BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada hikikatnya sistem pertanian berkelanjutan adalah
kembali kepada alam, yaitu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah,
serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan
tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Kata “berkelanjutan” sekarang ini digunakkan
secara meluas dalam lingkup program pembangunan, keberlanjutan dapat diartikan
sebagai ”menjaga agar suatu upaya terus berlangsung”, ”kemampuan untuk
bertahan dan menjaga agar tidak merosot”. Dalam konteks pertanian,
keberlanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian
guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekonomi dalam
jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kehancuran lingkungan,
sekitar pertngahan tahun tujupuluhan duni diguncng dua krisis yaitu krisis
energi dan krisis lingkunganm saat itu permintaan pasokan akan minyak bumi
tinggi isedangkan pasokan cadangan minyak bumi terbatas, dan produksi rata-rata
dilkukkan di negra timur tengah, sehingga mengakibatkan inflasi yang cukup
tinggi, bagi negara-negara industri dan devisa bagi pemproduksi minyak.
Pada saat yang sama dunia dilanda krisis lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran berat, terutama hasil pembakaran petroleum dari
kendaraan bermotor, mesin-mesin industri berat, dan sebgainya. Selain itu
didunia pertanian terdapat booming pupuk kimia, obat-obatan pemberantas
hama dan penyakit serta mesin-mesin pertanian berbahan bakar solar. Ternyata
masuknya energi dari luar ekosistem memberikan dampak buruk baik anasir-anasir
lingkungan dan membahayakan atau mengancam manusia.
BAB II
SISTEM PERTANIAN
BERKELANJUTAN
DI INDONESIA
A. Pemanfaat
Teknologi
Di negara-negar barat, setelah revolusi industri, industri
pertanian memang didominasi oleh teknologi modern, dengan menggunakkan pupuk
kimia, pestisida, dan bahan kimia lainnya. Dimana dahulu arus pemikiran utamanya
adalah bahwa dengan penggunaan alat modern maka akan meningkatkan produktivitas
pertanian secara signifikan sehingga bisa meningkatkan keuntungan agribisnis
yang cukup besar, seingga melupakan dampak eksternalitas negatif yang
dtimbukannya. Sektor ini dipacu untuk menghasilkan bahan baku bagi agroindustri
dan lahan kebutuhan pangan.
Namun demikian terdapat kesadaran baru pada tahun 1920-an
untuk mempertimbangkan aspek biologis dan ekologis dalam pengelolaan
industri-indistri pertanian. Amerika serikat memulai di tahun 1930-an dengan
memunculkan konsep eco agriculture (pertanian lingkungan) sebagai solusi
atas kemunduran produktivitas lahan dan bencana erosi. Pada tahun 1940an, mulai
terdapat kesinambungan anatara teknologi kimia dan biologi, melalui konsep
pengendalian hayati hama dan penyakit (biological control for pest and
diseases)
Setelah perang dunia II penggunaan bahan kimia dan rekayasa
teknologi meningkat lagi dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an., dimana
pada tahun yang sama terjadi krisis energi. Semua negara berlomba-lomba memacu
produktivitas industri pertanian untuk memenuhi bahan baku agroindustri.
Semangat berkompetisi melahirkan teknologi-teknologi baru didunia pertanian
seperti rekayasa genetika, kultur jaringan, dan teknologi canggih pertanian.
Di negara-negara selatan seperti Indonesia, dicanangkan
program intensiifikasi usaha tani, khususnya padi sebagai makanan pokok, dengan
mendorong pemakaina benih varietas unggul (high variety vield), pupuk
kimia dan obat-obatan pemeberantas hama dan penyakit. Kebijakkan pemerintah
saat itumemang secara jelas merekomondasaikan penggunaan energi luar yang
dikenal dengan paket Panca Usaha Tani, yang salah satunya menganjurkan
penggunaan pupuk kimia dan pestisida.
B. Ekonomi
Berkelanjutan
Terminologi pertanian berkelanjutan (susitainable
agriculture) sebagai padanan istilah agroekosistem pertama kali dipakai
sekitar awal tahun 1980-an oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture
Organization) Argoekosistem sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem
alamiah dengan sentuhan campurtangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan,
serat, dan kayu, untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Conway
(1984) juga menggunakan istilah pertanian berkelanjutan dengan agro ekosistem
yang berupaya memadukan antara produktivitas (productivity), stabilitas
(Stability), Pemerataan (equlity), jadi semakin jelas bahwa konsep
agroekosistem atau pertanian berkelanjutan adalah jawaban kegamangan dampak green
revolution anatara lain di tenggarai oleh semakin merosotnya produktivitas
pertanian (leaffing off).
Kegagalan pertanian modern memaksa pakar pertanian dan
lingkungan berpikir keras dan mencobamerumuskan kembali sistem pertanian ramah
lingkungan atau back to nature. Jadi sebenarnay sistem pertaninan
berkelanjutan merupakan paradigma lama yang mulai diaktualisasikan kembali
menjelang masuk abad ke 21 ini. Hal ini merupakan fenomena keteraturan siklus
alamiah sesuai dengan pergantian abad.
Saat ini, negara-negara barat dilanda gelombang budaya
teknologi tinggi (information technology) yang disertai pesatnya
penggunaan teknologi super canggih dalam bidang telekomunikasi, misalnya
penemuan internet, telepon seluler, dan lain sebagainya. Sementara,
negara-negara selatan masih berada dalam masa transisi dari gelombang budaya
pertanian ke gelombang budaya industri. Teknologi yang diadopsi oleh masyarakat
manusia turut menentukkan semangat, corak, sifat, struktur, serta proses
ekonomi, sosial, dan budaya.
Ada dua peristiwa penting yang melahirkan paradigma baru
sistem pertanian berkelanjutan, peristiwa pertama adalah laporan Brundland dari
komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1987, yang
mendefinisikan dan berupaya mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan.
Peristiwa kedua adalah konfrensi dunia di Rio de Jeneri Brazil pada tahun 1992,
yang memuat pembahasan agenda 21 dengan mempromosikan Sustainable
Agriculture and Rural Development (SARD) yang membawa pesan moral pada
dunia bahwa ”without better enviromental stewardship, development will be
undermined” berbagai agenda penting termasuk pembahasan bidang yang
termasuk dalam pembahasan bidang pertanian dalam konferensi tersebut antara
lain sebagai berikut :
- Menjaga kontinuitas
produksi dan keuntungan usaha dibidang pertanian dalam arti yang luas
(pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peikanan, dan
peternakan) untuk jangka panjang, bagi kelangsungan kehidupan manusia.
- Melakukan perawatan dan
penigkatan SDA yang berbasis pertanian.
- Meminimalkan dampak
negatif aktivitas usaha pertanian yang dapat merugikan bagi kesuburan
lahan dan kesehatan manusia.
- Mewujudkan keadilan sosial
antar desa dan antar sektor dengan pendekatan pembangunan pertanian
berkelanjutan.
Memasuki abad 21 ini, kesadaran akan teknologi yang ramah
lingkungan semakin meningkat, sejalan dengan tuntuan era globalisasi dan
perdagangan bebas, hal ini terutama sekali dirasakan di negara-negara maju,
misalnya negara-negara Amerika dan negara-negara Eropa. Sementara itu
negara-negara berkembang misalnya Indonesia, tampaknya masih terpuruk dan
berkutat dengan dampak negatif green revolution. Lahan-lahan sawah di
pulau Jawa sebagai sentra produksi padi menunjukkan indikasi adanya penurunan
produktifitas. Sawah-sawah mengalami kejenuhan berat atau pelandaian
produktivitas karena pemakain pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah melampaui
ambang batas normal.
Konsep pertanian yang berkelanjutan terus berkembang,
diperkaya dan dipertajam dengan kajian pemikiran, model, metode, dan teori
berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi suatu kajian ilmu terapan yang
diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia untuk generasi sekarang dan
mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem dan besifat
holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatrs dan disiplin ilmu yang sudah
mapan antara lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem pertanian berkelanjutan juga beisi suatu ajakan moral
untuk berbuat kebajikkan pada lingkungan sumber daya alam dengan
memepertimbangkan tiga matra atau aspek sebagai berikut
- Kesadaran Lingkungan (Ecologically
Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh mnyimpang dari sistem
ekologis yang ada. Keseimbanganadalah indikator adanya harmonisasi dari
sistem ekologis yang mekanismena dikendalikanoleh hukum alam.
- Bernilai ekonomis (Economic
Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan
untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pandek
dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun
diluar sistem ekologi.
- Berwatak sosial atau
kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan
norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh
masyarakat disekitarnya sebagai contoh seorang petani akan mengusahakan
peternakan ayam diperkaangan milik sendiri. Mungkin secra ekonomis dan
ekologis menjanjikkan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek
sosial dapat memberikan aspek yang kurang baik misalnya, pencemaran udara
karena bau kotoran ayam.
Norma-norma
sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian berkelanjutan
di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian
sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama
sebelum merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Reijntjes, Coen Dkk. 2002. Pertanian
Masa Depan. Kanisius. Yogyakarta
ini yang aku cari, makasih gan artikelnya.
BalasHapussharing juga ni, dengar-dengar blog jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia adalah blog baru yang cukup bagus menyediakan referensi seputar pertanian, sesuai dengan namanya jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia memang tidak hanya membahas teori saja, namun infonya juga bersifat aplikatif, karena itulah kadang juga saya mengunjunginya DISINI>> jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia