Demokrasi Di Indonesia dan Sejarahnya
Ketiga jenis lembaga-lembaga
negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga
pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan
legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan.
Selain pemilihan umum
legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan
presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak
wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian
warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai
tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud
di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri
secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum
sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari
sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan
sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik
apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada
masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah dan Perkembangan
Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari
Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara
tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi menempati posisi vital
dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan
konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari
rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica
ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah
mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak
mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.
Demikian pula kekuasaan
berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari
lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan
anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa
kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara
bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme
formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme
ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan
lembaga negara tersebut.
Demokrasi, dalam pengertian
klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu
pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul
pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Sedangkan demokrasi dalam pengertiannya yang modern muncul pertama kali di
Amerika. Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir
besar seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Mengingat
semakin berkembangnya negara-negara pada umumnya, secara otomatis menyebabkan
makin luasnya negara dan banyaknya jumlah warganya serta meningkatnya
kompleksitas urusan kenegaraan, mengakibatkan terjadinya perwalian aspirasi
dari rakyat, yang disebut juga sebagai demokrasi secara tidak langsung.
Demokrasi Klasik
Plato dalam ajarannya menyatakan
bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehingaa
kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil,
rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan
kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi
diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles
sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang
sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi
dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi
yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan
Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh
rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Demokrasi Modern
Ada tiga tipe demokrasi modern,
yaitu :
- Demokrasi representatif dengan sistem
presidensial Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas
antara badan dan fungsi legislatif dan eksekutif. Badan eksekutif terdiri
dari seorang presiden, wakil
presiden dan menteri yang membantu presiden
dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan
perwakilan rakyat (legislatif), para menteri tidak memiliki
hubungan pertanggungjawaban dengan badan legislatif. Pertanggungjawaban
para menteri diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Presiden dan para
menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan legislatif.
- Demokrasi representatif dengan sistem
parlementer Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat
antara badan eksektif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari kepala
negara dan kabinet (dewan menteri),
sedangkan badan legisletafnya dinamakan parlemen.
Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan pemerintahan adalah
kabinet sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya.
Kepala negara hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk
membubarkan parlemen.
- Demokrasi representatif dengan sistem
referendum (badan pekerja) Dalam sistem ini tidak terdapat
pembagian dan pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sistemnya
sendiri di mana BADAN eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif.
Badan eksekutifnya dinamakan bundesrat yang merupakan
bagian dari bundesversammlung (legislatif)
yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan
nasional- dan standerat yang merupakan
perwakilan dari negara-negara bagian yag disebut kanton.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh American Institute of Public Opinion terhadap 10 negara
dengan pemerintahan terbaik, diantaranya yaitu Switzerland, Inggris, Swedia dan
Jepang di posisi terakhir, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri demokrasi (modern)
yaitu adanya hak pilih universal, pemerintahan perwakilan, partai-partai
politik bersaing, kelompok-kelompok yang berkepentingan mempunyai otonomi dan
sistem-sistem komunikasi umum, frekuensi melek huruf tinggi, pembangunan
ekonomi maju, besarnya golongan menengah.
Demokrasi totaliter
Demokrasi totaliter
adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sejarahwan Israel, J.L. Talmon
untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang
terpilih secara sah mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga
negaranya, meskipun memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama
sekali tidak memiliki partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan oleh Bertrand de Jouvenel
dan E.H. Carr.
Liberalisme
Liberalisme
atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai
politik yang utama.[1]
Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir
bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang
bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang
relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak
adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh
karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi
tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern,
liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan
Pandangan-pandangan liberalisme dengan paham agama seringkali berbenturan
karena liberalisme menghendaki penisbian dari semua tata nilai, bahkan dari
agama sekalipun. meski dalam prakteknya berbeda-beda di setiap negara, tetapi
secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi
akal manusia
“‘Liberalisme’ didefinisikan
sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara
umum.” – Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to
Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: “Kebebasan itu sendiri bukanlah
sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah
tujuan politik yang tertinggi.”- Lord Acton
Oxford Manifesto dari Liberal
International: “Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi
yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan
didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang
diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang
diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai
kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.”
“‘Liberalisme’ didefinisikan
sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara
umum.” – Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to
Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: “Kebebasan itu sendiri bukanlah
sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah
tujuan politik yang tertinggi.”- Lord Acton dari Liberal International :
“Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati.
Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada
persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar ( enlightened)
dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan
rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas
Meritokrasi
Berasal dari kata merit
atau manfaat, meritokrasi menunjuk suatu bentuk sistem politik
yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau
berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat
adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk
sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidak adilan yang
kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil
memimpin. Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap di pakai menentang
birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme.
Plutokrasi
Plutokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar
kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, Ploutos
yang berarti kekayaan dan Kratos yang berarti kekuasaan. Riwayat
keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang berawal di kota
Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia.
Teokrasi
Teokrasi adalah
bentuk pemerintahan di mana agama atau iman memegang peran utama. Kata
“teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos)
artinya “tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya
“pemerintahan oleh tuhan”.
Demokrasi Kesukuan
Demokrasi Kesukuan
adalah sebuah sistem atau bentuk pemerintahan setempat yang diselenggarakan di
dalam batas-batas: wilayah ulayat, jangkauan hukum adat, dan sistem
kepemimpinan serta pola kepemimpinan suku dan segala perangkat kesukuannya
(tribal properties). Demokrasi Kesukuan juga dapat disebut sebagai demokrasi
yang asli dan alamiah alamiah.
Demokrasi Kesukuan, menurut
penggagasnya, Sem Karoba, adalah sebuah demokrasi yang tidak mengenal partai
politik, karena partai politik pada dasarnya dibentuk untuk membangun aliansi,
afiliasi dan aosisiasi satu orang dengan yang lainnya. Masyarakat Adat di dalam
suku-suku sudah memiliki aliansi, afiliasi dan asosiasi, maka demokrasi yang
dibangun berdasarkan suku, dibangun atas dasar kondisi real dimaksud. Menurut
Sem Karoba, Demokrasi Kesukuan merupakan demokrasi yang berlaku di dalam
suku-suku
Demokrasi di Indonesia
Diskursus demokrasi di Indonesia
tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian
panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna
memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi
tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat
dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman
pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan
Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di
zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model
Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang
demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik warganya. Dipasungnya demokrasi di dua zaman
pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan
reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang
diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan
rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan
mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun
pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun
perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju
pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan
yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk
sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum
Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang
kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan
lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di
Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu
pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab
pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru
yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang
oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak
mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat
perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh
keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini,
penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak
hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa
perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan
sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi
elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem
yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu
pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci
untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan
kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat,
dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang
terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang
diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang
memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan
belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi
sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi
non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya
terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan
sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih
merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan
demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di
tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi.
Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah
kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal
ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat
apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan
di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan
mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan
hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut,
representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun
menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa
dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para
elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit
yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk
Indonesia? Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi
1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi
Indonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi
pertanyaan diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi
sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah
sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan
demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat
mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain
itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar
tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Masa transisi di Indonesia yang
masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara
hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi.
Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu
pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan
berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat
ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang
demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil
society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu
mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Berbicara
mengenai perjalanan demokrasi di indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pelaksanaan pasang surut demokrasi itu sendiri. Bangsa indonesia pernah
menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, dan demokrasi pancasila. Setiap fase tentunya memiliki karakteristik
yang merupakan ciri khas dari pelaksanaan tiap-tiap tiap fase demokrasi.
Menurut Robert Dahl pandangan Yunani tentang demokrasi, bahwa warga Negara adalah pribadi yang utuh yang baginya politik adalah aktivitas social yang alami dan tidak terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak terpecah tetapi terpadu karena itu mereka aktif dalam kegiatan politik. Namun dalam prakteknya pula demokrasi Yunani dalam hal kewarganegaraannya merupakan hal yang eksklusif, bukan inklusif. Persyaratan kewargaanegaraan adalah kedua orang tua harus warga Athena asli. Jika orang asing aktif dan memberikan sumbangan besar pada kehidupan ekonomi dan intelektual akan mendapat status tertentu.
Demokrasi
menurut asal katanya (semantik) yakni “demos” berarti rakyat dan “kratos”
berarti kekuasaan atau berkuasa. Jadi demokrasi artinya kekuasaan atau
kedaulatan rakyat. Dalam perkembangannya, terdapat dua aliran demokrasi, yaitu
demokrasi konstitusional dan demokrasi yang mendasarkan diri pada pada
komunisme. Kelompok pertama berkembang di negara-negara eropa dan amerika
sedangkan kelompok kedua berkembang di negara-negara berpaham komunis.
Perbedaan fundamental antara keduanya ialah bahwa demokrasi konstitusional
mencita-citakan pemerintah tyang terbatas kekuasaannya, suatu negara hukum
(Rechstaat) yang tunduk pada Rule of Low. Sebaliknya demokrasi yang mendasarkan
dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintahan yang tidak dibatasi
kekuasaannya (machstaat) dan lebih bersifat totaliter (Miriam Budiarjo, 1996 :
52).
Demokrasi
yang kita kenal sekarang ini dipelopori oleh organisasi-ohrganisasi modern pada
masa pergerakan nasional sebagai wacana penyadaran. Diantara organisasi modern
tersebut, misalnya Budi Utomo (BU), Sarekat Islam, dan Perserikatan Nasional
Indonesia.
Bangsa indonesia mengenal BU sebagai organiosasi modern pertama yang didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908. Anggota BU terdiri dari kaum priyayi ningrat atau aristokrasi dan kaum intelektual. Kelompok pertama bersifat konservatif, sedamgkan kelompok kedua bersifat progresif. Dari sini tampak bahwa BU masih bersifat elitis. Didalm organisasi BU anggotanya belajar berdemokrasi dengan mengenalkan dan menyalurkan ide, gagasan dan harapan adanya intregasi nasional. Organisasio BU dijadikan wahana pendidikan politik bagi kaum priyayi dan kaum intelektual antara lain memupuk kesadaran politik, berpatisipasi dalam aksi kolektif dan menghayati identitas diri mereka. (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 105).
Menjelang surutnya BU, muncul organisasi modern yang berwatak lebih egaliter, yaitu Sarekat Islam (SI). Organisasi yang didirikan tahun 1911 di Solo. Pada awalnya SI merupakan gerakan reaktif terhadap situasi kolonial, namun dalam perkembangannya organisasi ini melangkah ke arah rekontruksi kehidupan bangsa dan akhirnya beralih ke perjuangan politik guna menentukan nasib bangsanya sendiri.
Gerakan nasionalis indonesia dengan cepat meningkat dalam tahun 1927 dengan didirikannya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Para pemimpin PNI terdiri dari kaum muda yang memperoleh pendidikan di negeri belanda pada permulaan tahun 1920-an. Sewaktu di negeri belanda mereka menggabungkan diri dengan organisasi mahasiswa, yaitu perhimpunan indonesia (PI). Organisasi pemuda pada saat itu sangat terpengaruh oleh PNI. Salah satu peristiwa penting dalam gerakan nasional adalh konggres pemuda indonesia ke-II yang melahirkan sumpah pemuda. Dalam forum ini kaum muda yang berasal dari berbagi daerah menghilangkan semangat kedaerahan mereka dan menggantikan dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta bekerja sama untuk menciptakan suatu negara indionesia yang merdeka.
1.
Demokrasi
Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode panjang pergerkan nasional yang didominasi oleh muncuolnya organisasi modern digantikan periode revolusi nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan merupakan kisah sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk mencari identitas (jati) diri, semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk membangun sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
2. Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesi merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Warisan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di indonesi.
Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana baedan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pada
umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih
lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi
dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk
melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang
diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD
1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat
kondisi yang harus di hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959,
maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi mengaklami kegagalan karena
dasar untuk dapat membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang
tahu politik hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi
jakarta, meskipun mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah
kaum elite yang menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang
istimewa. Mereka bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang
beruntung yakni masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur
demokrasi parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah
demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3. Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan DPR.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang mherupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
4.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi (Miriam, 74).
Pada
masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua
sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat
hanya patuh dengan sang pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto
tidak boleh dikritik. Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari
presiden. Siakp mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial,
pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai
fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama
sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan
pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami
keruntuhan.
5.
Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak mempunyai arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi tanggung jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk mengoreksi pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.
Tugas
utama pemerintahan Habibie ada dua, yakni pertama bekerja keras agar harga
sembilan pokok (sembako) terbeli oleh rakyat sambil memberantas KKN tanpa
pandang bulu. Kedua, adalah mengembalikan hak-hak rakyat guna memperoleh
kembali hak-hak azasinya.
Agaknya
pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi
yang selama inidikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie
menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers
(freedom of press) dan kebebasab berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat
berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan
yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.
Membangun
kembali indonesia yang demokratis dapat dilakukan melalui sistem keparataian
yang sehat dan pemilu yang transparan. Sistem pemilu multipartai dan UU politik
yang demokratis menunjukkan kesungguhan pemerintahan Habibie. Asalkan kebebasan
demokratis seperti kebebasan pers, kebebasab berbicara, dan kebebasan mimbar
tetap dijalankan maka munculnya pemerintahan yang KKN dapat dihindari.
Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Hal ini terbukti dari setiap warga negara bebas berpendapat dan kebebasan pers dalam mengawal pemerintahan yang terbuka sehingga menghindarkan pemerintahan dari KKN mungkin dalam prakteknya masih ada praktik-praktik KKN di kalangan pemerintahan, namun setidaknya rakyat tidak mudah dibohongi lagi dan pembelajaran politik yang baik dari rakyat indonesia itu sendiri yang membangun demokrasi menjadi lebih baik. Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun negara ini masih jauh dikatakan lebih baik dari negara maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia masih menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat adil dan makmur secara keseluruhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar