Senin, 29 April 2013


BUSANA DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT ACEH DAN KONTEKS KEKINIAN
Prawacana
Busana dalam  konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat. Isu busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di Aceh, dan terutama di Bumi Teuku Umar patut mendapatkan perhatian banyak pihak, sebagai suatu realitas sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak mungkin  dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”.
Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks Aceh hari ini, memiliki latar belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial budaya. Paling  tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan jawaban akademik dan praktis. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang (social equilibrium).
Keempat simpul yang menjadi background munculnya isu busana sebagai isu sosial di Aceh, termasuk di Aceh Barat adalah sebagai berikut :
Pertama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dikenal kental dengan ajaran syari’at Islam.   Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku masyarakat Aceh sejak puluhan abad yang lalu. Masyarakat Aceh menjadikan syari’at Islam sebagai nilai, norma dan standar etika yang memayungi setiap gerak individu dalam kehidupan keseharian. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti oleh seluruh masyarakat Aceh.  Nilai, norma dan etika yang dijadikan referensi masyarakat Aceh dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, pada akhirnya melahirkan panduan baku dalam menjalankan sejumlah interaksi sosial.
Proses internalisasi ajaran syari’at Islam menjadi nilai sosial  positif ditengah masyarakat Aceh, melalui proses panjang yang berangkat dari pemahaman teks keagamaan. Pemahaman keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi ketika teks itu dibicarakan atau diimplementasikan dalam realitas masyarakat Aceh. Situasi sosial, kultur dan politik ikut juga mempengaruhi proses internalisasi ajaran syari’at menjadi nilai moral, dan nilai kultur yang bersifat implementatif. Dengan demikian,  norma, nilai dan  etika yang bersifat implementatif, merupakan pemaknaan dari ajaran normatif syari’at Islam.
Dari sisi ajaran normatif syari’at, busana bagi muslim memiliki posisi tersendiri, sehingga sejumlah teks memberikan ruang agar manusia memaknai  busana yang dikenakannya sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihargai, dihormati dan dijunjung tinggi. Busana dengan konsep menutup aurat, merupakan bentuk aktualisasi dari nilai budaya suatu komunitas manusia. Oleh karena itu, ketika nilai sosial-budaya yang melekat pada busana/pakaian yang filosofinya menutup aurat, digeserkan pada situasi lain yang berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku selama ini, hampir dapat dipastikan munculnya gelembung dan gejolak sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kerangka pikir di atas secara praktis akan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat kenapa masyarakat muslim menggunakan pakaian yang tidak sejalan dengan aturan syari’at Islam. Bukankan syari’at telah memberikan batasan yang jelas bagaiamana pengaturan mengenai pakaian atau busana yang mesti digunakan oleh masyarakat muslim. Pertanyaan ini muncul di sebagian masyarakat muslim Aceh Barat selama ini, melihat sebagian masyarakat muslim menggunakan pakaian yang diklaim sebagai pakaian yang tidak mencerminkan nilai-niliai yang bersumber pada ajaran agama Islam. Namun, sebagian pandangan memahami apa yang digunakan oleh masyarakat muslim selama ini, dianggap sejalan dengan nilai etika yang berasal dari ajaran Islam. Perbedaan pandangan iniliah yang telah memunculkan reaksi dari berbagai pihak mengenai bagaimana semestinya pakaian /busana yang tepat bagi seorang muslim.
Kedua, Aceh memiliki otonomi khusus dalam menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah). Kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan syari’at Islam mendapat payung hukum yang cukup kuat yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk menjadikan aturan hukum syari’at yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai hukum positif. Kedua undang-undang ini mendorong rekonstruksi aturan syari’at menjadi hukum positif negara. Proses rekonstruksi materi syari’ah menjadi  norma hukum positif dilakukan melalui proses legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur urusan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama Gubernur merupakan wahana yang diberikan sistem hukum Indonesia untuk menampung norma hukum syari’ah,   hingga menjadi aturan tertulis yang dapat ditegakan oleh negara. Oleh karenanya, materi qanun sangat terbuka ruang diskusi, sehingga sering dikontraskan dengan apa yang tertulis secara literal dalam teks al-Qur’an dan al-Hadis, dan bahkan tidak jarang pula dikontraskan dengan pemahanan atau pandangan ulama yang terdapat di dalam sejumlah buku-buku fiqh.
Pengaturan busana bagi masyarakat muslim dalam Qanun Aceh belum mendapat tempat secara jelas dan tegas. Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam hanya mengatur secara umum prinsip berbusana islami yaitu menutup aurat, dengan tidak merinci  secara spesifik norma-norma hukum yang harus diikuti seseorang dalam menggunakan busana islami. Akibatnya, prinsip busana islami yang tertera dalam Qanun Aceh diberikan tafsiran secara beragam  oleh masyarakat guna mengukur prilaku seseorang dalam berbusana. Keragaman tafsiran mengenai norma hukum yang digunakan telah menimbulkan sejumlah perbedaan dalam memaknai pakaian/busana islami yang memenuhi standar syari’at. Dalam kenyataan sering ditemukan sekelompok orang mengklaim bahwa busana yang ia kenakan sejalan dengan syari’at dan sebagian lagi mengklaim bahwa pakaian yang  dikenakan orang tertentu tidak sejalan dengan syari’at. Kecenderungan menilai bahwa busana yang dikenakan seseorang memenuhi standar atau tidak memenuhi standar, sangat tergantung pada nilai yang dianut oleh suatu komunitasnya. Nilai ini bisa saja berbeda antara  komunitas yang satu dengan komunitas yang lain.



Ketiga, terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa tindakan yang diambil petugas yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penertiban busana islami terkesan tidak lagi menjurus kepada pesan tazkir dan ta’dib tetapi lebih dirasakan menjurus kepada perlakuan yang dianggap tidak tepat dan tidak adil. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar terjadi melihat realitas di mana sosialisasi yang terbatas ikut mempengaruhi terbangunnya persepsi miring terhadap  penertiban dan pembinaan masyarakat yang berbusana islami. Harus diakui pula bahwa terdapat juga sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai penegak syari’at, tetapi melakukan tindakan yang dianggap jauh dari nilai kemaslahatan dan kedamaian. Padahal  kedua nilai ini semestinya dijunjung tinggi oleh pelopor dan penegak syari’at.
          Keempat, busana mendapat tempat dalam setiap tatanan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Tatanan nilai ini dapat saja berbentuk wahana nilai agama, nilai hukum, nilai sosial, nilai budaya,  nilai kesehatan, nilai etika maupun nilai estetika. Nilai-nilai ini diharapkan menjadi kongkrit dalam realitas sosial yang dapat memandu anggota komunitas dalam penggunaan busana. Semakin kongkrit nilai yang ada dalam persepsi masyarakat, semakin mudah masyarakat memahami dan menjadikannya sebagai patokan prilaku terutama dalam kaitannya dengan busana. Walaupun dalam masyarakat tradisional, pengkongkretisasian nilai melalui sejumlah “areal” tidak begitu penting, karena dalam masyarakat tradisional nilai dinyatakan sebagai sesuatu yang melekat di dalam setiap anggota komunitas, dan mereka sendiri yang merasakan pentingnya ditegakkan nilai-nilai itu. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat modern, nilai-nilai abstrak yang dianut dan dipersepsikan masyarakat memerlukan pengejawantahan secara kongkrit dalam norma positif, sehingga akan memudahkan untuk diukur dan dijadikan patokan dalam setiap prilaku termasuk dalam berbusana. Oleh karenanya, kekosongan kongkretisasi  nilai telah menyebakan ketidakseragaman apresiasi masyarakat terhadap nilai itu. Hal ini dapat dibuktikan dalam diskursus busana islami yang terjadi selama ini  di Aceh.   
           Realitas di atas dapat dianggap menjadi background  munculnya diskursus panjang seputar busana di kalangan masyarakat muslim, telah mengharuskan kita memetakan sejumlah premis antara lain ; bagaiamana busana dimakna dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh yang islami. Busana dalam bungkus budaya islami tentu tidak bisa menutup diri secara rapat, karena individu merupakan urat nadi budaya yang tidak pernah berhenti berinteraksi dengan sejumlah komponen budaya lain, di antaranya teknologi dan informasi. Kehidupan masyarakat yang semakin hari terus melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan modern, tentu ikut mempengaruhi konstruksi budaya mengenai busana dalam konteks kekinian. Hal ini patut pula kita cermati, karena busana sebagai hasil konstruksi budaya tidak pernah statis dan kaku, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.     
 Busana dalam seting sosial-budaya
Studi busana dalam seting sosial budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values) yang dianut oleh suatu masyarakat. Nilai tersebut dapat saja bersumber dari ajaran agama atau  nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh para leluhur sebagai warisan  yang dipegang dan dianut oleh suatu komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi orang-orang terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh generasi selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga  eksistensi nilai kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.
          Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai (values), bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau  menjaga jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat.  Nilai yang diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran agama maupun nilai budaya, akan menempatkan individu dalam komunitas sebagai makhluk berbudaya. Oleh karenanya,  esensi budaya tertumpu pada seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota masyarakat, yang mana nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku anggota masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan bahkan nilai estetika.
          Dalam masyarakat Aceh pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah norma (norm) yang berasal dari syari’at Islam. Ajaran syari’at  merupkan sumber nilai moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat Aceh. Nilai yang lahir dari perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat Aceh tidak akan dikonsepsikan sebagai nilai sosial atau budaya Aceh, jika bertentangan dengan nilai yang berasal dari ajaran syari’at Islam. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Aceh adalah syari’at Islam. Oleh karenanya, Ali Hajsmy menyatakan secara tegas bahwa budaya Aceh adalah syari’at Islam, dan jika ada nilai yang dikonsepsikan atau dikonstruksikan sebagai budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam bukanlah budaya Aceh. Pandangan Hasjmy ini mempertegas pemahaman bahwa prilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat akan selalu mengacu pada standar nilai syari’at Islam.
          Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh cenderung dipahami dalam dua perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka memaknai ajaran Tuhan  yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Kedua, busana sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat Aceh cenderung mengikuti pola yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Busana masyarakat Aceh yang berakar dari ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi sosialnya. Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas  masyarakat, tetapi busana menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat, serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka  budaya masyarakat Aceh, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.  
          Busana dalam masyarakat Aceh didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang  di dalam berbagai interaksi sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.  
BUSANA DALAM KONTEKS KEKINIAN
Secara alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan kehidupan  manusia bisa saja terjadi secara berurut,  teratur dan gradual, tetapi dalam realitasnya perubahan dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan cenderung revolusioner. Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat dan potensi diri sebagai anugerah Tuhan guna melalukan  perubahan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk mulia, bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan ditujukan untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual. Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati manusia, sehingga dijadikan rujukan dalam setiap prilaku. 
Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah dari waktu ke waktu. Nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan umumnya berasal dari ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi manusia terhadap ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah  dikenal dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder.
Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien, ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien, ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial. Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes, bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana janganlah menjadi penghambat aktivitas individu  dalam menjalankan profesionalitas keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris. Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun  estetika. Nilai dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula oleh individu ditengah-tengah masyarakat.
Purnawacana
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh dan konteks kekinian.
1.      Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.
2.      Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.
3.      Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas  dari situasi sosial, profesi dan persepsi masyarakat yang berkembang untuk suatu kurun waktu tertentu.
4.      Busana islami adalah busana yang modern, busana yang mendukung kreatifitas manusia dan busana yang memiliki nilai etis dan estetis, serta tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran syari’at Islam.
DENGAN DEMIKIAN PATOKAN DASAR BUSANA YANG DIKENAKAN OLEH MASYARAKAT MUSLIM ADALAH : 
1. NORMA AGAMA, MORAL, KEPATUTAN, ETIKA dan ESTETIKA
2. Menutup seluruh aurat
1.      Dari material yang halal
1.      Tidak sempit dan membentuk tubuh
2.      Harus berbeda dengan pemeluk agama lain
3.      Berbeda dengan pakaian laki-laki
4.      Bukan pakaian untuk dibangga-banggakan dan tidak mempesona orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar