Kamis, 04 April 2013

ISLAM DI TURKI



ISLAM DI TURKI

A.    Islam Agama Terbesar di Turki
Islam adalah agama terbesar di Turki sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah menguasai Turki pada tahun 1400-an pemeluk Islam di Turki semakin banyak. Kini sekitar 99,8% penduduk Turki adalah Muslim, Kebanyakan Muslim di Turki adalah Sunni dengan 70-80%, sisanya adalah Alevis dan Syiah dengan 20-30%. Ada juga pengikut Dua Belas Imam dengan 3%.
Daerah yang terdiri dari Turki modern mempunyai tradisi Islam yang lama dan kaya melatar belakang ke zaman permulaan Seljuk dan Empayar Uthmaniyyah. Orang Turki secara kebudayaan dan sejarah adalah umat Islam. Mereka tinggal di daerah yang kebanyakannya Muslim, apabila mereka menetap di Anatolia di bawah nama Islam. Ia sukar dibayangkan Turki tanpa Islam seperti memikirkan Istanbul tanpa latar langit masyhur masjid dan menaranya. Sekitar 99% penduduknya adalah Muslim walaupun tidak pernah ada kajian mengenai ketepatan nisbah ini. Menurut tinjauan Eurobarometer, umat Islam terdiri dari 94% jumlah penduduk Turki[1]. bagaimanapun, menurut buku fakta CIA World, 99.8% dari penduduk Turki merupakan Muslim.. Ada tiga minoriti masyarakat agama bukan-Islam—umat Kristian Ortodoks Greek, Kristian Orthodoks Armenia, dan Yahudi membentukkan 0.2%;dan yang lain penduduk adalah Muslim. Kebanyakan umat Islam di Turki adalah Sunah Waljamaah membentuk sekitar 85% dan kedua besar mazhab bukan-Islam adalah Alevi yang bukan Muslim Syiah, mereka membentuk sekitar 20% penduduk Turki sendiri (15 juta).

A.    Masa awal
Islam masuk ke Turki pada abad ke 8 dibawa oleh orang Arab. Pada tahun 1453 saat Kesultanan Utsmaniyah mulai berkusa di Turki, Islam makin dominan di Turki. Gereja-gereja di Turki yang merupakan peningalan Bizantium termasuk Hagia Sophia banyak diubah menjadi masjid. Islam menjadi sangat dominan hingga tahun 1920an.
Saat Kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki pada 1923, Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan menjadi negera sekuler. Ataturk melarang emblem-emblem Islam dan memberi keleluasaan pada agama non-Islam.
Efek lainnya adalah dimulainya penggunaan Kalender Masehi seperti di negara-negara Barat ketimbang Kalender Hijriyah, dan penggunaan kata Tanri ketimbang Allah. Kemudian Hagia Sophia yang diubah lagi menjadi museum, pelarangan pengajaran agama Islam, dan pembatasan jumlah masjid.
Pada masa Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter pada tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke praktik keagamaan tradisional. Selama tahun 1950-an, bahkan pemimpin politik tertentu merasa bijaksana untuk bergabung dalam advokasi para pemimpin agama untuk menghormati agama. Para reintroduksi agama ke dalam kurikulum sekolah mengangkat masalah pendidikan tinggi agama. Para elit sekuler, yang cenderung tidak percaya para pemimpin agama tradisional, percaya bahwa Islam bisa "direformasi" jika pemimpin masa depan telah dilatih dalam seminari yang dikontrol pemerintah. Untuk lebih tujuan ini, pemerintah pada tahun 1949 didirikan sebuah fakultas keilahian di Universitas Ankara untuk melatih guru Islam dan imam. Pada tahun 1951 pemerintah mendirikan Partai Demokrat sekolah menengah khusus (okullari imam HATIP) untuk pelatihan imam dan pendeta. Awalnya, sekolah imam HATIP tumbuh sangat lambat, tetapi jumlah mereka berkembang pesat menjadi lebih dari 250 pada tahun 1970-an, ketika pro-Islam Partai Keselamatan Nasional berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi. Setelah kudeta 1980, militer, meskipun sekuler dalam orientasi, agama dilihat sebagai cara yang efektif untuk melawan ide-ide sosialis dan dengan demikian dasar pembangunan sembilan puluh HATIP imam lebih sekolah tinggi.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Islam mengalami semacam rehabilitasi politik karena para pemimpin sekuler kanan-tengah agama dianggap sebagai benteng potensi dalam perjuangan ideologis mereka dengan pemimpin sekuler kiri-tengah. Sebuah kelompok advokasi kecil yang menjadi sangat berpengaruh adalah Hearth Cendekiawan, sebuah organisasi yang menyatakan bahwa budaya Turki benar merupakan sintesis tradisi Turki 'pra-Islam dan Islam. Menurut Hearth, Islam tidak hanya merupakan suatu aspek penting dari budaya Turki tetapi adalah kekuatan yang dapat diatur oleh negara untuk membantu mensosialisasikan orang-orang untuk menjadi patuh warga sepakat untuk tatanan sekuler secara keseluruhan. Setelah kudeta militer 1980, banyak usulan Hearth untuk restrukturisasi sekolah, perguruan tinggi, dan penyiaran negara diadopsi. Hasilnya adalah pembersihan dari lembaga-lembaga negara lebih dari 2.000 intelektual dirasakan sebagai mengemban ide-ide kiri tidak sesuai dengan visi Hearth tentang kebudayaan nasional Turki.
Meskipun tarikah (istilah ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mengacu pada setiap 'kelompok atau sekte' yang beberapa di antaranya bahkan mungkin tidak Muslim) telah memainkan peran mani dalam kebangkitan agama Turki dan di pertengahan 1990-an masih terbit beberapa negara yang paling beredar luas jurnal keagamaan dan surat kabar, sebuah fenomena baru, Islamcı Aydın (intelektual Islam) yang tidak berafiliasi dengan perintah Sufi tradisional, muncul selama tahun 1980-an. Produktif dan penulis populer seperti Ali Bulaç, Rasim Özdenören, dan Ismet Özel telah diambil pada pengetahuan mereka tentang filsafat Barat, sosiologi Marxis, dan teori politik Islam radikal untuk melakukan advokasi perspektif Islam modern yang tidak ragu-ragu untuk mengkritik penyakit masyarakat asli sedangkan secara bersamaan sisa setia kepada nilai-nilai etika dan dimensi spiritual agama. Intelektual Islam kasar kritis para intelektual sekuler Turki, yang mereka kesalahan untuk mencoba melakukan di Turki apa yang intelektual itu di Eropa Barat: materialisme duniawi pengganti, dalam versi kapitalis atau sosialis, untuk nilai-nilai agama.

B.     Berislam Ala Turki
Ada yang menarik dari gejolak politik Turki belakangan ini. Kekuatan “Islam” mulai muncul di Turki menyusul kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Recep Tayyep Erdogan kemudian disusul oleh terpilihnya tokoh Islamis Abdullah Gul sebagai presiden menggantikan Ahmed Necdet Sezer. Naiknya kelompok Islamis disebut-sebut akan menggerus tradisi sekuler yang telah dirintis oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak mula pendirian Turki modern.
Turki adalah sebuah kasus yang sangat unik dalam studi politik dunia. Sejak didirikan tahun 1923, Turki menyatakan diri sebagai negara sekuler. Pilihan untuk menjadi negara sekuler ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa unik di tengah hegemoni konservatifisme agama masyarakat Muslim dunia. Turki, bekas pusat pemerintahan dunia Islam, adalah satu-satunya negara berpenduduk mayoritas Islam yang menyatakan diri sebagai negara sekuler.
Tidak hanya unik di tengah dunia Islam lain, model sekularisme Turki juga sangat berbeda dengan model sekularisme di negara-negara sekuler lain di manapun di dunia ini. Turki menerapkan sekulerisme secara ketat dengan menerapkan larangan penggunaan simbol-simbol agama di ruang publik. Pada tataran yang paling ekstrem pemerintah Turki seringkali tampak sebagai rezim anti-agama.
Penerapan sekulerisme Turki yang sangat ketat kemudian diperparah oleh terlibat aktifnya militer dalam pemerintahan dengan alasan untuk mengawal sekularisme. Keterlibatan militer dalam politik akhirnya membawa Turki menjadi negara sekuler-otoriter. Berkali-kali politik Turki harus berhadapan dengan arogansi militer. Selama kekuasaan kaum sekuler-otoriter, interaksi sosial seperti ekonomi, pendidikan, dan politik dikontrol secara ketat.
Dari semua kontrol yang diterapkan oleh pemerintah sekuler Turki, yang paling merasakan akibat buruknya adalah masyarakat Islamis, yakni mereka yang masih menjaga budaya Islam tradisional. Namun sekalipun secara struktural Turki dikuasai oleh rezim sekuler, tetapi masyarakat dengan ideologi Islam tidak pernah benar-benar hilang. Mereka bergerak di bawah tanah menjadi kekuatan kultural yang setiap saat bisa muncul.
Satu-satunya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam Turki adalah kalangan militer yang kerapkali bertindak brutal terhadap semua gerakan sosial yang berbau Islam. Tapi hal tersebut hanya berlangsung sampai tahun 1990-an. Berubahnya sistem ekonomi Turki, yang tadinya tertutup dan dikontrol oleh militer menjadi sedikit terbuka, membuka kesempatan bagi kalangan Islam untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi secara luas. Pemerintahan Turgot Ozal yang kemudian benar-benar mengambil kebijakan ekonomi baru bagi Turki membuat masyarakat yang awalnya tertindas secara ekonomi kemudian bangkit secara massif.
Kelompok-kelompok sosial yang bangkit tersebut adalah kalangan Islam. Dengan sistem ekonomi bebas, mereka berhasil masuk ke dalam kancah pertarungan ekonomi tanpa harus khawatir didiskriminasi oleh kekuatan ekonomi terpimpin yang dikuasai oleh kalangan sekuler-militer. Menurut M. Hakan Yavuz, Opportunity Spaces, Identity, and Islamic Meaning in Turkey, para pendukung pasar bebas di Turki tidak datang dari kalangan sekuler, melainkan dari kalangan Islam yang secara tradisional masih menjaga seluruh stradisi ritual agama. Kalangan sekuler tidak mendukung gagasan ekonomi liberal (bebas) karena mereka adalah pemegang kekuasaan kontrol ekonomi melalui militer. Itulah sebabnya, di Turki, kalangan Islamlah yang sangat getol memperjuangkan bergabungnya Turki dengan Uni-Eropa.
Para pelaku ekonomi Muslim Turki masuk ke kancah pasar bebas dengan tidak meninggalkan tradisi Islam itu sendiri. Bahkan mereka kerapkali menggunakan simbol-simbol “Islam” dalam pelbagai transaksi ekonomi liberal atau kapitalis tersebut. Mereka menjadikan segala ritual dan simbol-simbol Islam sebagai komoditas yang sangat penting. Busana Muslim bahkan menjadi salah satu komoditas penting di kalangan masyarakat Islam Turki. Dalam hal ini, Islam tidak hanya menjadi agama, melainkan juga menjadi komoditas ekonomi.
Prinsip seperti ini didukung sepenuhnya oleh kalangan agamawan. Bahkan mereka menetapkan bahwa prinsip ekonomi Islam sangat sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalis, yakni perdagangan bebas. Muhammad bahkan dijadikan rujukan utama dalam aktivitas perdagangan bebas tersebut. Muhammadlah yang memberi contoh bahwa perdagangan harus dilakukan antar negara secara bebas. Hakan Yafuz menyebut fenomena ini dengan istilah The Islamic Ethics and The Spirit of Capitalism (sebagai perbandingan dengan karya klasik Max Weber, The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism).
Berangkat dari penerapan sekularisme secara brutal dan unik, masyarakat Muslim Turki tumbuh secara unik pula. Mereka tidak sepenuhnya membenci sekularisme, melainkan menawarkan cara pandang baru, baik terhadap sekularisme ala Turki maupun terhadap tradisi keislaman itu sendiri. Mereka mengusung sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam (agama atau tradisi) tetapi pada saat yang sama tidak melupakan prinsip kebebasan. Kebebasan bahkan dimaknai secara teologis sebagai sebuah perintah yang esensial di dalam agama itu sendiri. Jika banyak kelangan Islam merindukan terbentuknya sebuah masyarakat Islam tetapi sekaligus modern, barangkali Turki bisa menjadi salah satu contoh yang cukup baik.



DAFTAR PUSTAKA

·         http://kulimijit.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradaban-islam-di-turki.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar