BUSANA DALAM KONTEKS
SOSIAL BUDAYA
Prawacana
Busana
dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik
diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh
lembaga lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu
masyarakat. Isu busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di Aceh, dan
terutama di Bumi Teuku Umar patut mendapatkan perhatian banyak pihak, sebagai
suatu realitas sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus
bergulir dan tidak mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai
realitas (social reality) akan terus menerus melaju hingga memenukan
titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini dikenal dengan “kesempurnaan
realitas sosial”.
Diskursus
busana sebagai isu sosial dalam konteks Aceh hari ini, memiliki latar belakang
yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial budaya.
Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai background
yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan jawaban akademik
dan praktis. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam kerangka ilmu fiqh, ilmu
hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu lainnya. Isu busana yang
sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas sosial, diharapkan
benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang (social
equilibrium).
Keempat
simpul yang menjadi background munculnya isu busana sebagai isu sosial
di Aceh, termasuk di Aceh Barat adalah sebagai berikut :
Pertama,
masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dikenal kental dengan ajaran syari’at
Islam. Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku
masyarakat Aceh sejak puluhan abad yang lalu. Masyarakat Aceh menjadikan
syari’at Islam sebagai nilai, norma dan standar etika yang memayungi setiap
gerak individu dalam kehidupan keseharian. Nilai dan norma yang berasal dari
ajaran syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan
diikuti oleh seluruh masyarakat Aceh. Nilai, norma dan etika yang
dijadikan referensi masyarakat Aceh dalam menjalankan kegiatan sehari-hari,
pada akhirnya melahirkan panduan baku dalam menjalankan sejumlah interaksi
sosial.
Proses
internalisasi ajaran syari’at Islam menjadi nilai sosial positif ditengah
masyarakat Aceh, melalui proses panjang yang berangkat dari pemahaman teks
keagamaan. Pemahaman keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi ketika teks itu
dibicarakan atau diimplementasikan dalam realitas masyarakat Aceh. Situasi
sosial, kultur dan politik ikut juga mempengaruhi proses internalisasi ajaran
syari’at menjadi nilai moral, dan nilai kultur yang bersifat implementatif.
Dengan demikian, norma, nilai dan etika yang bersifat
implementatif, merupakan pemaknaan dari ajaran normatif syari’at Islam.
Dari
sisi ajaran normatif syari’at, busana bagi muslim memiliki posisi tersendiri,
sehingga sejumlah teks memberikan ruang agar manusia memaknai busana yang
dikenakannya sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihargai,
dihormati dan dijunjung tinggi. Busana dengan konsep menutup aurat,
merupakan bentuk aktualisasi dari nilai budaya suatu komunitas manusia. Oleh
karena itu, ketika nilai sosial-budaya yang melekat pada busana/pakaian yang
filosofinya menutup aurat, digeserkan pada situasi lain yang berbeda dengan
nilai dan norma yang berlaku selama ini, hampir dapat dipastikan munculnya
gelembung dan gejolak sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kerangka
pikir di atas secara praktis akan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat kenapa
masyarakat muslim menggunakan pakaian yang tidak sejalan dengan aturan syari’at
Islam. Bukankan syari’at telah memberikan batasan yang jelas bagaiamana
pengaturan mengenai pakaian atau busana yang mesti digunakan oleh masyarakat
muslim. Pertanyaan ini muncul di sebagian masyarakat muslim Aceh Barat selama
ini, melihat sebagian masyarakat muslim menggunakan pakaian yang diklaim
sebagai pakaian yang tidak mencerminkan nilai-niliai yang bersumber pada ajaran
agama Islam. Namun, sebagian pandangan memahami apa yang digunakan oleh
masyarakat muslim selama ini, dianggap sejalan dengan nilai etika yang berasal
dari ajaran Islam. Perbedaan pandangan iniliah yang telah memunculkan reaksi
dari berbagai pihak mengenai bagaimana semestinya pakaian /busana yang tepat
bagi seorang muslim.
Kedua,
Aceh memiliki otonomi khusus dalam menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh
(kaffah). Kewenangan yang dimiliki Aceh dalam
menjalankan syari’at Islam mendapat payung hukum yang cukup kuat yaitu UU No.
44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang
ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk menjadikan aturan hukum syari’at
yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai hukum positif. Kedua
undang-undang ini mendorong rekonstruksi aturan syari’at menjadi hukum positif
negara. Proses rekonstruksi materi syari’ah menjadi norma hukum positif
dilakukan melalui proses legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.
Qanun
Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur
urusan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun yang dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh bersama Gubernur merupakan wahana yang diberikan sistem
hukum Indonesia untuk menampung norma hukum syari’ah, hingga menjadi
aturan tertulis yang dapat ditegakan oleh negara. Oleh karenanya, materi qanun
sangat terbuka ruang diskusi, sehingga sering dikontraskan dengan apa yang
tertulis secara literal dalam teks al-Qur’an dan al-Hadis, dan bahkan tidak
jarang pula dikontraskan dengan pemahanan atau pandangan ulama yang terdapat di
dalam sejumlah buku-buku fiqh.
Pengaturan
busana bagi masyarakat muslim dalam Qanun Aceh belum mendapat tempat secara
jelas dan tegas. Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam hanya mengatur
secara umum prinsip berbusana islami yaitu menutup aurat, dengan tidak
merinci secara spesifik norma-norma hukum yang harus diikuti seseorang
dalam menggunakan busana islami. Akibatnya, prinsip busana islami yang tertera
dalam Qanun Aceh diberikan tafsiran secara beragam oleh masyarakat guna
mengukur prilaku seseorang dalam berbusana. Keragaman tafsiran mengenai norma
hukum yang digunakan telah menimbulkan sejumlah perbedaan dalam memaknai
pakaian/busana islami yang memenuhi standar syari’at. Dalam kenyataan sering
ditemukan sekelompok orang mengklaim bahwa busana yang ia kenakan sejalan
dengan syari’at dan sebagian lagi mengklaim bahwa pakaian yang dikenakan
orang tertentu tidak sejalan dengan syari’at. Kecenderungan menilai bahwa
busana yang dikenakan seseorang memenuhi standar atau tidak memenuhi standar,
sangat tergantung pada nilai yang dianut oleh suatu komunitasnya. Nilai ini
bisa saja berbeda antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain.
Ketiga,
terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa tindakan yang diambil
petugas yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penertiban
busana islami terkesan tidak lagi menjurus kepada pesan tazkir dan ta’dib
tetapi lebih dirasakan menjurus kepada perlakuan yang dianggap tidak tepat dan
tidak adil. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar
terjadi melihat realitas di mana sosialisasi yang terbatas ikut mempengaruhi
terbangunnya persepsi miring terhadap penertiban dan pembinaan masyarakat
yang berbusana islami. Harus diakui pula bahwa terdapat juga sekelompok orang
yang memproklamirkan diri sebagai penegak syari’at, tetapi melakukan tindakan
yang dianggap jauh dari nilai kemaslahatan dan kedamaian. Padahal kedua
nilai ini semestinya dijunjung tinggi oleh pelopor dan penegak syari’at.
Keempat, busana mendapat tempat dalam setiap tatanan nilai
yang dianut oleh suatu masyarakat. Tatanan nilai ini dapat saja
berbentuk wahana nilai agama, nilai hukum, nilai sosial, nilai budaya,
nilai kesehatan, nilai etika maupun nilai estetika. Nilai-nilai ini diharapkan
menjadi kongkrit dalam realitas sosial yang dapat memandu anggota komunitas
dalam penggunaan busana. Semakin kongkrit nilai yang ada dalam persepsi
masyarakat, semakin mudah masyarakat memahami dan menjadikannya sebagai patokan
prilaku terutama dalam kaitannya dengan busana. Walaupun dalam masyarakat
tradisional, pengkongkretisasian nilai melalui sejumlah “areal” tidak begitu
penting, karena dalam masyarakat tradisional nilai dinyatakan sebagai sesuatu
yang melekat di dalam setiap anggota komunitas, dan mereka sendiri yang
merasakan pentingnya ditegakkan nilai-nilai itu. Sebaliknya, dalam kehidupan
masyarakat modern, nilai-nilai abstrak yang dianut dan dipersepsikan masyarakat
memerlukan pengejawantahan secara kongkrit dalam norma positif, sehingga akan
memudahkan untuk diukur dan dijadikan patokan dalam setiap prilaku termasuk
dalam berbusana. Oleh karenanya, kekosongan kongkretisasi nilai telah
menyebakan ketidakseragaman apresiasi masyarakat terhadap nilai itu. Hal ini
dapat dibuktikan dalam diskursus busana islami yang terjadi selama ini di
Aceh.
Realitas di atas dapat dianggap menjadi background munculnya
diskursus panjang seputar busana di kalangan masyarakat muslim, telah
mengharuskan kita memetakan sejumlah premis antara lain ; bagaiamana busana
dimakna dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh yang islami. Busana dalam
bungkus budaya islami tentu tidak bisa menutup diri secara rapat, karena
individu merupakan urat nadi budaya yang tidak pernah berhenti berinteraksi
dengan sejumlah komponen budaya lain, di antaranya teknologi dan informasi.
Kehidupan masyarakat yang semakin hari terus melakukan perubahan dalam tatanan
kehidupan modern, tentu ikut mempengaruhi konstruksi budaya mengenai busana
dalam konteks kekinian. Hal ini patut pula kita cermati, karena busana sebagai
hasil konstruksi budaya tidak pernah statis dan kaku, tetapi dinamis dan
berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.
Busana
dalam seting sosial-budaya
Studi
busana dalam seting sosial budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values)
yang dianut oleh suatu masyarakat. Nilai tersebut dapat saja bersumber dari
ajaran agama atau nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh
para leluhur sebagai warisan yang dipegang dan dianut oleh suatu
komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi orang-orang
terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh generasi
selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga
eksistensi nilai kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.
Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai (values),
bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau menjaga
jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan
bermartabat. Nilai yang diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran
agama maupun nilai budaya, akan menempatkan individu dalam komunitas sebagai
makhluk berbudaya. Oleh karenanya, esensi budaya tertumpu pada
seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota masyarakat, yang mana
nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku anggota
masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan,
nilai etika dan bahkan nilai estetika.
Dalam masyarakat Aceh pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku
adalah norma (norm) yang berasal dari syari’at Islam. Ajaran syari’at
merupkan sumber nilai moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika.
Nilai dasar ini berkembang secara terus menerus dalam konstruksi budaya
masyarakat Aceh. Nilai yang lahir dari perkembangan interaksi sosial budaya
masyarakat Aceh tidak akan dikonsepsikan sebagai nilai sosial atau budaya Aceh,
jika bertentangan dengan nilai yang berasal dari ajaran syari’at Islam. Nilai
moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Aceh adalah
syari’at Islam. Oleh karenanya, Ali Hajsmy menyatakan secara tegas bahwa budaya
Aceh adalah syari’at Islam, dan jika ada nilai yang dikonsepsikan atau
dikonstruksikan sebagai budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam bukanlah
budaya Aceh. Pandangan Hasjmy ini mempertegas pemahaman bahwa prilaku yang dilakukan
oleh individu atau kelompok masyarakat akan selalu mengacu pada standar nilai
syari’at Islam.
Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh cenderung dipahami dalam dua
perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia
dalam rangka memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia
ditempatkan pada posisi yang mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai
anugerah dan ciptaan Allah memiliki kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan,
sehingga mengharuskan pemilik tubuh melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada
sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi dan rawan terhadap segala tindakan
yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia pada prilaku yang tidak sejalan
dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan derajat dan martabat manusia
bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia memperlakukan
tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Kedua, busana
sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat Aceh cenderung mengikuti pola yang
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Busana masyarakat Aceh yang
berakar dari ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi
dinamis, kreatif dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan
sejumlah interaksi sosialnya. Busana bukanlah penghambat dari sejumlah
aktivitas masyarakat, tetapi busana menjadi pelindung masyarakat. Busana
adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat, serta lambang kemuliaan dan
martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka budaya masyarakat
Aceh, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.
Busana dalam masyarakat Aceh didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh,
dan diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai
tersebut berasal dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai
moral, nilai kepatutan, nilai etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut
dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan standar dalam menilai busana yang
digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi sosialnya, baik pada masa
lalu maupun masa sekarang.
BUSANA
DALAM KONTEKS KEKINIAN
Secara
alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke
waktu. Perubahan kehidupan manusia bisa saja terjadi secara
berurut, teratur dan gradual, tetapi dalam realitasnya perubahan
dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan cenderung revolusioner.
Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat dan potensi diri
sebagai anugerah Tuhan guna melalukan perubahan dalam kehidupannya.
Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan
kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk
mulia, bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan
ditujukan untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual.
Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati
manusia, sehingga dijadikan rujukan dalam setiap prilaku.
Konsepsi
dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan
dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala
nilai dan konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang
senantiasai berubah dari waktu ke waktu. Nilai yang permanen adalah nilai dasar
yang bersifat tetap dan umumnya berasal dari ajaran agama yang diyakini sebagai
kebenaran yang bersifat absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah
nilai yang dibangun dari interpretasi manusia terhadap ajaran agama, dan nilai
ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia dalam nuansa kekinian. Dalam studi
sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal dengan nilai primer
dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan dengan
waktu, dikenal dengan nilai sekunder.
Perubahan
nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan
penuh gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat
teknologi dan informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja
efektif, efisien, ekonomis dan profesional individual dalam malakukan
interaksinya. Efektif, efisien, ekonomis dan professional merupakan tatanan
baru yang disepakati manusia modern dalam menjalankan kegiatan dan profesinya
sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan gerak individu dalam
menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau
menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk
sosial. Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang
luwes, bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari.
Busana janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan
profesionalitas keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan
profesi manusia dalam kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris,
tetapi hubungan yang simetris. Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama,
norma, moral, etika dan kepatutan untuk melakukan sejumlah ativitas, namun
tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di patauhis serta
dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh karena itu,
standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas
profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun
estetika. Nilai dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan
diactualisasikan secara bersama pula oleh individu ditengah-tengah masyarakat.
Purnawacana
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi
perhatian berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh
dan konteks kekinian.
1. Busana
adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan
busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat
martabat kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang
selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.
2. Perubahan
kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus
menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi
nilai dasar tersebut harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang
sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai
makhluk berbudaya.
3. Dalam
seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam
sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan
publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas
kemungkinan besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang
bersumber dari ajaran agama dan moral tidak pernah lekang dari busana yang
dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam sejarah, busana masyarakat muslim Aceh,
tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi dan persepsi masyarakat
yang berkembang untuk suatu kurun waktu tertentu.
4. Busana
islami adalah busana yang modern, busana yang mendukung kreatifitas manusia dan
busana yang memiliki nilai etis dan estetis, serta tidak keluar dari
prinsip-prinsip ajaran syari’at Islam.
DENGAN
DEMIKIAN PATOKAN DASAR BUSANA YANG DIKENAKAN OLEH MASYARAKAT MUSLIM ADALAH
:
1. NORMA AGAMA, MORAL, KEPATUTAN, ETIKA dan ESTETIKA
2. Menutup
seluruh aurat
1. Dari material yang halal
1. Tidak sempit dan membentuk tubuh
2. Harus berbeda dengan pemeluk agama
lain
3. Berbeda dengan pakaian laki-laki
4. Bukan pakaian untuk
dibangga-banggakan dan tidak mempesona orang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar