BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik
itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah semuanya
mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda
untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilâlah
lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang
diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih
dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu masih terdapat dilâlah
lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan
sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta
tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum
mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum
mukhâlafah tersebut.
Ketika seorang mujtahid
berkeinginan untuk meng-istinbath-kan sebuah hukum baik itu yang sudah
disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali,
maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat
membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat inilah yang oleh kalangan ulama’
Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah “.` Dr. Abd. Ra’uf Mufdhî
Kharâbasyah menyebutkan bahwa dilâlah ladfziyah ini terbagi menjadi tiga
bagian: yang pertama: Dilâlah al-Muthâbaqah, yang kedua:
Dilâlah at-Tadlammun, kedua dilâlah, dan yang ketiga: Dilâlah
al-Iltizâm. Dari ketiga bentuk dilâlah tersebut, Imam as-Syaukani
membagi lagi menjadi dua bagian yang mana dilâlah al-Muthâbaqah dan dilâlah
at-Tadlammun disebut dengan manthuq sharih, sedangkan dilâlah
al-Iltizâm ini disebut dengan manthuq ghairu sharih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Macam-macam Mafhum
Mafhum terbagi menjadi dua bagian:
- Mafhum
Muwafaqah
- Mafhum
Mukhalafah
B.
Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan)
Definisi yang dikutip oleh Sa’id dan al-Khin:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به
للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا
لاشتراكهما في معنى
يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
“Penunjukkan lafadz atas
berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak
disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau
tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui
dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.
Selanjutnya masalah yang tidak
disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq).
mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu
al-khitab.
Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka”. Qs.17:23.
Pernyataan ayat ini menunjukkan
larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut manthuq. Adapun larangan memukul
adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna
‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan memukul pelarangannya
lebih utama.
C.
Berhujjah dengan
Mafhum Muwafaqah
Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum Mukhalafah adalah sama dengan dilalah
nash sebagaimana metode hanafiah.
Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di
antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa
berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab
qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.
D.
Pengertian Dilalah Mafhum Mukhalafah
Dalalah
mafhum mukhalafah ialah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) kepada
sebaliknya (yang berlawanan )dari arti (hukum) yang di sebutkan dalam nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah mafhum Mukhalafah ini, disebut juga
dengan dalilul khithob.[1]
E. Macam-Macam Dilalah Mafhum Mukhalafah
a)
Mafhum hassrh
Mafhum
hassrh ialah menetapkan hukum sebaliknya
dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam nash, misalnya dalam sabda Rosulallah saw.
انما الشفعة فئما لم ىقسم
Artinya: Hanya saja syuf’ah itu terdapat pada
sesuatu (benda tetap) yang belu dibagi.
Lafadz hadits di atas menyebutkan bahwa hukum
syuf’ah terbatas pada benda tetap yang belum atau tidak dapat di bagi. Oleh
karena itu, mafhum hassrnya yaitu bahwa selain pada tetap yang belum di bagi
tidak berlaku hukum syuf’ah.
b)
Mafhum shifat.
Mafhum shifat ialah petunjuk lafadz yang diberi
sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum
yang disebutkan oleh lafadz tersebut. Misalnya dari firman Allah swt.
ومن لم ىستطع منكم طولا ان ىنكح المحصنت
المؤءمنت فمن ما ملكت ائما نكم من فتىتكم المؤمنت
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu
miliki.....(an Nisaa’:25)
Lafadz diatas adalah kebolehan mengawini
budak yang beriman, jadi mafhum shifatnya ialah, haram mengawini budak yang
tidak beriman.
c) Mafhum Syarat.
Mafhum
syarat ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan
dengan syarat supaya dapat berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada
sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu, sebagai
contoh dari firman Allah:
وان كن اولات حمل فانفقوا علىهن حتى
ىضعنا حملهن
Artinya:
...... Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkah hingga melahirkan ..........(At Thalaaq : 6).
Hukum yang disebut oleh lafadz ayat
diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang dithalak
dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. sedang mafhum syaratnya ialah,
bekas suami tidak wajib memberi nafkah istri dalam keadaan hamil.[2]
d) Mafhum Qhayah.
Mafhum
qhoyah ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan
batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya seperti firman Allah:
وان كن اولات حمل فانفقوا علئهن حتئ ىضعن
حملهن
Artinya:
.... dan makan dan minumlah hingga jelas bagian benang putih dari benang hitam,
yaitu waktu fajar. (Al Baqarah : 187)
Hukum
yang di sebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah bahwa kebolehan makan dan minum
diwaktu malam bulan Ramadlan dibatasi sampai dengan datangnya waktu fajarl
karena itu mafhum ghoyahnyna yairtu haram (tidak boleh) makan dan minum setelah
melampaui waktu malam yaitu di kala telah datang waktu fajar
e) Mafhum ‘adad
Mafhum ‘adad ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan
suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya
(yang berlawanan ) pada bilangan yang di sebutkan oleh lafadz itu. Sebagai
contoh dari firman Allah:
الزانئة والزانئ فاجلدوا كل واحد
منهما ماءة جل دة
Artinya: Perempuan yang berjina dan laki-laki
yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali
...........(An Nur: 2)
Kemudian
terhadap mafhum Mukhalafah yang lain yaitu mafhum shifat,mafhum syarat, mafhum
qhoyah dan mafhum adad: Ulama’ Syafi’iiyah dan ualama’ Malikiyah menggunakan
sebagai hujah, namun dengan ketentuan:
1.
Mafhum
Mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah manthuq dengan nash yang lain,
2.
Apabila
adanya pembahasan hukum yang disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa
padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum Mukhalafah). Jika
adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan
mafhum Mukhalafah, maka sudah barang tentu dalam hal itu mafhum Mukhalafah
tidak dapat dijadikan hujjah.
Arti-arti
yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukkan tidak boleh
diberlakukan mafhum Mukhalafah antara lain: pembatasan hukum yang disebut
sesuai dengan adat (kebiasaan) atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi,
- pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan
sebagai pendorongan untuk dilaksanakan..
- pembatasan hukum yang yang dimaksudkan untuk
menyatakan jumlah yang terbatas (berapa banyaknya),
- Pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan
sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi Muhammad
ditanya tentang kewajiban zakat unta yang mencari makan sendiri.[3]
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar