ISLAM DI TURKI
A.
Islam Agama Terbesar di
Turki
Islam adalah agama terbesar di Turki sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah menguasai Turki pada
tahun 1400-an
pemeluk Islam di Turki semakin banyak. Kini sekitar 99,8% penduduk Turki adalah
Muslim,
Kebanyakan Muslim di Turki adalah Sunni dengan 70-80%, sisanya adalah Alevis dan Syiah dengan 20-30%. Ada
juga pengikut Dua Belas Imam dengan 3%.
Daerah yang terdiri dari Turki modern mempunyai
tradisi Islam
yang lama dan kaya melatar belakang ke zaman permulaan Seljuk dan Empayar Uthmaniyyah. Orang Turki
secara kebudayaan dan sejarah adalah umat Islam. Mereka tinggal di daerah yang
kebanyakannya Muslim, apabila mereka menetap di Anatolia
di bawah nama Islam.
Ia sukar dibayangkan Turki
tanpa Islam seperti memikirkan Istanbul tanpa latar langit masyhur masjid dan menaranya.
Sekitar 99% penduduknya adalah Muslim walaupun tidak pernah ada kajian mengenai ketepatan
nisbah ini. Menurut tinjauan Eurobarometer, umat Islam terdiri dari 94%
jumlah penduduk Turki[1].
bagaimanapun, menurut buku fakta CIA World, 99.8% dari penduduk Turki
merupakan Muslim.. Ada tiga minoriti masyarakat agama bukan-Islam—umat Kristian
Ortodoks Greek, Kristian Orthodoks Armenia, dan Yahudi membentukkan
0.2%;dan yang lain penduduk adalah Muslim. Kebanyakan umat Islam di Turki
adalah Sunah Waljamaah membentuk sekitar 85% dan kedua
besar mazhab bukan-Islam adalah Alevi yang bukan Muslim Syiah, mereka membentuk
sekitar 20% penduduk Turki sendiri (15 juta).
A.
Masa
awal
Islam
masuk ke Turki pada abad ke 8 dibawa oleh orang Arab.
Pada tahun 1453 saat Kesultanan Utsmaniyah mulai berkusa di Turki, Islam
makin dominan di Turki. Gereja-gereja
di Turki yang merupakan peningalan Bizantium
termasuk Hagia Sophia banyak diubah
menjadi masjid.
Islam menjadi sangat dominan hingga tahun 1920an.
Saat
Kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki
pada 1923,
Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan menjadi
negera sekuler. Ataturk melarang emblem-emblem Islam dan memberi keleluasaan
pada agama non-Islam.
Efek
lainnya adalah dimulainya penggunaan Kalender Masehi
seperti di negara-negara Barat ketimbang Kalender Hijriyah,
dan penggunaan kata Tanri ketimbang Allah.
Kemudian Hagia Sophia yang diubah lagi menjadi museum, pelarangan pengajaran
agama Islam, dan pembatasan jumlah masjid.
Pada
masa Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter
pada tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke
praktik keagamaan tradisional. Selama tahun 1950-an, bahkan pemimpin politik
tertentu merasa bijaksana untuk bergabung dalam advokasi para pemimpin agama
untuk menghormati agama. Para reintroduksi agama ke dalam kurikulum sekolah
mengangkat masalah pendidikan tinggi agama. Para elit sekuler, yang cenderung
tidak percaya para pemimpin agama tradisional, percaya bahwa Islam bisa
"direformasi" jika pemimpin masa depan telah dilatih dalam seminari
yang dikontrol pemerintah. Untuk lebih tujuan ini, pemerintah pada tahun 1949
didirikan sebuah fakultas keilahian di Universitas Ankara untuk melatih guru
Islam dan imam. Pada tahun 1951 pemerintah mendirikan Partai Demokrat sekolah
menengah khusus (okullari imam HATIP) untuk pelatihan imam dan pendeta.
Awalnya, sekolah imam HATIP tumbuh sangat lambat, tetapi jumlah mereka
berkembang pesat menjadi lebih dari 250 pada tahun 1970-an, ketika pro-Islam
Partai Keselamatan Nasional berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi. Setelah
kudeta 1980, militer, meskipun sekuler dalam orientasi, agama dilihat sebagai
cara yang efektif untuk melawan ide-ide sosialis dan dengan demikian dasar
pembangunan sembilan puluh HATIP imam lebih sekolah tinggi.
Selama
tahun 1970-an dan 1980-an, Islam mengalami semacam rehabilitasi politik karena
para pemimpin sekuler kanan-tengah agama dianggap sebagai benteng potensi dalam
perjuangan ideologis mereka dengan pemimpin sekuler kiri-tengah. Sebuah
kelompok advokasi kecil yang menjadi sangat berpengaruh adalah Hearth
Cendekiawan, sebuah organisasi yang menyatakan bahwa budaya Turki benar
merupakan sintesis tradisi Turki 'pra-Islam dan Islam. Menurut Hearth, Islam
tidak hanya merupakan suatu aspek penting dari budaya Turki tetapi adalah
kekuatan yang dapat diatur oleh negara untuk membantu mensosialisasikan
orang-orang untuk menjadi patuh warga sepakat untuk tatanan sekuler secara
keseluruhan. Setelah kudeta militer 1980, banyak usulan Hearth untuk
restrukturisasi sekolah, perguruan tinggi, dan penyiaran negara diadopsi.
Hasilnya adalah pembersihan dari lembaga-lembaga negara lebih dari 2.000
intelektual dirasakan sebagai mengemban ide-ide kiri tidak sesuai dengan visi
Hearth tentang kebudayaan nasional Turki.
Meskipun
tarikah (istilah ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mengacu pada setiap
'kelompok atau sekte' yang beberapa di antaranya bahkan mungkin tidak Muslim)
telah memainkan peran mani dalam kebangkitan agama Turki dan di pertengahan
1990-an masih terbit beberapa negara yang paling beredar luas jurnal keagamaan
dan surat kabar, sebuah fenomena baru, Islamcı Aydın (intelektual Islam) yang
tidak berafiliasi dengan perintah Sufi tradisional, muncul selama tahun
1980-an. Produktif dan penulis populer seperti Ali Bulaç, Rasim Özdenören, dan
Ismet Özel telah diambil pada pengetahuan mereka tentang filsafat Barat,
sosiologi Marxis, dan teori politik Islam radikal untuk melakukan advokasi
perspektif Islam modern yang tidak ragu-ragu untuk mengkritik penyakit
masyarakat asli sedangkan secara bersamaan sisa setia kepada nilai-nilai etika
dan dimensi spiritual agama. Intelektual Islam kasar kritis para intelektual
sekuler Turki, yang mereka kesalahan untuk mencoba melakukan di Turki apa yang
intelektual itu di Eropa Barat: materialisme duniawi pengganti, dalam versi
kapitalis atau sosialis, untuk nilai-nilai agama.
B.
Berislam
Ala Turki
Ada yang menarik dari gejolak politik Turki belakangan ini.
Kekuatan “Islam” mulai muncul di Turki menyusul kemenangan Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) pimpinan Recep Tayyep Erdogan kemudian disusul oleh
terpilihnya tokoh Islamis Abdullah Gul sebagai presiden menggantikan Ahmed
Necdet Sezer. Naiknya kelompok Islamis disebut-sebut akan menggerus tradisi
sekuler yang telah dirintis oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak mula pendirian
Turki modern.
Turki adalah sebuah kasus yang sangat unik dalam studi
politik dunia. Sejak didirikan tahun 1923, Turki menyatakan diri sebagai negara
sekuler. Pilihan untuk menjadi negara sekuler ini adalah sesuatu yang sangat
luar biasa unik di tengah hegemoni konservatifisme agama masyarakat Muslim
dunia. Turki, bekas pusat pemerintahan dunia Islam, adalah satu-satunya negara
berpenduduk mayoritas Islam yang menyatakan diri sebagai negara sekuler.
Tidak hanya unik di tengah dunia Islam lain, model
sekularisme Turki juga sangat berbeda dengan model sekularisme di negara-negara
sekuler lain di manapun di dunia ini. Turki menerapkan sekulerisme secara ketat
dengan menerapkan larangan penggunaan simbol-simbol agama di ruang publik. Pada
tataran yang paling ekstrem pemerintah Turki seringkali tampak sebagai rezim
anti-agama.
Penerapan sekulerisme Turki yang sangat ketat kemudian diperparah
oleh terlibat aktifnya militer dalam pemerintahan dengan alasan untuk mengawal
sekularisme. Keterlibatan militer dalam politik akhirnya membawa Turki menjadi
negara sekuler-otoriter. Berkali-kali politik Turki harus berhadapan dengan
arogansi militer. Selama kekuasaan kaum sekuler-otoriter, interaksi sosial
seperti ekonomi, pendidikan, dan politik dikontrol secara ketat.
Dari semua kontrol yang diterapkan oleh pemerintah sekuler
Turki, yang paling merasakan akibat buruknya adalah masyarakat Islamis, yakni
mereka yang masih menjaga budaya Islam tradisional. Namun sekalipun secara
struktural Turki dikuasai oleh rezim sekuler, tetapi masyarakat dengan ideologi
Islam tidak pernah benar-benar hilang. Mereka bergerak di bawah tanah menjadi
kekuatan kultural yang setiap saat bisa muncul.
Satu-satunya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam
Turki adalah kalangan militer yang kerapkali bertindak brutal terhadap semua
gerakan sosial yang berbau Islam. Tapi hal tersebut hanya berlangsung sampai
tahun 1990-an. Berubahnya sistem ekonomi Turki, yang tadinya tertutup dan
dikontrol oleh militer menjadi sedikit terbuka, membuka kesempatan bagi
kalangan Islam untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi secara luas. Pemerintahan
Turgot Ozal yang kemudian benar-benar mengambil kebijakan ekonomi baru bagi
Turki membuat masyarakat yang awalnya tertindas secara ekonomi kemudian bangkit
secara massif.
Kelompok-kelompok sosial yang bangkit tersebut adalah
kalangan Islam. Dengan sistem ekonomi bebas, mereka berhasil masuk ke dalam
kancah pertarungan ekonomi tanpa harus khawatir didiskriminasi oleh kekuatan
ekonomi terpimpin yang dikuasai oleh kalangan sekuler-militer. Menurut M. Hakan
Yavuz, Opportunity Spaces, Identity, and Islamic Meaning in Turkey, para
pendukung pasar bebas di Turki tidak datang dari kalangan sekuler, melainkan
dari kalangan Islam yang secara tradisional masih menjaga seluruh stradisi
ritual agama. Kalangan sekuler tidak mendukung gagasan ekonomi liberal (bebas)
karena mereka adalah pemegang kekuasaan kontrol ekonomi melalui militer. Itulah
sebabnya, di Turki, kalangan Islamlah yang sangat getol memperjuangkan
bergabungnya Turki dengan Uni-Eropa.
Para pelaku ekonomi Muslim Turki masuk ke kancah pasar bebas
dengan tidak meninggalkan tradisi Islam itu sendiri. Bahkan mereka kerapkali
menggunakan simbol-simbol “Islam” dalam pelbagai transaksi ekonomi liberal atau
kapitalis tersebut. Mereka menjadikan segala ritual dan simbol-simbol Islam
sebagai komoditas yang sangat penting. Busana Muslim bahkan menjadi salah satu
komoditas penting di kalangan masyarakat Islam Turki. Dalam hal ini, Islam
tidak hanya menjadi agama, melainkan juga menjadi komoditas ekonomi.
Prinsip seperti ini didukung sepenuhnya oleh kalangan
agamawan. Bahkan mereka menetapkan bahwa prinsip ekonomi Islam sangat sesuai
dengan prinsip ekonomi kapitalis, yakni perdagangan bebas. Muhammad bahkan
dijadikan rujukan utama dalam aktivitas perdagangan bebas tersebut. Muhammadlah
yang memberi contoh bahwa perdagangan harus dilakukan antar negara secara bebas.
Hakan Yafuz menyebut fenomena ini dengan istilah The Islamic Ethics and The
Spirit of Capitalism (sebagai perbandingan dengan karya klasik Max Weber, The
Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism).
Berangkat dari penerapan sekularisme secara brutal dan unik,
masyarakat Muslim Turki tumbuh secara unik pula. Mereka tidak sepenuhnya
membenci sekularisme, melainkan menawarkan cara pandang baru, baik terhadap
sekularisme ala Turki maupun terhadap tradisi keislaman itu sendiri. Mereka
mengusung sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam (agama
atau tradisi) tetapi pada saat yang sama tidak melupakan prinsip kebebasan.
Kebebasan bahkan dimaknai secara teologis sebagai sebuah perintah yang esensial
di dalam agama itu sendiri. Jika banyak kelangan Islam merindukan terbentuknya
sebuah masyarakat Islam tetapi sekaligus modern, barangkali Turki bisa menjadi
salah satu contoh yang cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://kulimijit.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradaban-islam-di-turki.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar