AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAK
A. Pengertian Aqidah
1.
Pengertian Aqidah Secara Bahasa
(Etimologi)
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar
"al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh,
kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan)
dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan)
dan al-jazmu(penetapan).
"Al-‘Aqdu"
(ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata
tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu"
(mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun
Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang
yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah
berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah
dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus
bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith: (bab:
‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati
seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
2.
Pengertian Aqidah Secara Istilah
(Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa
menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan
kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu
keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan
kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut
tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah.
Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
3.
Aqidah Islamiyyah
Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah
Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun
buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa
yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada
Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya
serta meneladani Rasulullah SAW.
Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah
aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah
diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah
aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in
dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
4.
Nama lain Aqidah Islamiyyah
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah
Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah,
Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam
ilmu ‘aqidah.
5. Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban manusia
seumur hidup.
Allah
berfirman yang artinya:
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan
Tuhan kami ialah Allah kemudian merkea beristiqomah (teguh dalam pendirian
mereka) maka para malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) :
“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah
kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu.”(QS. Fushilat:
30)
Dan Nabi
Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Katakanlah: Aku beriman kepada Allah
kemudian beristiqomah-lah (berlaku lurus-lah) kamu.” (HR. Muslim dan lainnya)
Aqidah
merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi
Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya “Tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan masuk surga”.
(HSR. Al-Hakim dan lainnya)
Aqidah yang
benar telah mampu menciptakan generasi terbaik dalam sejarah umat manusia,
yaitu generasi sahabat dan dua generasi sesusah mereka.
Allah
berfirman yang artinya:
”Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran: 110)
Dan Rasulullah
Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku
(yaitu para sahabat) kemudian yang berikutnya (yaitu generasi tabi’in) kemudian
berikutnya (yaitu generasi tabi’ut-tabi’in).” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).
Kebutuhan
manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan lainnya karena ia
merupakan sumber kehidupan, ketenangan dan kenikmatan hati seseorang. Dan
semakin sempurna pengenalan serta pengetahuan seorang hamba terhadap Allah
semakin sempurna pula dalam mengagungkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya.
Nabi
Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah
dan paling mengetahui-Nya diantara kamu sekalian adalah aku.” (HR. Bukhari)
6.
Sumber Aqidah Islam
Aqidah adalah
sesuatu yang harus berdasarkan wahyu, oleh sebab itu sumber aqidah Islam adalah
Al-Qur’an Al-karim dan sunnah Nabi saw yang shahih sesuai dengan apa yang
difahami oleh para sahabat Nabi saw, karena mereka telah diridhai oleh Allah
ta’ala.
Allah
berfirman yang artinya:
“Adapun jika
datang kepada kamu sekalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 132)
Dalam
menafsirkan ayat tersebut diatas Abdullah bin Abbas ra berkata yang artinya:
”Allah
menjamin siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan kandungannya bahwa
dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat kelak”
(Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaihah, Al-Hakim dan dishahihkannya)
Allah
berfirman tentang ucapan-ucapan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam yang
artinya :
”Dan tidaklah
dia (Muhammad) berkata menurut kemauan hawa nafsunya. Perkataannya itu tidak
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)
Allah
berfirman yang artinya:
”Dialah yang
mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang diantara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka kita (Al-Qur’an) dan hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Adapun
pengukuhan Allah akan kebenaran para sahabat nabi saw di dalam aqidah, ibadah
dan akhlaq/muamalah mereka serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam
banyak ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya artinya:
”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereke kekal didalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereke kekal didalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Dan ketika Rasulullah
Shollallohu ‘alaihi wasallam ditanya tentang kelompok yang selamat beliau menjawab:
”Mereka
adalah orang-orang yang berada di atas sesuatu seperti yang aku dan para
sahabatku berada di atasnya pada hari ini”. (HR. Ahmad)
B.
Syariah
1.
Arti Syariah
Syari’at bisa
disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi
manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya
datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian kata
tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk
manusia.
Kata
“syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti
membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap
umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan
peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at
itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS.
Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi
kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS.
Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan
arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal
ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh
zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.”
Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui
rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke
dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah
kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam
(asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu
li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi
afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati
rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam
adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat
manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi
yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang
syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya
umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa
yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
2.
Pembagian
Syari’at Islam
Hukum yang
diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh
diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang
berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman
kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada
hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar
baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah
pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita
harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta
dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh
mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak
diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat,
puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga
disebut Qanun (undang-undang).
C. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Akhlak adalah
perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul
karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi
Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap
manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
2. Keutamaan Akhlak
"Muslim
yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya." (HR Tirmidzi
dan Ahmad). Hadis ini mengungkapkan hal yang sangat penting dalam Islam, yaitu
akhlak. Selain masalah tauhid dan syariat, akhlak memiliki porsi pembahasan
yang sangat luas.
Secara
etimotogi akhlak terambil dari akar kata khuluk yang berarti tabiat,
muruah, kebiasaan, fitrah, atau naluri. Sedangkan secara syar'i,
seperti diungkapkan Imam Al-Ghazali, akhlak adalah sesuatu yang menggambarkan
perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar
perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya.
Jika sumber
perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan
oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika
sebaliknya, maka ia dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra. mengabarkan
bahwa suatu saat Rasulullah SAW pernah ditanya tentang kriteria orang yang akan
masuk syurga. Beliau menjawab, "Takwa kepada Allah dan akhlak yang
baik" (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Tatkala
Rasulullah SAW menasihati sahabatnya, beliau menggandengkan nasihat untuk
bertakwa dengan nasihat untuk berakhlak baik pada manusia. Ada sebuah riwayat
dari Abi Dzar Al-Ghiffary bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bertakwalah
kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah
dengan manusia dengan akhlak yang baik" (HR Tirmidzi).
Benar, tauhid
adalah inti dan pokok ajaran Islam yang harus selalu diutamakan. Namun, hal ini
tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat
berkaitan erat, karena tauhid adalah realisasi akhlak seorang Muslim.
Seorang yang
bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Makin
sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya. Sebaliknya,
tatkala seorang hamba memiliki akhlak buruk, berarti akan lemah pula tauhidnya.
Akhlak adalah tolak ukur kesempurnaan iman seseorang. Rasulullah SAW bersabda,
"Orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya"
(HR Tirmidzi dan Ahmad).
Setidaknya
ada enam dimensi akhlak dalam Islam, yaitu:
1.
Akhlak kepada Allah SWT.
Diaplikasikan dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu berbuat
maksiat, selalu bertobat, bertawakkal, dan senantiasa mengharapkan limpahan rahmat-Nya.
2.
Akhlak kepada Rasulullah SAW.
Diaplikasikan dengan cara mengenalnya lebih jauh, kemudian berusaha mencintai
dan mengikuti sunnah-sunnahnya, termasuk pula banyak bershalawat, menerima
seluruh ajaran beliau dan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang beliau
contohkan.
3.
Akhlak terhadap Alquran.
Diaplikasikan dengan membacanya penuh perhatian, tartil. Kemudian berusaha
untuk memahami, menghapal, dan mengamalkannya.
4.
Akhlak kepada orang-orang di
sekitar kita, mulai dari cara memperlakukan diri sendiri, kemudian orangtua,
kerabat, tetangga, hingga saudara seiman.
5.
Akhlak kepada orang kafir. Caranya
adalah dengan membenci kekafiran mereka. Namun, kita harus tetap berbuat adil
kepada mereka. Agama memperbolehkan kita berbuat baik pada mereka selama hal
itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, atau untuk mengajak mereka pada
Islam.
6.
Akhlak terhadap lingkungan dan
makhluk hidup lain. Caranya dengan berusaha menjaga keseimbangan alam,
menyayangi binatang, melestarikan tumbuh-tumbuhan, dan lainnya.
3. Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji adalah perbuatan indah yang keluar dari kekuatan
jiwa tanpa keterpaksaan, seperti kemurahan hati, lemah lembut, sabar, teguh,
dan lain-lain.
Di sini islam menjadi penyeru pada akhlak yang baik dan
mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum muslimin, menumbuhkannya
didalam jiwa mereka, dan menilai keimanan seorang dengan kemuliaan akhlaknya.
Allah menjadikan akhlak yang utama sebagai sarana memperoleh surga yang tinggi.
Allah mengutus Rasul Nya untuk menyempurnakan akhlak ini,
sehingga beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Bukhari, Ahmad ).
Beliau juga menjelaskan keutamaan akhlak-akhlak yang mulia
dalam sabda-sabda yang tidak terhitung, beliau bersabda:
“Tidak ada di dalam suatu timbangan (amal) yang lebih berat
dari pada akhlak yang baik.” (H.R. at-Tirmidzi [2003]dan Abu Daud [4799])
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (H.R. al-Bukhari)
“mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang palingbaik
akhlaknya.” (H.R. al-Bukhari, [muslim: 2553]).
“Sesungguhnya orang yang paling aku
cintai di antara kalian dan paling dekat denganku kedudukannya pada hari kiamat
adalah orang yang paling baik akhlaknya diantara kalian.” (H.R. at-Tirmidzi
[2018]).
Rasulullah SAW ditanya amal apa yang paling utama? Beliau
menjawab,”Akhlak yang baik” [H.R. Ahmad: 17358] juga ditanya tentang apa yang
paling banyak memasukan kedalam surga. Beliau menjawab, “yaitu takwa kepada
Allah dan akhlak yang baik.” (H.R. at-Tirmidzi [2004, dan dihasankannya])
Dan sesungguhnya akhlak yang terpuji mempunyai hasil yaitu
tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan akhlak yang terpuji tersebut. Ada yang
mengatakan : Bahwa akhlak yang terpuji adalah dengan wajah yang berseri-seri,
bermurah hati, menghalau setiap gangguan, dan memberi bantuan . Ada yang
mengatakan : Akhlak yang terpuji adalah dengan tidak memusuhi siapa saja yang
memusuhinya disebabkan kuatnya ma’rifah dia kepada kepada Allah.
Ada yang mengatakan : Bahwa akhlak yang terpuji adalah
dengan dekat kepada setiap manusia namun sebagai seorang yang asing jika berada
ditengah-tengah mereka.
Ada yang mengatakan bahwa akhlak yang terpuji adalah dengan
menjadikan setiap makhluk ridha baik dalam keadaan lapang atau dalam keadaan
sempit. Ada yang berpendapat bahwa akhlak yang terpuji adalah keridhaan dari
Allah ta’ala. Ada yang mengatakan : Bahwa akhlak yang terpuji yang paling
rendah adalah dengan kesanggupan menanggung cobaan, tidak mengharapkan
ganjaran perbuatan, pengasih terhadap yang berlaku dhalim kepadanya,
memintakannya ampunan, dan menyayanginya.
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akhlak
terpuji adalah dengan tidak menuduh al-Haq – Allah – dalam pembeian rizki-Nya,
percaya kepada-Nya, merasa tenang akan penunaian janji-Nya sehingga diapun
mentaatinya dan tidak bermaksiat kepada-Nya dalam setiap perkara antara dirinya
dan Allah, dan antara dirinya dan semua manusia.
4.
Sabar dan Tahan Uji
Di antara keindahan akhlak orang-orang islam dalam berhias
adalah sabar dan tahan uji karena Allah. Kesabaran adalah menahan jiwa atas
hal-hal yang tidak disukai, atau menanggung yang tidak disukai dengan rela dan
pasrah.
Seorang muslim menahan jiwanya atas hal yang tidak dia sukai seperti bersusah payah melaksanakan ibadah dan taat kepada Allah, terus berdisiplin dalam menjalankannya, menahan diri jangan sampai bermaksiat kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur dan sama sekali enggan mendekatinya, meskipun secara naluri nafsunya menginginkan dan tergiur olehnya.
Seorang muslim menahan jiwanya atas hal yang tidak dia sukai seperti bersusah payah melaksanakan ibadah dan taat kepada Allah, terus berdisiplin dalam menjalankannya, menahan diri jangan sampai bermaksiat kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur dan sama sekali enggan mendekatinya, meskipun secara naluri nafsunya menginginkan dan tergiur olehnya.
Ia juga menahan jiwanya atas cobaan yang menimpanya,
sehingga tidak membiarkan bersedih atau membenci, karena kata ahli hikmah
(orang bijak), “kesedihan atas hal yang telah berlalu adalah penyakit,
sedangkan kesedihan atas hal yang sedang terjadi akan melemahkan akal”, dan
benci kepada takdir adalah mencela Alah Dzat Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa
lagi Maha Perkasa.
Karena kesabaran tanpa keluh kesah itu termasuk akhlak yang diusahakan dan diperoleh melalui berbagai macam latihan dan perjuangan, maka seorang muslim selalu amat membutuhkan pertolongan Allah, agar dianugerahi rizki berupa kesabaran dan juga memohon diilhami kesabaran dengan mengingat perintah-perintah yang ada dan pahala yang dijanjikan baginya. Seperti firman Allah:
Karena kesabaran tanpa keluh kesah itu termasuk akhlak yang diusahakan dan diperoleh melalui berbagai macam latihan dan perjuangan, maka seorang muslim selalu amat membutuhkan pertolongan Allah, agar dianugerahi rizki berupa kesabaran dan juga memohon diilhami kesabaran dengan mengingat perintah-perintah yang ada dan pahala yang dijanjikan baginya. Seperti firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
(Al-Imran: 200).
“Sangatlah menakjubkan perkara orang
beriman itu, sesungguhnya urusannya semuanya baik baginya, dan tidak ada yang
demikian itu, kecuali bagi orang yang beriman, yaitu bila bencana menimpanya
dia bersabar maka itu sangat baik baginya, bila kebahagiaan menghampirinya dia
bersyukur, maka itu adalah sangat baik baginya.” (H.R. Muslim [2999]).
Hujjatul Islam Imam al Ghaszali ketika membicarakan tentang akhlak membaginya
dalam dua hubungan. Yang pertama, akhlak seorang hamba ketika berhubungan
dengan Tuhannya (hablun minallah). Akhlak yang pertama ini akan bumi dengan
kesadaran sebagai seorang abdi atau hamba Allah SWT. Yang kedua adalah akhlak
seorang hamba ketika berhubungan dengan sesama manusia (hablun minannas).
Secara sederhana, akhlak yang diadopsi dari bahasa Arab khulq diartikan
sebagai perangai, tingkah laku, atau sikap seseorang. Adapun kebanyakan ulama
mendefinisikannya sebagai sikap dan tingkah loaku yang menyatu pada diri
manusia dan membentuk kepribadiannya. Akhlak biasanya terbentuk dalam jangka
waktu panujang, melalui proses yang berulang-ulang.
Akhlak terpuji seperti jujur, berani, tegas, ramah, sabar, kasih sayang, dan
dermawan tidak mungkin secara tiba-tiba dimiliki oleh seseorang. Sifat-sifat
tersebut melekat dan menjadi karakteristik karena proses penanam nilai serta
pembiasaan yang terus menerus dari kecil hingga dewasa. Begitupun akhlak
tercela.
Karenanya, sangat penting menanamkan dan menjaga kebiasaan-kebiasaan terpuji
yang dilakukan anak-anak, serta mencegah mereka melakukan dan terbiasa dengan
hal-hal yang tercela. Bila sejak dini sudah tertanam sikap-sikap terpuji,
dimasa depan seseorang akan berakhlak terpuji. Dengan demikian, ia akan dikenl
sebagai orang yang berkepribadian dan berakarakter terpuji.
Bila orang-orang yang berakhlak terpuji berkumpul dan menjadi suatu masyarakat,
maka mereka disebut sebagai masyarakat yang berakhlak atau berkarakter terpuji.
Jika masyarakat berakhlak terpuji itu bersatu menjadi suatu bangsa, bangsa
itupun akan dikenal sebagai bangsa yang berakhlak terpuji.
Demikian juga sebaliknya, jika seseorang berperilaku curang, korup, tidak
disiplin, sombong, malas dan boros, maka ia akan dikenal sebagai seseorang
berakhlak tercela.
Kerja besar, seperti membangun bangsa, selalu dimulai dari yang kecil. Mari
selamatkan bangsa dengan memulai dari rumah kita.
DAFTAR PUSTAKA
[2] Prof.
Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktika, Rineka
Cipta, Jakarta: 1997, hal. 72
[3] Ibid,
hal. 73
[4] Drs.
Arief Furchon, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Usaha Nasional,
Surabaya: 1982, hal. 126
[5] Ibid,
hal. 133
[6] Sanapioh
Faiasl, Metodologi Penelitian Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya:
1982, hal. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar