Senin, 29 April 2013

FUNGSI PROFETIK AGAMA DI DALAM HUKUM


FUNGSI PROFETIK AGAMA DI DALAM HUKUM
A.    Pesan Profetik Agama
Salah satu imbas dari merekahnya reformasi pertengahan 1998 adalah hidupnya demokrasi yang memberi ruang kepada agama untuk berperan secara lebih leluasa. Dalam rentang waktu itu pula peran agama selalu mengundang kontroversi karena beragamnya perspektif, interpretasi, dan ekspektasi dari pemeluknya saat memasuki ruang publik. Pada satu sisi, terdapat ’’mazhab’’ yang menganjurkan sentralitas peran agama di tengah-tengah ruang publik (teokrasi); tetapi pada sisi lain ada yang menghendaki sublimasi agama ke wilayah privat (sekular).
Secara substantif, polarisasi dua kutub aliran itu bermuara pada keharusan agama tetap keep updated dengan etos kehidupan publik serta mempertahankan relevansinya di ranah publik. Dari sinilah muncul tuntutan agar agama mampu bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi seperti good governance, hak asasi manusia (HAM), ketertiban sipil, dan ketaatan hukum. Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik?
Buku Islam Profetik, Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik karya Masdar Hilmy ini berusaha mengurai masalah itu dengan ’’agak’’ tuntas. Buku ini terbagi dalam empat bagian dengan bahasan yang cukup menohok pola keberagamaan Indonesia kontemporer. Bagian pertama berisi tentang berbagai fenomena kehidupan yang makin menjauh dari pesan profetik agama, serta bagaimana ’’santri’’ menafsir makna zaman pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga membahas kesalehan sosial masyarakat multikultural, dan ditutup dengan bahasan ruang publik yang tidak privat.
Melihat beragam bahasannya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu upaya menempatkan teks suci tidak berhenti pada kodratnya sebagai teks saja. Lebih daripada itu, teks harus dijadikan sebagai kekuatan substansial yang mendorong perubahan di ranah publik. Upaya imperatif ini penting dilakukan karena tidak sedikit kenyataan sosial yang menunjukkan adanya paradoks keagamaan, seperti maraknya korupsi yang dilakukan orang yang justru dikenal ’’agamis’’. Padahal dalam tataran normatif, agama selalu mengandaikan kehadiran unsur-unsur Ilahi dalam setiap tingkah laku manusia sebagai konsekuensi ke-Maha Hadir-an Tuhan.
Bagi umat muslim yang mayoritas di negeri ini, Masdar menyatakan bahwa ’’cermin besar’’ keteladanan itu sesungguhnya bisa dilacak dalam diri Nabi Muhammad Saw dalam segala aspek kehidupannya. Dosen Pascasrajana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menekankan, pemaknaan terhadap keteladanan itu tidak boleh dilakukan secara harfiah dan sepotong-potong, tetapi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif.
B.     Kesadaran Profetik
Kesadaran profetik ini penting karena fenomena kehidupan kekinian terlihat makin menjauh dari semangat kenabian, dengan maraknya kekerasan, terorisme, kriminilitas, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketertindasan, keangkuhan, pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Sedangkan Islam profetik mempunyai misi membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu kemanusiaan tersebut, serta mengajak mereka melakukan perubahan menuju kurva positif.
Untuk memunculkan kesadaran profetik setidaknya ada dua jalan yang mesti ditempuh. Yaitu membebaskan agama dan mengkonstruksinya menjadi agama yang membebaskan. Langkah pertama meniscayakan pembacaan agama yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, serta pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan. Artinya, pembacaan agama yang bersifat teosentris (manusia untuk agama) harus diubah menjadi antroposentris (agama untuk manusia).
Pembebasan umat dari kungkungan teks-teks yang membelenggu aspek kemanusiaan inilah secara otomatis melahirkan agama yang membebaskan. Dalam tahap ini ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Pesan ini selaras dengan perjalanan Nabi Muhammad Saw yang semasa hidupnya setidaknya melakukan tiga pembebasan besar bagi umat dan masyarakatnya dalam bidang sosio-kultural, ekonomi, serta penyikapan terhadap agama yang berlainan
C.    Profetik Agama
Agama rakyat merupakan keyakinan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan menjadi pendorong serta penggerak terjadinya perbaikan dan perubahan, yang kadang dipengaruhi faktor kekuasaan. Agama rakyat itu merupakan agama monoteisme yang melakukan perlawanan terhadap agama multiteisme. Agama multiteisme meniscayakan dirinya sebagai pendukung banyak kebenaran yang hakikatnya kebodohan dan kerusakan. Sebab kebenaran dan keadilan memiliki substansi pada suatu kausa prima yang teraktualkan oleh manusia melalui sikap dan tingkah lakunya.
Agama rakyat dalam realitasnya dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki banyak sisi. Artinya realitas sosial selalu dipengaruhi oleh posisi agama. Olehnya itu, Zainuddin Maliki menuliskan bahwa tesis agama rakyat dengan melihat fungsi-fungsinya dalam masyarakat, dapat di kemukakan berikut :
Pertama, Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan penyatu dan kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meskipun menghadapi perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat memiliki keyakinan dan kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem sosial.
Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan kualifikasi tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak ke arah integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan-pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang menganggap agama rakyat tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.
Kedua, legitimasi. Di sini agama rakyat di posisikan sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya di tengah konflik sosial-politik dan ketidak-pastian. Antara pemimpin dan yang di pimpin merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem sosial. Dalam hal ini karakteristik otoritas pemimpin akan menentukan legitimasi di hadapan yang di pimpin. Karakteristik itu bisa berasal dari sumber tradisonal, legal rasional dan kharisma pemimpin.
Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan persetujuan masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat merupakan fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis, tetapi berubah kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya munculnya agama rakyat mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan masyarakat.
Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial yang autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara episodik sesuai kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya dalam hal ini, pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi kekuasaan dan otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.
Ketiga, Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang sedang dicapainya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme dan lebih memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan kenestapaan.
Agama rakyat memposisikan dirinya sebagai medium pembebasan atas segala kerusakan dan kebobrokan yang menimpa termasuk dilakukan oleh penguasa. Dalam hal ini jika penguasa merupakan pendukung status quo maka agama rakyat menjadi pendukung perubahan yang anti kemapanan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden. Nilai-nilai profetik keagamaan menjadi orientasi ideal serta motivasi dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan. Walhasil terjadi di kotomi antara agama rakyat yang pro-perubahan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden dengan pendukung realitas sosial yang rusak dan bobrok.
D.    Profetik Agama dan Hukum
Bisa dipastikan, misi profetik agama dapat memberi kontribusi bagi pembangunan. Setidaknya, ia mendorong terciptanya ruang yang kondusif bagi perkembangan demokrasi yang bisa menjamin berlangsungnya sebuah pembangunan. Pada titik inilah misi profetik agama bisa mengambil peran, yaitu membangun ruang publik demokratis, karena dengan ruang publik yang demokratis, kebebasan beragama dijamin dan pembangunan bisa berjalan.
Meski demikian, sering persoalan agama dan pembangunan, menjadi problem tersendiri. Keinginan dominasi negara dengan menancapkan kuku-kukunya yang tajam pada ranah privat agama bukan hanya membelenggu agama, tetapi juga melahirkan tindakan balas dendam agama untuk menguasai negara serta melahirkan gerakan radikal yang kemudian menebar teror di berbagai tempat. Politisasi agama merupakan bumerang bagi negara di satu sisi, dan agamanisasi politik yang ingin mensubordinasi negara di bawah agama ternyata lebih berdampak negatif pada agama serta menghancurkan hubungan yang harmonis antaragama di sisi lain.
Oleh karena itu, ketika agama memasuki ruang publik dalam rangka memperjuangkan kepentingan umum (maupun kepentingan agama itu sendiri) harus melalui perdebatan rasional, dan tidak boleh melampaui nalar publik (public reason). Yang dimaksud nalar publik di sini yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah kebijakan publik (atau undang-undang) dalam bentuk penalaran yang menyediakan kemungkinan bagi setiap warga negara untuk menerima, menolak, bahkan membuat usulan tandingan melalui mekanisme debat publik yang setara dan bebas paksaan.
Karena argumen publik bersifat intersubjektif, maka apa pun yang berasal dari agama tidak boleh "diutamakan" hanya karena ia berasal dari Tuhan. Ia hanya dapat diberlakukan setelah terbukti dapat diterima oleh penalaran publik. Hukum agama (agar bisa diberlakukan secara publik, misalnya), harus terlebih dahulu memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut nalar publik. Baik individu maupun kelompok agamawan yang hendak memublikkan agama juga harus melakukan persuasi melalui nalar publik, dan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang melampaui nalar publik, misalnya koersi (An-Na'im: 2007).
Dengan demikian, agama tidak memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka (kaum agamawan) memaksakan kehendak tertentu kepada negara tanpa melalui debat publik. Negara harus lebih leluasa dalam menentukan dan menjalankan kebijakannya, namun tetap melalui jalur nalar publik. Sebaliknya, individu atau kelompok agama tidak saja diberi kebebasan menjalankan ibadah, melainkan juga mengedepankan misi profetik agama mereka ke hadapan publik tanpa harus menyertakan atribut-atribut agama masing-masing.
Dengan kata lain, nilai atau pesan publik agama tidak boleh melampaui prinsip "kewarganegaraan", yaitu harus mengakui adanya kesamaan status warga negara jika mereka ingin diperlakukan sama. Karena itulah, kesediaan menerima paham kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal adalah merupakan prasyarat moral, hukum, dan basis politik agar dapat dinikmati manfaatnya secara bersama.
Pada konteks inilah misi profetik agama tentu akan mampu berkontribusi bagi pembangunan, karena peran publik agama tidak lagi dipaksakan terhadap seluruh warga negara, tetapi diposisikan sebagai milik bersama melalui nalar publik, tanpa harus diklaim sebagai bagian dari salah satu agama tertentu. Dengan demikian, ruang publik dipelihara dan diperkaya oleh nilai-nilai profetik agama tanpa dibajak oleh kepentingan-kepentingan atau simbol-simbol agama tertentu, sehingga ruang publik bisa dinikmati bersama oleh berbagai kelompok dan seluruh warga negara. Pada saat yang sama, nalar publik ini menyelamatkan martabat agama yang mengemban misi profetik. Dengan kata lain, masing-masing agama memberi kontribusi pada ruang publik tanpa adanya klaim-klaim atau menyertakan simbol agamanya masing-masing.
Paralel dengan hal tersebut, tak pelak lagi misi profetik agama bisa dilibatkan dalam pembangunan dengan pengaturan yang tepat seperti di atas. Apabila tidak menjadi bagian dari pembangunan, agama-agama itu tidak dapat memainkan peranan profetik ke arah terbentuknya wajah batin kesadaran sebuah negara (Soejatmoko: 1996).
Kepekatan politik negeri ini dan kekuatannya untuk bertahan pada akhirnya tidak semata-mata bergantung pada keberhasilan material semata, tetapi juga pada kemampuan kaum agamawan dalam menerjemahkan misi profetik agama ke dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (pembangunan). Jika agama gagal memainkan peran ini, maka akan membuka jalan bagi kekuasaan despotik -yang dangkal misi profetik- dan negara akan berhenti melaksanakan agenda pembangunan yang membebaskan, tapi malah destruktif.
DAFTAR PUSTAKA
·         http://putrakeadilan.blogspot.com/2009/03/agama-dan-kekuasaan-agama-sebagai.html
·         http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=189616
agraphCd�id@I�H7�'mso-margin-top-alt:auto;mso-margin-bottom-alt: auto;mso-add-space:auto;text-align:justify;text-indent:-18.0pt;mso-list:l1 level1 lfo6'>·         http://www.scribd.com/doc/19794351/Filsafat-Abad-Pertgahan-Pd-Masa-Patristik-Dan-Skolastik?secret_password=&autodown=doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar