sedang dan masyarakat sempurna kecil. Dari ketiga macam masyarakat itu, pusat
perhatian Al-Farabi lebih terfokus pada masyarakat sempurna kecil yang disebut
masyarakat kota atau Negara kota. Negara kota yang selanjutnya kita sebut sebagai
Negara saja, menurut Farabi terdapat bermacam-macam Negara, yaitu: Negara
utama, Negara bodoh, Negara rusak, Negara merosot serta rumpun-rumpun jahat.
Dalam rangka merealisir Negara utama, Farabi memfokuskan perhatiannya pada Kepala Negara. Kedudukan kepala Negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordianasi. Sejalan dengan itu, kriteria seorang kepala Negara harus memenuhi kualitas luhur, yaitu: lengkap anggota badannya, baik inteligensinya, mutu intelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan mudah dimengerti, pecinta pendidikan dan gemar mengajar, pecinta kejujuran, tidak loba, berbudi luhur, tidak diutamakan keduniaan, bersifat adil, optimisme dan besar hati, kuat pendiriannya, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil. Farabi juga menambahkan pentinganya suatu kepala Negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktivitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan yang sesat.
Dalam rangka merealisir Negara utama, Farabi memfokuskan perhatiannya pada Kepala Negara. Kedudukan kepala Negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordianasi. Sejalan dengan itu, kriteria seorang kepala Negara harus memenuhi kualitas luhur, yaitu: lengkap anggota badannya, baik inteligensinya, mutu intelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan mudah dimengerti, pecinta pendidikan dan gemar mengajar, pecinta kejujuran, tidak loba, berbudi luhur, tidak diutamakan keduniaan, bersifat adil, optimisme dan besar hati, kuat pendiriannya, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil. Farabi juga menambahkan pentinganya suatu kepala Negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktivitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan yang sesat.
3.
Ibnu Maskawaih dan Pemikirannya
Menurut Ibnu
Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat
rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu
panca indera.
Jiwa tidak
bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa
dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu
dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam
dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam
satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu,
baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa
lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan
dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari
itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan
pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan
antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh
panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan
obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan
demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan
kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara
amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui
bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya
terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang
dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
4.
Ibnu Thufail dan
Pemikirannya
Sebagaimana
umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga
berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana
kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam
karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran,
yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal
juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat
eluminasi).
Hasil karya
Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana
bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah
(magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah
menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla
(Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi
tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim
nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai
apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
jos
BalasHapus