Kamis, 25 April 2013

Dilalah Mafhum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah semuanya mempunyai dilâlah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilâlah lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu masih terdapat dilâlah lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama’ Ushul dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha’, at-Tanbih, serta tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhâlafah tersebut.
            Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath­-kan sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Alat-alat inilah yang oleh kalangan ulama’ Ushul disebut dengan “ Dilalah Lafdziyah “.` Dr. Abd. Ra’uf Mufdhî Kharâbasyah menyebutkan bahwa dilâlah ladfziyah ini terbagi menjadi tiga bagian: yang pertama: Dilâlah al-Muthâbaqah, yang kedua: Dilâlah at-Tadlammun, kedua dilâlah, dan yang ketiga: Dilâlah al-Iltizâm. Dari ketiga bentuk dilâlah tersebut, Imam as-Syaukani membagi lagi menjadi dua bagian yang mana dilâlah al-Muthâbaqah dan dilâlah at-Tadlammun disebut dengan manthuq sharih, sedangkan dilâlah al-Iltizâm ini disebut dengan manthuq ghairu sharih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam-macam Mafhum
            Mafhum terbagi menjadi dua bagian:
  1. Mafhum Muwafaqah
  2. Mafhum Mukhalafah
B.     Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan)
Definisi yang dikutip oleh Sa’id dan al-Khin:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
 “Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.          
Selanjutnya masalah yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq). mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu al-khitab.
            Misalnya, firman Allah:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. Qs.17:23. 
Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut manthuq. Adapun larangan memukul adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna ‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama.
C.    Berhujjah dengan Mafhum Muwafaqah
            Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum Mukhalafah adalah sama dengan dilalah nash sebagaimana metode hanafiah.
            Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.
D.    Pengertian Dilalah Mafhum Mukhalafah
            Dalalah mafhum mukhalafah ialah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan )dari arti (hukum) yang di sebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan  hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah mafhum Mukhalafah ini, disebut juga dengan dalilul khithob.[1]
E.     Macam-Macam Dilalah Mafhum Mukhalafah
a)        Mafhum hassrh
    Mafhum hassrh ialah  menetapkan hukum sebaliknya dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam  nash, misalnya dalam sabda Rosulallah saw.
انما الشفعة فئما لم ىقسم
Artinya: Hanya saja syuf’ah itu terdapat pada sesuatu (benda tetap) yang belu dibagi.
    Lafadz hadits di atas menyebutkan bahwa hukum syuf’ah terbatas pada benda tetap yang belum atau tidak dapat di bagi. Oleh karena itu, mafhum hassrnya yaitu bahwa selain pada tetap yang belum di bagi tidak berlaku hukum syuf’ah.
b)        Mafhum shifat.
    Mafhum shifat ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz tersebut. Misalnya dari firman Allah swt.
ومن لم ىستطع منكم طولا ان ىنكح المحصنت المؤءمنت فمن ما ملكت ائما نكم من فتىتكم المؤمنت
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.....(an Nisaa’:25)
    Lafadz diatas adalah kebolehan mengawini budak yang beriman, jadi mafhum shifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman. 
c)      Mafhum Syarat.
        Mafhum syarat ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu, sebagai contoh dari firman Allah: 
وان كن اولات حمل فانفقوا علىهن حتى ىضعنا حملهن
Artinya: ...... Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak)  itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga melahirkan ..........(At Thalaaq : 6).
        Hukum yang disebut oleh lafadz ayat diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang dithalak dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. sedang mafhum syaratnya ialah, bekas suami tidak wajib memberi nafkah istri dalam keadaan hamil.[2]
d)      Mafhum Qhayah.
Mafhum qhoyah ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya seperti firman Allah:
وان كن اولات حمل فانفقوا علئهن حتئ ىضعن حملهن
Artinya: .... dan makan dan minumlah hingga jelas bagian benang putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar. (Al Baqarah : 187)
        Hukum yang di sebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah bahwa kebolehan makan dan minum diwaktu malam bulan Ramadlan dibatasi sampai dengan datangnya waktu fajarl karena itu mafhum ghoyahnyna yairtu haram (tidak boleh) makan dan minum setelah melampaui waktu malam yaitu di kala telah datang waktu fajar
e)      Mafhum ‘adad
    Mafhum ‘adad ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan  tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan ) pada bilangan yang di sebutkan oleh lafadz itu. Sebagai contoh dari firman Allah:  
الزانئة والزانئ فاجلدوا كل واحد منهما ماءة جل دة
Artinya: Perempuan yang berjina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali ...........(An Nur: 2)    
    Kemudian terhadap mafhum Mukhalafah yang lain yaitu mafhum shifat,mafhum syarat, mafhum qhoyah dan mafhum adad: Ulama’ Syafi’iiyah dan ualama’ Malikiyah menggunakan sebagai hujah, namun dengan ketentuan:
1.        Mafhum Mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah manthuq dengan nash yang lain,
2.        Apabila adanya pembahasan hukum yang disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum Mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum Mukhalafah, maka sudah barang tentu dalam hal itu mafhum Mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
        Arti-arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukkan tidak boleh diberlakukan mafhum Mukhalafah antara lain: pembatasan hukum yang disebut sesuai dengan adat (kebiasaan) atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi,
  1. pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai pendorongan untuk dilaksanakan..
  2. pembatasan hukum yang yang dimaksudkan untuk menyatakan jumlah yang terbatas (berapa banyaknya),
  3. Pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi Muhammad ditanya tentang kewajiban zakat unta yang mencari makan sendiri.[3]

DAFTAR PUSTAKA
·         http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar