Kamis, 21 Maret 2013

ALAM DAN PEMANFAATAN DALAM PERTANIAN


ALAM DAN PEMANFAATAN
DALAM PERTANIAN
A.    Sumber Daya Alam
Description: 1.jpgSumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah potensi sumber daya yang terkandung dalam bumi, air dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kepentingan pertahanan negara.
Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu.
Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
Sumber daya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
B.     Budidaya Pertanian
Sepanjang Sejarahnya manusia telah berupaya membudidayakan tanaman yang ada di dunia ini yang diperkirakan 350.000 spesies, menjadi tanaman yang berfaedah untuk hidupnya. Diperkirakan, tanaman pertanian di seluruh dunia bisa mencapai 10.000 - 20.000 spesies. Jumlah tanaman yang secara ekonomi cocok pada kegiatan manusia mungkin sekitar 1.000 - 2.000 spesies. Lima belas spesies melengkapi bagian besar tanaman pangan dunia: padi, gandum, jagung, sorgum, barlai, tebu dan bit gula, kentang, ubi jalar dan ubi kayu, kedelai, kacang jogo dan kacang tanah; pisang dan kelapa. Produksi tahunan dalam juta ton dari 30 spesies tanam penting dunia. Di Indonesia sampai sekarang dikenal enam sistem pertanian : sistem ladang, sistem tegal pekarangan, sistem sawah dan sistem perkebunan. Kegiatan pertanian merupakan industri pembuatan bahan organik (gula, tepung, lignin, dsb.) dari zat an-organik (air, karbondioksida, dsb), dengan pabriknya terletak dalam sel-sel daun hijau, dan energinya cahaya matahari.
C.    Pertanian di Lereng Pegunungan
Description: gumang-dari-jembatan.jpgSejauh ini pertanian di lahan pegunungan sering dituding sebagai penyebab terjadinya erosi, longsor dan banjir karena pengelolaannya tidak mengikuti kaidah pertanian yang baik. Institusi yang berwenang dan terlibat dalam fasilitas pengelolaan lahan pegunungan seyogyanya mempunyai persepsi sama tentang Sistem Usaha Tani (SUT) konservasi, serta mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang telah diakui secara internasional. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) kerusakan hutan dan lahan tidak lebih cepat dari regenerasi hutan dan lahan; (2) kepunahan jenis atau spesies tidak melebihi evolusi jenis atau spesies itu sendiri; (3) laju erosi tanah tidak lebih cepat dari pembentukan tanah; (4) emisi karbon tidak lebih tinggi dari fiksasi karbon; dan (5) permintaan akan produk pertanian tidak lebih banyak dari produksi pertanian.
Budidaya pertanian di lahan pegunungan dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi; serta curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah pegunungan dapat menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan lahan dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan pegunungan, tetapi juga di dataran rendah. Oleh karena itu agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, lahan pegunungan perlu dikelola secara optimal dengan sentuhan teknologi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan berbagai penelitian berkaitan dengan teknologi budidaya pertanian pada lahan pegunungan yang dituangkan dalam "Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan". Melalui pedoman tersebut masyarakat diharapkan dapat melakukan budidaya pertanian di lahan pegunungan dengan mengikuti kaidah yang benar. Dengan demikian intensitas dan frekuensi longsor serta erosi dan degradasi lahan pegunungan dapat dikurangi sebagai implementasi dari konsep pertanian yang baik(Good Agricultural Practices).
D.    Mengolah Lahan Kering
Description: kemarau.jpgLahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas  dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971).  Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.  Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.   Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk  keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang.  Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat.  Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering  untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.  Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan.  Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru  sudah tidak  terelakkan lagi.
Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.  Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350  persen (Lombart, 2000).  Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah  di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang.  Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.   Lahan kering  dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
 Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan.  Relief  tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering.  Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.  Ditinjau dari bentuk, kesuburan  dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).  Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan.  Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya  erosi dan penurunan kesuburan yang berat.  Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dan  kelaparan.  Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi  penurunan kekayaan hayati yang berat  (Scherr, 2003). 
E.     Air bagi Pertanian
Description: dar1.h1.jpgKetersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.
Manajemen irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performance kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat untuk 4 buah Dam Parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran sungai.
F.     Pemanfaatan Hutan bagi Pertanian
Description: 20081031140111.jpgLebih dari tiga dekade terakhir, luas kawasan yang digunakan untuk perkebunan kacang kedelai, kelapa sawit, coklat, dan kopi di negara-negara berkembang telah bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu dari 50 juta hektar menjadi 100 juta hektar. Luas ini sama dengan tiga kali luas negara Jerman. Sebagian besar kawasan perkebunan ini dibangun dengan mengkonversi kawasan hutan. Populasi penduduk yang terus meningkat, pendapatan yang lebih baik, dan urbanisasi telah menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan hasil perkebunan tersebut. Sementara lahan dan tenaga kerja yang murah, serta subsidi pemerintah telah mendorong meningkatnya pasokan-pasokan produksi hasil perkebunan ini. Memperluas areal tanaman pada umumnya banyak dilakukan dibandingkan dengan upaya-upaya intensifikasi produksi. Bahkan tidak diketahui dengan jelas berapa keuntungan yang sesungguhnya dapat diperoleh negara-negara berkembang tersebut dengan melakukan hal ini, karena peningkatan produksi menyebabkan harga produk turun, dan keberhasilan ini diikuti dengan kegagalan di sisi lain.

G.    Pertanian dengan Kemurahan Alam
Di daerah dataran tinggi yang ada di pulau Sumatera kebanyakan masyarakat di perkampungan bertani tanaman keras dengan cara yang amat tradisional (yaitu bertani dengan pola sub sistem atau dengan kemurahan alam). Di Indonesia baik pulau Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan maupun Papua, pertanian tanaman keras yang diwariskan oleh generasi sebelumnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu sub sistem.
Pola bertani ini biasanya menggunakan cara dengan menanam tanaman seperti durian, duku, kemiri, aren (secara alami, tumbuh sendiri, dibiakkan oleh hewan liar seperti musang), pinang, pisang, asam gelugur, manggis dll. Diantara tanaman tersebut, banyak juga tanaman yang sudah ada di lahan karena diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Description: durian_malaysia.jpgKhusus untuk daerah Sibolangit, sekitar 30 KM sebelah Selatan dari kota Medan, masyarakatnya juga melakukan pertanian yang sama. Daerah yang dihuni oleh mayoritas suku Batak Karo ini rata-rata kepala keluarga memiliki 4 hektar lahan akan tetapi lahan tersebut tidak digarap secara maksimal, masyarakat hanya mengurus ladang atau kebun mereka ketika musim durian atau buah yang lain yang ada dikebun mereka menjelang (sudah mendekati masa musim buah), bila sudah begini baru mereka sibuk membabat semak belukar di kebunnya agar ketika buah durian jatuh bisa terlihat dan dapat segera diambil untuk dijual, karena jika tidak terlihat dan lama diambil maka buah akan busuk.
Sementara jika tidak ada musim buah maka kebun akan ditinggalkan, para petani biasanya akan beralih professi untuk sementara waktu menjadi pedagang pengumpul, sopir angkot atau taxi di kota Medan atau merantau sementara untuk menjadi buruh harian di daerah lain.



DAFTAR PUSTAKA

·         http://formala.multiply.com/journal/item/9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar