Islam di Myanmar
Islam di Myanmar termasuk dalam agama
minoritas, dengan presentase sekitar 4% dari jumlah penduduk di seluruh Myanmar.
Agama Islam pertama kali tiba di Myanmar pada tahun 1055.
Para saudagar Arab yang
beragama Islam ini mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung
Tanintharyi, dan Daerah Rakhin. Kedatangan umat Islam ini dicatat oleh
orang-orang Eropa, Cina dan Persia.[2][3]Populasi umat Islam yang ada di Myanmar saat ini terdiri dari keturunan Arab, Persia, Turki,
Moor,
Pakistan dan Melayu.
Selain itu, beberapa warga Myanmar juga menganut agama Islam
seperti dari etnis Rakhin dan Shan.
Populasi Islam
di Myanmar sempat meningkat pada masa penjajahan Britania Raya, dikarenakan banyaknya umat Muslim India
yang bermigrasi ke Myanmar.
Tapi, populasi umat Islam semakin menurun ketika perjanjian
India-Myanmar ditandatangani pada tahun 1941.[4]
Sebagian besar Muslim di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut,
saudagar dan tentara.[5]Beberapa diantaranya juga bekerja sebagai
penasehat politik Kerajaan Burma. Muslim Persia menemukan Myanmar setelah menjelajahi
daerah selatan Cina. Koloni muslim Persia
di Myanmar ini tercatat di buku Chronicles of China di 860.
Umat muslim asli Myanmar disebut Pathi dan muslim Cina
disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari kata Parsi.
Kemudian, komunitas muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim, dan Pathein.
Tapi komunitas muslim ini mulai berkurang seiring dengan bertambahnya populasi
asli Myanmar. Pada abad ke-19, daerah Pathein dikuasai oleh tiga raja
muslim India.
Pada zaman Raja Bagan yaitu Narathihpate (1255-1286),
pasukan muslim Tatar
pimpinan Kublai Khan dan menguasai Nga Saung Chan. Kemudian,
pasukan Kublai Khan ini menyerang daerah Kerajaan Bagan. Selama peperangan ini,
Kolonel Nasrudin juga menguasai daerah Bamau.
Sejarah Kedatangan Islam di Burma
Generasi Muslim Pertama di Burma
Generasi awal Muslim yang datang ke delta Sungai Ayeyarwady Burma, yang terletak di pantai Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9, sebelum pendirian imperium pertama Burma pada tahun 1055 AD oleh Raja Anawrahta dari Bagan. Keberadaan orang-orang Islam dan da'wah Islam pertama ini didokumentasikan oleh para petualang Arab, Persia, Eropa, dan Cina abad ke 9. Orang-orang Islam Burma merupakan keturunan dari orang-orang Islam yang menetap dan kemudian menikahi orang-orang dari etnis Burma setempat. Orang-orang Islam yang tiba di Burma umumnya sebagai pedagang yang kemudian menetap, anggota militer, tawanan perang, pengungsi, dan korban perbudakan. Bagaimanapun juga , ada diantara mereka yang mendapat posisi terhormat sebagai penasehat raja, pegawai kerajaan, penguasa pelabuhan, kepala daerah, dan ahli pengobatan tradisional.
Muslim Persia tiba di utara Burma yang berbatasan dengan wilayah Cina Yunnan sebagaimana tercatat pada Chronicles of China pada tahun 860 AD. Orang-orang Islam Burma kadang-kadang di sebut Pathi, sebuah nama yang dipercayai berasal dari Persia. Banyak perkampungan di utara Burma dekat dengan Thailand tercatat sebagai penduduk Muslim, dengan jumlah orang-orang Islam yang sering melebihi penduduk lokal Burma. Dalam sebuah catatan, Pathein dikatakan mendiami Pathis, dan pernah dipimpin oleh Raja India Muslim pada abad ke 13. Para pedagang Arab juga tiba di Martaban, Margue, dan ada pula perkampungan Arab di kepulauan Meik.
Selama pemerintahan Raja Bagan Narathihapate (1255-1286), pada masa perang pertama orang Cina dan Burma, Muslim Tartar Kublai Khan menyerang Kerajaan Kafir dan menduduki wilayah hingga ke Nga Saung Chan. Pada tahun 1283, Kolonel Nasruddin dari Turki menduduki wilayah hingga ke Barnaw (Kaungsin). Orang Turki (Tarek) disebut Mongol, Manchuria, Mahamaden atau Panthays.
Pelaut dan Pedagang Muslim
Bermula dari abad ke 7, para pedagang Arab datang dari Madagaskar melakukan perjalanan ke Cina melalui kepulauan India Timur, berhenti di Thaton dan Martaban. Orang laut Bago, mungkin menjadi Muslim, juga tercatat oleh para sejarawan Arab abad ke 10. Mengikuti perjalanan ini, pelaut dan tentara Muslim Burma dilaporkan telah melakukan perjalanan ke Melaka selama pemerintahan Sultan Parameswara pada abad ke 15. Dari abad ke 15 hingga 17, ada beberapa catatan dari para pelaut, pedagang, dan penduduk Muslim Burma tentang seluruh pesisir Burma : pantai Arakan, (Rakhine), delta Ayeyarwady dan pantai dan kepulauan Tanintharyi. Pada abad ke 17, Muslim menguasai perdagangan dan menjadi kuat. Mereka diangkat menjadi Gubernur Mergui, Raja Muda Propinsi Tenasserim, Penguasa Pelabuhan, Gubernur Pelabuhan dan Shahbandar (para pegawai pelabuhan senior)
Para Tawanan Perang Muslim
Burma memiliki sejarah panjang tentang pendudukan oleh para tawanan perang Muslim. Pada tahun 1613, Raja Anaukpetlun menangkap Thanlyin atau Syriam. Para prajurit upahan Muslim India di tangkap dan kemudian menetap di Myedu, Sagaing, Yamethin dan Kyaukse, wilayah utara Shwebo. Raja Sane (Say Nay Min Gyi) membawa beberapa ribu tawanan perang Muslim dari Sandoway dan menetap di Myedu pada tahun 1707 AD. Tiga ribuan Muslim dari Arakan menjadi pengungsi dibawah Raja Sane pada tahun 1698-1714. Mereka terbagi dan bertempat tinggal di Taungoo, Yamethin, Nyaung Yan, Yin Taw, Meiktila, Pin Tale, Tabet Swe, Bawdi, Syi Tha, Syi Puttra, Myae Du dan Depayin. Dekrit Raja ini telah disalin dari Perpustakaan kerajaan di Amarapura pada tahun 1801 oleh Kyauk Ta Lone Bo. Pada pertengahan abad 18, Raja Alaungpaya menyerang Assam dan Manipur India, kemudian membawa banyak orang Islam untuk menetap di Burma. Orang-orang Islam inilah yang kemudian berasimilasi untuk membentuk cikal bakal Muslim Burma. Selama kekuasaan raja Bagyidaw (1819-1837), Maha Bandula menyerang Assam dan membawa kembali 40.000 tawanan perang, kebanyakan dari mereka adalah kaum Muslimin.
Generasi awal Muslim yang datang ke delta Sungai Ayeyarwady Burma, yang terletak di pantai Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9, sebelum pendirian imperium pertama Burma pada tahun 1055 AD oleh Raja Anawrahta dari Bagan. Keberadaan orang-orang Islam dan da'wah Islam pertama ini didokumentasikan oleh para petualang Arab, Persia, Eropa, dan Cina abad ke 9. Orang-orang Islam Burma merupakan keturunan dari orang-orang Islam yang menetap dan kemudian menikahi orang-orang dari etnis Burma setempat. Orang-orang Islam yang tiba di Burma umumnya sebagai pedagang yang kemudian menetap, anggota militer, tawanan perang, pengungsi, dan korban perbudakan. Bagaimanapun juga , ada diantara mereka yang mendapat posisi terhormat sebagai penasehat raja, pegawai kerajaan, penguasa pelabuhan, kepala daerah, dan ahli pengobatan tradisional.
Muslim Persia tiba di utara Burma yang berbatasan dengan wilayah Cina Yunnan sebagaimana tercatat pada Chronicles of China pada tahun 860 AD. Orang-orang Islam Burma kadang-kadang di sebut Pathi, sebuah nama yang dipercayai berasal dari Persia. Banyak perkampungan di utara Burma dekat dengan Thailand tercatat sebagai penduduk Muslim, dengan jumlah orang-orang Islam yang sering melebihi penduduk lokal Burma. Dalam sebuah catatan, Pathein dikatakan mendiami Pathis, dan pernah dipimpin oleh Raja India Muslim pada abad ke 13. Para pedagang Arab juga tiba di Martaban, Margue, dan ada pula perkampungan Arab di kepulauan Meik.
Selama pemerintahan Raja Bagan Narathihapate (1255-1286), pada masa perang pertama orang Cina dan Burma, Muslim Tartar Kublai Khan menyerang Kerajaan Kafir dan menduduki wilayah hingga ke Nga Saung Chan. Pada tahun 1283, Kolonel Nasruddin dari Turki menduduki wilayah hingga ke Barnaw (Kaungsin). Orang Turki (Tarek) disebut Mongol, Manchuria, Mahamaden atau Panthays.
Pelaut dan Pedagang Muslim
Bermula dari abad ke 7, para pedagang Arab datang dari Madagaskar melakukan perjalanan ke Cina melalui kepulauan India Timur, berhenti di Thaton dan Martaban. Orang laut Bago, mungkin menjadi Muslim, juga tercatat oleh para sejarawan Arab abad ke 10. Mengikuti perjalanan ini, pelaut dan tentara Muslim Burma dilaporkan telah melakukan perjalanan ke Melaka selama pemerintahan Sultan Parameswara pada abad ke 15. Dari abad ke 15 hingga 17, ada beberapa catatan dari para pelaut, pedagang, dan penduduk Muslim Burma tentang seluruh pesisir Burma : pantai Arakan, (Rakhine), delta Ayeyarwady dan pantai dan kepulauan Tanintharyi. Pada abad ke 17, Muslim menguasai perdagangan dan menjadi kuat. Mereka diangkat menjadi Gubernur Mergui, Raja Muda Propinsi Tenasserim, Penguasa Pelabuhan, Gubernur Pelabuhan dan Shahbandar (para pegawai pelabuhan senior)
Para Tawanan Perang Muslim
Burma memiliki sejarah panjang tentang pendudukan oleh para tawanan perang Muslim. Pada tahun 1613, Raja Anaukpetlun menangkap Thanlyin atau Syriam. Para prajurit upahan Muslim India di tangkap dan kemudian menetap di Myedu, Sagaing, Yamethin dan Kyaukse, wilayah utara Shwebo. Raja Sane (Say Nay Min Gyi) membawa beberapa ribu tawanan perang Muslim dari Sandoway dan menetap di Myedu pada tahun 1707 AD. Tiga ribuan Muslim dari Arakan menjadi pengungsi dibawah Raja Sane pada tahun 1698-1714. Mereka terbagi dan bertempat tinggal di Taungoo, Yamethin, Nyaung Yan, Yin Taw, Meiktila, Pin Tale, Tabet Swe, Bawdi, Syi Tha, Syi Puttra, Myae Du dan Depayin. Dekrit Raja ini telah disalin dari Perpustakaan kerajaan di Amarapura pada tahun 1801 oleh Kyauk Ta Lone Bo. Pada pertengahan abad 18, Raja Alaungpaya menyerang Assam dan Manipur India, kemudian membawa banyak orang Islam untuk menetap di Burma. Orang-orang Islam inilah yang kemudian berasimilasi untuk membentuk cikal bakal Muslim Burma. Selama kekuasaan raja Bagyidaw (1819-1837), Maha Bandula menyerang Assam dan membawa kembali 40.000 tawanan perang, kebanyakan dari mereka adalah kaum Muslimin.
60 Tahun Pembantaian Muslim Myanmar (Burma)
Burma atau Myanmar selalu indentik dengan Aung San Suu Kyi.
Orang tak pernah tahu bagaimana perjuangan dan kondisi Muslim Burma selama ini.
Kelompok aktivis hak asasi manusia internasional hanya membciarakan Suu Kyi,
padahal SLORC (State Law and Order Restoration Council—atau Dewan Restorasi
Penguasa dan Hukum Negara) melakukan banyak tindakan brutal terhadap Muslim
Burma.
Opresi Burma mulai muncul ke permukaan pada 1998 seiring dengan munculnya Suu Kyi yang mendapatkan penghargaan perdamaian Nobel di tahun 1991. Tahun 1886, Inggris menjajah Burma, dan sebelumnya umat Muslim dan Hindu di negara ini hidup berdampingan dalam damai.
Tahun 1938, Inggris mulai menurunkan tangan besinya. Lebih dari 30.000 Muslim Burma dibunuh secara missal, dan 113 masjid diberangus. Setelah kemerdekaan Burma tahun 1948, nasib bangsa Muslim tidak juga berubah. Mereka menjadi korban kekerasan pemerintah dan militer, dan jumlahnya bahkan sampai 90.000 ribu orang yang tewas.
Tahun 1961, pemerintah Burma menyatakan bahwa Budha adalah agama negara dan semua orang Islam harus belajar nilai dan budaya agama Budha. Lewat kudeta militer, Jenderal Ne Win mendeklrasikan Burma sebagai Negara sosialis. Tahun 1982, Ne Win menyatakan Muslim Rohingya sebagai pendatang ilegal. Sementara diskriminasi terhadap Muslim Burma terus berjalan tanpa diketahui banyak oleh dunia internasional.
Tahun 1990. Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu untuk pertama kalinya. Namun SLORC, tidak mengakui kemenangan Suu Kyi dan sebaliknya menangkap dan memenjarakannya. Bukan hanya pada Suu Kyi, SLORC juga kejam terhadap Muslim Burma. Mereka tak segan menembak langsung ditempat jika mendapati orang Islam sedang shalat di masjid. Para Muslimah Rohingya juga kerap dijadikan sasaran pemerkosaan oleh tentara Burma.
Tanggapan dunia internasional? Seperti biasa, bersikap ganda. Di satu sisi, AS mengecam pemerintah Burma karena penangkapan dan penyiksaan aktivis kemanusiaan seperti Suu Kyi, namun di sisi lain mengabaikan nasib Muslim Burma yang jelas-jelas menjadi korban kebiadaban yang tak berkesudahan.
Saat ini, perjuangan Muslim Burma terkumpul dalam The Rohingya Solidarity Alliance, sebuah front militer Islam. Mereka terus berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan yang diberlakukan oleh rejim-rejim yang tak punya rasa kemanusiaan.
Tim Penyelamatan
Muslim Rohingya di Myanmar mengeluarkan siaran pers, sebagaimana dirilis
majalah al-Mujtama’a Kuwait, tentang diskriminasi yang selama ini
dialami umat Islam di negeri itu. Media massa Islam dan internasional
disebutkan tidak pernah menyuarakan penderitaan mereka kepada dunia luar.
Masyarakat Muslim di Myanmar, menurut tim ini, ditindas oleh junta militer
Budha Myanmar lebih dari setengah abad. Bentuk penindasan itu berupa
pengusiran, pembunuhan, perampasan tanah, dan diskriminasi dalam hak memperoleh
pendidikan dan administrasi pernikahan. Selain itu, semua aset mereka harus
tercatat di kantor pemerintahan.
Bentuk kezaliman rezim
Budha lainnya adalah menghancurkan beberapa masjid dan sekolah Islam di
Myanmar, sejak kudeta militer tahun 1988 itu. “Umat Islam dalam jumlah besar
telah meninggalkan Myanmar dan berpindah ke negara-negara terdekat, seperti
Bangladesh, demi mendapatkan jaminan keamanan,” demikian salah satu kutipan
dalam keterangan pers itu. Selanjutnya, tim tersebut meminta pemerintah
negara-negara Arab dan Islam memberikan perhatian dan pembelaan terhadap kasus
yang menimpa umat Islam di sana. Mereka juga meminta bantuan beasiswa belajar
dan pendirian stasiun televisi untuk mengekspos kasus yang menimpa mereka ke
dunia luar. Islam masuk ke negara yang juga dikenal dengan Burma ini pada abad
pertama hijriyah lewat para pedagang Arab yang sekaligus mendakwahkan Islam di
negeri itu.
Mengenal Komunitas Muslim Myanmar
Pada umumnya masyarakat muslim di Burma terbagi
dalam tiga komunitas yang berbeda, dan masing-masing komunitas muslim ini
mempunyai hubungan yang berbeda-beda dengan mayoritas masyarakat Budha dan
pemerintah. Komunitas muslim yang terdapat di Myanmar yaitu: 1) Muslim Burma
atau Zerbadee, merupakan komunitas yang paling lama berdiri dan berakar
di wilayah Shwebo. Diperkirakan mereka merupakan keturunan dari para mubalig
yang datang dari timur tengah dan Asia selatan serta penduduk muslim awal yang
kemudian beranak pinak dengan masyarakat Burma. 2) Muslim India, Imigran
Keturunan India, merupakan komunitas muslim yang terbentuk seiring kolonisasi
Burma oleh Inggris. 3) Muslim Rohingya (Rakhine) yang bermukim di Negara bagian
Arakan atau Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh.
Dinamika Muslim Myanmar 1940-1970
Imigrasi India dan bangkitnya nasionalisme
menciptakan ketegangan yang signifikan di antara ketiga komunitas muslim di
Burma itu, begitu pula antara muslim dan mayoritas Budha. Sementara itu, banyak
muslim India terlibat dalam berbagai organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
yang terkait dengan asal mereka di anak benua India. Kaum muslim Burma yang
telah lama terbentuk cenderung mengambil sikap sama dengan mayoritas Budha dan
mendukung gerakan nasionalis Burma. Muslim Rakhine tetap terlepas dari keduanya
dan terus mengembangkan sejarah mereka sendiri, terpisah dari kedua komunitas
lainnya.
Setelah Burma merdeka pada 1948, ketiga komunitas
muslim di atas memiliki peran yang berbeda. Komunitas yang pertama yaitu muslim
Burma mendapat tempat dalam pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Sedangkan kaum
muslim India yang lebih berpandangan keluar dan berorientasi pada peniagaan
merasa hidup lebih sulit setelah kemerdekaan. Mereka kemudian mencari
persekutuan politik dengan politisi-politisi Burma atau kembali ke India dan
Pakistan. Setelah nasioalisasi ekonomi besar-besaran oleh pemerintahan Dewan
Revolusioner Ne Win pada 1963, ratusan ribu orang Asia Selatan, termasuk kaum
muslim, kembali ke Negara asal mereka. Namun, masih terdapat komunitas muslim
dalam jumlah yang signifikan tersisa di Yangon dan kota-kota lain di selatan
Myanmar.
Catatan Kelam
Dibandingkan dengan muslim Zerbadee dan
muslim India, kedudukan muslim Rakhine (Rohingya) tergolong yang paling sukar. Mereka
merupakan komunitas yang paling miskin yang ada di Burma. Mereka selalu ditolak
status kewarganegaraannya, juga berbagai akses sekolah dan rumah sakit. Selain
itu, mereka juga disulitkan oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan. Pada
tahun 1942 terjadi peristiwa yang sangat memilukan bagi umat Islam, gerakan
anti Islam yang dilancarkan oleh penganut Budha melakukan pembantai
besar-besaran terhadap muslim di Arakan yang mengakibatkan kematian sekitar
100.000 umat Islam sedangkan sebagian lainnya mengalami cacat dan tidak
diizinkan untuk menempati rumah dan tanah mereka sendiri.
Akibat penindasan dan diskriminasi yang mereka
alami, setelah perang dunia II kaum muslim ini menuntut agar bagian utara dari
wilayah Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw yang mereka tempati dimasukkan ke
Pakistan. Namun pemerintah menolak tuntutan tersebut, sehingga terjadilah
perselisihan bersenjata antara pasukan “Mujahid” yang dibentuk oleh muslim
Rohingya dengan pasukan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar