BAB I
PENDAHULUAN
A. Fungsi
Bahasa Indonesia dalam Pembangunan Bangsa
Pernyataan sikap
"bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia,
dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" dalam Kongres Pemuda 28
Oktober 1928 merupakan perwujudan politik bangsa Indonesia yang menempatkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) bangsa Indonesia. Bahasa
Indonesia telah menyatukan berbagai lapisan masyarakat ke dalam satu-kesatuan
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia mencapai puncak perjuangan politik sejalan
dengan perjuangan politik bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara (lihat pasal 36 UUD 1945, lihat juga hasil
amandemen UUD, Agustus 2002).
Kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah menempatkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Ipteks
berkembang terus sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Perkembangan ipteks yang didukung oleh
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (seperti internet, e-mail,
e-business, e-commerce, TV-edukasi, dan lain-lain) melaju dengan pesat terutama
memasuki abad ke-21 sekarang.
Di sisi lain,
perkembangan bahasa Indonesia terasa belum seimbang dengan perkembangan ipteks
dan zamannya. Pengalihan konsep-konsep ipteks dari bahasa asing terutama bahasa
Inggris belum seluruhnya dapat dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sebagai akibatnya, kosakata dan istilah asing itu mengalir deras ke dalam khasanah
kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, peran strategis bahasa Indonesia
sebagai bahasa peradaban modern masih memerlukan pengembangan yang lebih serasi
dan serius sesuai dengan perkembangan ipteks.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bahasa
dalam Peradaban modern
Dalam rangka
menuju ke arah peradaban modern, kita perlu memahami, menguasai, dan
mengembangkan konsep-konsep ipteks modern, yang pada umumnya masih tertulis
dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Agar konsep-konsep ipteks modern
tidak hanya diserap oleh mereka yang memahami bahasa asing yang jumlahnya tentu
tidak sebanding dengan jumlah anggota masyarakat Indonesia yang memerlukannya
dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, maka penyebarluasan
konsep-konsep ipteks modern itu harus dilakukan dengan menggunakan bahasa
Indonesia.
Dalam rangka
lebih memasyarakatkan peristilahan modern itu, istilah-istilah yang telah
berhasil disusun kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai kamus istilah.
Tentu saja, selain mengandung padanan istilah dalam bahasa Indonesia, kamus
istilah itu juga mencantumkan rumusan atau penjelasan setiap istilah yang
dicantumkan. Sampai sekarang, telah berhasil disusun tidak kurang dari 40 buah
kamus istilah. Penerbitan daftar dan kamus istilah itu sangat penting dan
bermanfaat dalam rangka memasyarakatkan dan menyebarluaskan perangkat istilah
yang sudah dibakukan. Jika upaya penerbitan dan publikasi itu tidak dilakukan,
maka hasil penyusunan dan pembakuan istilah itu akan tetap tertinggal sebagai
harta karun.
Para ilmuwan
dari berbagai disiplin diharapkan menggunakan istilah yang telah dibakukan itu
dengan taat asas. Oleh karena itu, harus pula diupayakan adanya arus balik yang
dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam proses pengembangan bahasa
selanjutnya. Dipandang dari segi pembinaan dan pengembangan bahasa, masuknya
istilah-istilah yang sudah dibakukan itu ke dalam buku ajar, makalah, laporan
penelitian, jurnal-jurnal ilmiah, karangan-karangan ilmiah lainnya, dan media
komunikasi dan informasi (baca: komputer) merupakan langkah berikutnya yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi.Bahasa Indonesia memiliki dua sifat utama yang
menguntungkan, yaitu bentuk yang sederhana sehingga mudah dipelajari dan
kelenturan (fleksibel) untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh latar belakang
sejarah kebahasaan yang kuat. Kaum cerdik-cendekia yang hidup pada zaman
kemerdekaan pun, pada umumnya yakin bahwa bahasa Indonesia mempunyai kemampuan
berkembang luas dengan cepat di tanah air ini, dari Sabang sampai Merauke.
Danzer Carr misalnya, berkeyakinan bahwa bahasa Indonesia dapat menggantikan
kedudukan bahasa Inggris di Asia. Bahasa Indonesia tidak diragukan lagi
kemampuannya untuk menjadi bahasa ipteks modern.
B. Pengembangan
Ipteks
Bahasa ragam
ipteks itu harus hemat dan cermat karena menghendaki respons yang pasti dari
pendengar dan pembacanya. Kaidah-kaidah sintaktis dan bentukan-bentukan bahasa
dan ranah penggantinya harus mudah dipahami. Kehematan penggunaan kata,
kecermatan dan kejelasan sintaktis yang berpadu dengan penghapusan unsur-unsur
yang bersifat pribadi dapat menghasilkan ragam ipteks yang umum.
Kalimat ipteks
yang panjang-panjang hanya dapat direspons secara langsung oleh pembaca yang
terlatih. Pembaca dan penyimak ragam bahasa ipteks itu diharapkan tidak
memperoleh informasi yang keliru. Kelugasan, keobjektifan, dan
keajegan/konsistensi bahasa ipteks itulah yang membedakannya dengan bahasa
ragam sastra yang subjektif, halus, dan lentur, sehingga interpretasi pembaca
yang satu kerapkali sangat berbeda dengan interpretasi dan apresiasi pembaca
lainnya.
Ihwal
pengembangan bahasa Indonesia ragam ipteks, hal itu dapat dihubungkan dengan
klasifikasi bidang ilmu yang lazim berlaku di Indonesia, yaitu ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan budaya. Yang menjadi
masalah sekarang adalah unsur ip (ilmu pengetahuan) pada ipteks itu merujuk
pada bidang ilmu yang mana? Apalagi sekarang ini telah berkembang teknologi
komunikasi dan informasi, seperti internet, e-mail, e-business, e-commerce,
cybertechnology, teleducation, cybercity, dan lain-lain.
Berdasarkan
pemakaian kata ilmu pengetahuan sebagai padanan kata science (s) dengan muatan
makna natural science, maka unsur ip pada kata ipteks itu merujuk pada ilmu
pengetahuan alam. Dengan demikian, bahasa Indonesia ragam ipteks itu adalah
bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan
teknologi (science and technology).
Upaya
pengembangan konsep ipteks modern dalam bahasa Indonesia itu hanya mungkin
dapat dilakukan dengan baik apabila istilah-istilah yang biasa digunakan dalam
bidang ipteks itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal itu berarti,
untuk dapat mengembangkan bahasa Indonesia menjadi ragam ipteks, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menyusun peristilahannya.
Untuk keperluan
itulah Pusat Bahasa yang ada sekarang, dengan bantuan sejumlah pakar perguruan
tinggi, lembaga-lembaga penelitian di Indonesia telah berhasil menyusun
peristilahan untuk berbagai bidang ilmu, dengan memberikan prioritas pada empat
bidang ilmu dasar, yakni fisika, kimia, biologi, dan matematika. Keempat bidang
ilmu dasar itu masing-masing diberi judul Glosarium Fisika, Glosarium Kimia,
Glosarium Biologi, dan Glosarium Matematika.
Di tengah
perubahan sosial-politik dan teknologi informasi serta komunikasi yang ada
sekarang, apalagi menuju bahasa Indonesia menjadi peradaban modern, para pakar
dari berbagai disiplin ilmu harus bahu-membahu menjadikan bahasa Indonesia
sejajar dengan bahasa asing lainnya, terutama bahasa Inggris.
Kita ambil
contoh kata valid yang dipungut dari bahasa Inggris. Orang Inggris menyerap
kata itu dari kata validus dari bahasa Latin. Dengan menggunakan proses
morfologis bahasa Inggris, terbentuklah kata-kata validity, validate, validly,
dan validness. Kata-kata itu dalam kamus bahasa Inggris ada dalam satu lema
(entry). Jika kita bandingkan kata-kata pungut dalam kamus bahasa Inggris
dengan kata pungut dalam kamus bahasa Indonesia, maka akan terlihat adanya perbedaan
yang mencolok.
Dalam rangka
mengembangkan kosakata bahasanya, orang Inggris mempertahankan sistem dan
kaidah kebahasaannya secara ajeg (konsisten). Sikap bahasa yang demikian itu
tidak tampak dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, termasuk Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam edisi terbarunya. Kata valid dan validitas diserap langsung
dari bahasa Inggris tanpa mengalami proses morfologis bahasa Indonesia,
sehingga kedua kata tersebut merupakan dua lema yang berbeda.
Untuk kata
valid itu, para leksikograf Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menurunkan
kevalidan sebagai padanan kata validness. Bahkan akhir-akhir ini kita sering
mendengar dan membaca pemakaian kata validasi sebagai padanan kata validation.
Penyerapan kata
validate sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa proses morfologis
bahasa Indonesia. Dengan menggunakan kaidah morfologi bahasa Indonesia, dapat
diturunkan kata memvalidkan. Dengan menggunakan kaidah morfologi bahasa
Indonesia, penyerapan itu sesungguhnya dapat berlangsung lebih mudah dan ajeg.
Dari kata valid dapat diturunkan kata-kata kevalidan, memvalidkan, pemvalidan,
dan secara valid, yang merupakan sinonim kata keabsahan, mengabsahkan,
pengabsahan, dan secara absah. Dari uraian di atas dapat disenaraikan
karakteristik bahasa Indonesia ragam ipteks sebagai berikut. Pertama, kelugasan
dan kecermatan yang menghindari segala macam kesamaran dan ketaksaan
(ambiguity). Kedua, keobjektifan yang sedapat mungkin tidak menunjukkan selera
perseorangan (impersonal). Ketiga, pembedaan dengan teliti, nama, ciri, atau
kategori yang mengacu ke objek penelitian atau telaahnya agar tercapai
kecermatan dan ketertiban bernalar. Keempat, penjauhan emosi agar tidak
mencampurkan perasaan sentimen dalam tafsirannya. Kelima, kecenderungan
membakukan makna kata dan ungkapannya dan gaya pemeriannya berdasarkan
perjanjian. Keenam, langgamnya tidak bombastis atau dogmatis, dan, ketujuh,
penggunaan kata dan kalimat dengan ekonomis agar tidak lebih banyak daripada
yang diperlukan.
Kini, 28
Oktober 2004 kita berada pada jarak 76 tahun dari para pendahulu kita yang
sangat peduli terhadap martabat bahasa Indonesia itu. Marilah kita bersama-sama
merefleksi kembali apakah keyakinan, kebulatan semangat kebangsaan
(nasionalisme) untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat, sehingga
bahasa Indonesia sebagai sarana penghubung antarsuku, antardaerah,
anatarbudaya, dan sarana pengembangan ipteks modern itu digunakan dengan
sebaik-baiknya? Malu, rasanya aku jadi bangsa Indonesia (meminjam istilah
Taufiq Ismail), kita yang hidup di alam kemerdekaan dengan kecanggihan
teknologi komunikasi dan informasi sekarang tidak dapat memanfaatkan peluang
untuk mempersatukan seluruh komponen masyarakat dan bangsa ini.
Namun, ada satu
harapan baru ketika para pemuda kita empat tahun lalu, bersamaan dengan
peringatan Sumpah Pemuda 2000 telah mengikrarkan adanya Sumpah Internet Pemuda,
yang dapat diakses langsung dari seluruh pelosok tanah air. Ini merupakan
sebuah upaya nyata agar masyarakat dan bangsa kita di tengah krisis multidimensional
sekarang tidak terpecahpecah dan berakibat pada disintegrasi bangsa. Oleh
karena itu, perlu dukungan dan tindak lanjut dari berbagai kelompok masyarakat,
seperti elite politik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pers, para
pemuda, dan mahasiswa agar Sumpah Internet Pemuda tersebut dapat
diimplementasikan menuju peradaban modern.***
C. Peran
Bahasa Indonesia dan Daerah Dalam Pembangunan
Pendahuluan
Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di
berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada
berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping
bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman,
kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan
masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam
perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai
bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang
mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari
bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber
dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta
pengaruh globalisasi.
Justeru, bahasa
Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan
sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam
suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat
menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan
bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan
melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan
bahasa-bahasa daerah.
Dengan demikian
bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam
memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran
bahasa Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah
diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab.
Dengan prinsip
tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah
direncanakan dalam pembangunan masyarakat. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota
meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Pengembangan
Bahasa, termasuk sastra berhubungan dengan kewenangan pemerintahan di Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan, baik yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah pusat berupa penyediaan standar, pedoman,
fasilitas dan bimbingan dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra. Sedangkan
kewenangan untuk penyelenggaraan kajian sejarah dan nilai tradisionil serta
pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan bagian dari kewenangan
provinsi.
Oleh karena
bahasa dan sastra daerah pada dasarnya berkembang dari masyarakat di desadesa,
kampung-kampung serta kelompok masyarakat tradisional yang secara kewilayahan
berada dalam wilayah kabupaten/kota, maka mulai di kabupaten/kota dilakukan
kegiatan operasional pengembangan bahasa dan sastra daerah. Di tingkat nasional
sudah ada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang
mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk lembaga perpanjangan
penyelenggaraan Pusat Bahasa berupa balai atau kantor bahasa yang berfungsi
untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra. Penyelenggaraan kegiatan
pada lembaga bahasa di tingkat provinsi/kabupaten ini terkait langsung dengan
rangkaian penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan.
Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Era Otoda Pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda
seharusnya semakin mendapat tempat yang penting, karena era otoda memerlukan,
sumberdaya manusia yang berkualitas, akselarasi manajemen yang tepat,
masyarakat yang peduli, dan keterhubungan pihak lain secara komunkatif.
Keseluruhan unsur tadi berkaitan langsung dengan bahasa sebagai piranti utama
dalam berinteraksi.
Perubahan
sistem pemerintahan negara dari sentralistik menjadi desentralistik yang
diwujudkan melalui sistem otonomi daerah memberikan peluang dan tantangan bagi
upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa mengalami perubahan
sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat penuturnya. Bahasa
digunakan sebagai sarana ekspresi dan komunikasi dalam kegiatan kehidupan
manusia, seperti dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan teknologi.. Seiring dengan
perkembangan zaman, kebudayaan dan ilmu serta teknologi berkembang sedemikian
rupa. Bahasa Indonesia pun berkembang mengikuti perkembangan tersebut. Pesatnya
perkembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi di dunia Barat membawa pengaruh
terhadap perkembangan bahasa Indonesia, khususnya di bidang kosakata/
peristilahan.
Di samping itu,
luas wilayah pemakaian (tersebar dipulau-pulau yang secara geografis
terpisahkan dengan oleh laut) dan besarnya jumlah penutur yang berlatar
belakang (bahasa daerah dan kebudayaannya), memungkinkan terjadinya
perubahan-perubahan di tiaptiap daerah yang lama kelamaan akan berkembang
menjadi dialek tersendiri. Oleh karena itu, perlu diadakan kontak terus menerus
antara daerah yang satu dan daerah yang lain untuk menjaga keutuhan bahasa
Indonesia. Perkembangan bahasa Indonesia itu harus diarahkan menuju ragam
bahasa baku.
Selanjutnya,
ada beberapa dasar pembinaan bahasa Indonesia yang diharapkan memberikan
semangat dan motivasi tinggi dalam membina dan mengembangkan bahaasa Indoensia.
Landasan tersebut bersifat keagamaan (religius), kesejarahan (historis,
politis), kecendekian (intelektual), bersifat kemasyarakatan (sosial). Dengan
landasan tersebut, pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada era otonomi
daerah menjadi kuat, tidak tergoyahkan oleh kondisi yang bersifat
memecah-belah, dan dapat dijadikan referensi dalam menjaga kesatuan dan
persatuan demi keutuhan bangsaIndonesia. Landasan yang bersifat keagamaan
adalah bahwa bahasa Indonesia itu karunia Tuhan yang harus kita syukuri.
Membina dan mengembangkan bahasa Indonesia berarti mensyukuri karunia Tuhan.
Sebaliknya,
mengabaikan pemeliharaan bahasa Indonesia adalah sama dengan tidak mensyukuri
karunia Tuhan. Landasan kedua bersifat kesejarahan, yaitu bahasa Indonesia
merupakan amanat para pejuang atau pahlawan bangsa. Butir ke-3 Sumpah pemuda
tahun, 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjungjung bahasa Persatuan,
bahasa Indonesia.. Demikian pula Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa
Negara adalah bahasa Indonesia. Generasi penerus harus mengamalkan amanat itu.
Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan “menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar dalam suasana resmi” berarti mengamalkan amanat para pahlawan
tersebut.
Dasar
berikutnya adalah landasan kecendekiaan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang
mampu mengemban konsep, mutu, dan dan keilmiahan, karena diemban oleh
intelektualisme para cendekiawan atau orang terpelajar, bukan awam. Kemampuan
intelektual orang terpelajar jauh lebih tinggi daripada orang awam. Pengalaman
intelektual mereka pun jauh lebih banyak daripada orang awam. Atas dasar itu,
bahasa Indonesia orang terpelajar harus lebih bermutu daripada orang awam.
Bahasa Indonesia beragam.
Dasar ini juga
merupakan landasan dalam pembinaan bahasa Indonesia, karena secara sosial,
penutur bahasa Indonesia berasal dari berbagai strata dan kelompok masyarakat.
Ragam bahasa Indonesia di antaranya: ragam baku, nonbaku, ragam ilmiah, dan
ragam lainnya. Fokus dan Arah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pada
prinsipnya, pembinaan dan pengembangan bahasa adalah upaya dan penyelenggaraan
kegiatan yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing. ini supaya dapat memenuhi fungsi
dan kedudukannya. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia difokuskan
melalui usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaian yang cermat, tepat dan
efisien dalam berkomunikasi.
Sehubungan
dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam bidang ejaan,
kosakata/istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia perlu
diarahkan dan didahulukan pada bahasa Indonesia ragam tulis karena coraknya lebih
tetap dan batas cakupannya lebih jelas. Di samping itu, pembakuan lafal perlu
dilakukan sebagai pegangan guru, penyiar televisi/radio dan masyarakat luas.
Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: (1) pembinaan terutama
difokuskan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan
(2) pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam segala aspeknya.
Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu (1) pengembangan
bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap)
dan (2) pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda).
Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bhasa lisan dan bahasa tulis. Ragam
bahasa lisan mencakup lafal, tata bahasa, dan kosakata/istilah, dan ejaan.
Dalam ragam
bahasa tulis yang digarap lebih dahulu adalah ejaan, dengan peresmian
penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan oleh Presiden Republik Indonesia tahun
1972. Kemudian, disusul dengan usaha pembakuan di bidang kosakata/istilah yang
pemakaiannya diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975.
Di samping itu, dilakukan pula pengolahan kembali Kamus Umum Bahas Indonesia
karangan M.J.S. Poewadarminta oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang
terbit mulai cetakan V tahun 1976. Kemudian, pada tahun 1988 terbit Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dan disempurnakan dalam edisi kedua yang terbit pertama tahun
1991. Usaha pembakuan dalam bidang tata bahasa secara resmi telah dirintis
dengan diadakannya Seminar Penyusunan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1988.
Dalam hal
pengembangan kemampuan dan sikap, telah ditempatkan dasar yang kuat, yaitu
dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan
dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia sehingga
penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Di samping itu,
telah dan terus dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai
bahasa Indonesia dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan
kebahasaan secara langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian,
diharapkan akan diperoleh keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai
laras bahasa (jenis penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan
bahasa-salah satu tujuan itu adalah pembakuan bahasa dapat dicapai. Pada era
otoda ini, pembinaan bahasa tetap mengacu kepada sikap kebijakan pembinaan
bahasa, yaitu ditujukan kepada masyarakat penutur bahasa. Pembinaan ini menakup
dua arah, yaitu vertikal dan horizontal. Arah vertikal dengan sasaran pembinaan
kepada generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, yang merupakan generasi
penerus. Arah horizontal dengan sasaran pembinaan kepada generasi sekarang,
yaitu masyarakat luas minus generasi muda.
Pada masyarakat
generasi sekarang diutamakan pembinaan ragam bahasa tulis, karena merekalah
yang akan mewariskan penggunaan bahasa yang baik dan benar kepada generasi
penerus. Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan
dan pengembangan bahasa pada era otoda sekarang ini meliputi usaha pengembangan
bahasa (yang salah satu sasarannya berupa pembakuan bahasa) dan usaha
meningkatkan kemampuan dan sikap penutur bahasa Indonesia agar dapat
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Beberapa
Masalah Pembinaan Bahasa Indonesia Era Otoda Pembinaan bahasa Indonesia sudah
lama dilakukan, bahkan sejak zaman Pejangga Baru (1933). Tetapi, sampai
sekarang masih banyak kendala yang dihadapi dan dialaminya, khususnya di era
otoda. Masalah utama adalah persoalan sikap terhadap pembinaan bahasa
Indonesia. Ada sebagian masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang meremehkan
bahasa Indonesia. Sikap mereka terhadap pembinaan bahasa Indoensia acuh tak
acuh. Mereka menilai: (1) Pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia kurang
menarik, (2) Hasilnya kurang nyata, (3) Bahasa Indonesia dianggap mudah.
Karena dianggap
mudah, orang Indonesia tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia. Persoalan
sikap tersebut semakin menjadi masalah, karena sikap negatif itu bukan berasal
dari kelompok awam, melainkan kelompok cendekia atau terpelajar. Mereka itu
sebagian adalah pelaku utama dan pemegang peranan penting dalam roda otonomi
daerah Jika orang awam bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, itu dapat
dipahami. Tetapi, jika orang terpelajar bersikap seperti orang awam itu,
tampaknya tidak berterima. Masalahnya, orang awam berbeda dengan orang
terpelajar. Orang awam tidak banyak berkaitan dengan dunia pemikiran. Kegiatannya
terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sedangkan
seorang terpelajar berkaitan erat dengan dunia pemikiran.
Pemikiran-pemikirannya melahirkan konsep-konsep, perencanaan, dan
kebijakan-kebijakan. Karena orang terpelajar pencetus konsep, perencana
kegiatan, dan pembuat kebijakan, orang terpelajar selalu bergulat dengan
masalah mutu sumberdaya manusia. Dalam pergulatan itulah bahasa Indonesia
tampil sebagai piranti yang penting karena bahasa Indonesia merupakan bahasa
resmi, bahasa negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
orang terpelajar (kita semua) pada hakikatnya berkepentingan dengan pembinaan
bahasa Indonesia.
Bahkan orang
terpelajar dengan sendirinya menjadi pembina Bahasa Indonesia. Sebabnya, sekali
lagi, orang terpelajar terlibat dalam dunia pemikiran. Sebab lain, orang
terpelajar sering terlibat dalam suasana resmi, suasana kenegaraan, dan yang
terakhir, orang terpelajar berpengaruh kuat terhadap orang lain (anak buah,
bawahan). Alasan tersebut di atas yang menjadikan kelompok terpelajar, kita
semua, harus berperan sebagai pembina bahasa Indonesia.
Konsekuensi
logisnya adalah mau tak mau, kita haruslah menjadi contoh, teladan, anutan,
model bagi orang lain. Setidaknya, bahasa Indonesia kita harus bermutu. Apakah
bahasa Indonesia yang bermutu itu? Bahasa Indonesia yang bermutu ialah bahasa
Indoensia yang bersih dari kesalahan, baik kesalahan kaidah, kesalahan logika,
maupun kesalahan budaya. Kesalahan kaidah sudah sering dibahas. Jadi
pembicaraannya tidak perlu untuk sementara. Kesalahan logika tampak pada
penggunaan pola seperti: “Dalam seminar itu membicarakan masalah pengentasan
kemiskinan”. “Beberapa seniman diberikan penghargaan”, dan yang lain. Kesalahan
budaya terlihat pada penggunaan kata-kata asing seperti oke, sorry, point,
complain, no comment, coffee morning, dan yang lain. Begitu pula penggunaan
pola-pola seperti: “tujuan daripada pembangunan”, “banyak teori-teori”, “tidak
masalah”, dan yang lain. Pola-pola seperti itu merupakan kesalahan budaya yang
melahirkan kesalahan kaidah. Bacaan Halim, Amran. 1976.
Politik bahasa
Nasional II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halim, Amran.
1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Kridalaksana, Harimurti. 1976. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende:
Nusa Indah. Mawardi, Oentarto S. Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam
Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia
VIII, Jakarta, 14 – 17 Oktober 2003 Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indoensia
dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara. Sumowijoyo, G. Susilo. 2001. Pos Jaga.
Bahasa Indonesia. Surabaya: Unipress Unesa ABSTRAK Bahasa Indonesia memiliki
peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Peran tampak di
dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia.
Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan
bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk
membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya
kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai
milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji
keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara.
Adanya gejolak
dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah
bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya,
melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum,
dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini
menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh
masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah.
Hal ini dapat
terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana
komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada
di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan
kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa
Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan
pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa
Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah
diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab.
Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang
telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar