ALAM DAN
PEMANFAATAN
DALAM
PERTANIAN
A. Sumber Daya Alam
Sumber
Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah potensi sumber daya yang terkandung
dalam bumi, air dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan kepentingan pertahanan negara.
Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun
serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus
terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu.
Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan,
hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor
abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya
alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam
bersifat terbatas.
Sumber daya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun
abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan
kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan
tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
B. Budidaya Pertanian
Sepanjang Sejarahnya manusia
telah berupaya membudidayakan tanaman yang ada di dunia ini yang diperkirakan
350.000 spesies, menjadi tanaman yang berfaedah untuk hidupnya. Diperkirakan,
tanaman pertanian di seluruh dunia bisa mencapai 10.000 - 20.000 spesies.
Jumlah tanaman yang secara ekonomi cocok pada kegiatan manusia mungkin sekitar
1.000 - 2.000 spesies. Lima belas spesies melengkapi bagian besar tanaman
pangan dunia: padi, gandum, jagung, sorgum, barlai, tebu dan bit gula, kentang,
ubi jalar dan ubi kayu, kedelai, kacang jogo dan kacang tanah; pisang dan
kelapa. Produksi
tahunan dalam juta ton dari 30 spesies tanam penting dunia. Di Indonesia
sampai sekarang dikenal enam
sistem pertanian : sistem ladang, sistem tegal pekarangan, sistem sawah dan
sistem perkebunan. Kegiatan pertanian merupakan industri pembuatan bahan
organik (gula, tepung, lignin, dsb.) dari zat an-organik (air, karbondioksida,
dsb), dengan pabriknya terletak dalam sel-sel daun hijau, dan energinya cahaya matahari.
C. Pertanian di Lereng Pegunungan
Sejauh
ini pertanian di lahan pegunungan sering dituding sebagai penyebab terjadinya
erosi, longsor dan banjir karena pengelolaannya tidak mengikuti kaidah
pertanian yang baik. Institusi yang berwenang dan terlibat dalam fasilitas
pengelolaan lahan pegunungan seyogyanya mempunyai persepsi sama tentang Sistem
Usaha Tani (SUT) konservasi, serta mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan yang telah diakui secara internasional. Prinsip-prinsip tersebut
adalah (1) kerusakan hutan dan lahan tidak lebih cepat dari regenerasi hutan
dan lahan; (2) kepunahan jenis atau spesies tidak melebihi evolusi jenis atau
spesies itu sendiri; (3) laju erosi tanah tidak lebih cepat dari pembentukan
tanah; (4) emisi karbon tidak lebih tinggi dari fiksasi karbon; dan (5)
permintaan akan produk pertanian tidak lebih banyak dari produksi pertanian.
Budidaya
pertanian di lahan pegunungan dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti
lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi; serta
curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya lahan di daerah pegunungan dapat menimbulkan kerusakan atau cekaman
biofisik berupa degradasi kesuburan lahan dan ketersediaan air yang dampaknya
tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan pegunungan, tetapi juga di
dataran rendah. Oleh karena itu agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan
lingkungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, lahan pegunungan perlu dikelola
secara optimal dengan sentuhan teknologi.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan berbagai penelitian
berkaitan dengan teknologi budidaya pertanian pada lahan pegunungan yang
dituangkan dalam "Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan
Pegunungan". Melalui pedoman tersebut masyarakat diharapkan dapat
melakukan budidaya pertanian di lahan pegunungan dengan mengikuti kaidah yang
benar. Dengan demikian intensitas dan frekuensi longsor serta erosi dan
degradasi lahan pegunungan dapat dikurangi sebagai implementasi dari konsep
pertanian yang baik(Good Agricultural Practices).
D.
Mengolah Lahan
Kering
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif
luas dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya
menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah
digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.
Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.
Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik
tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat
berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat
menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan
meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk
pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan
keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi
kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak
terelakkan lagi.
Sejak akhir abad
ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan
sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.
Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350
persen (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan
basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi
penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non
pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada
ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada
ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
Lahan kering di Indonesia menempati lahan
tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan
tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut
menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio
dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.
Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan
lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).
Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering
secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah
dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan
kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk
menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim
di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan
secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan
terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara
pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi
akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati
yang berat (Scherr, 2003).
E.
Air bagi Pertanian
Ketersediaan
air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit.
Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat
terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif
maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit
ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan
pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan
jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah.
Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman
akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan,
pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak
buah rendah.
Manajemen
irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat pengukur
debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk
meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit
seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi
suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa
sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performance
kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat
untuk 4 buah Dam Parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran
sungai.
F.
Pemanfaatan Hutan
bagi Pertanian
Lebih
dari tiga dekade terakhir, luas kawasan yang digunakan untuk perkebunan kacang
kedelai, kelapa sawit, coklat, dan kopi di negara-negara berkembang telah
bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu dari 50 juta hektar menjadi 100 juta
hektar. Luas ini sama dengan tiga kali luas negara Jerman. Sebagian besar
kawasan perkebunan ini dibangun dengan mengkonversi kawasan hutan. Populasi
penduduk yang terus meningkat, pendapatan yang lebih baik, dan urbanisasi telah
menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan hasil perkebunan tersebut.
Sementara lahan dan tenaga kerja yang murah, serta subsidi pemerintah telah
mendorong meningkatnya pasokan-pasokan produksi hasil perkebunan ini. Memperluas
areal tanaman pada umumnya banyak dilakukan dibandingkan dengan upaya-upaya
intensifikasi produksi. Bahkan tidak diketahui dengan jelas berapa keuntungan
yang sesungguhnya dapat diperoleh negara-negara berkembang tersebut dengan
melakukan hal ini, karena peningkatan produksi menyebabkan harga produk turun,
dan keberhasilan ini diikuti dengan kegagalan di sisi lain.
G.
Pertanian dengan
Kemurahan Alam
Di daerah dataran
tinggi yang ada di pulau Sumatera kebanyakan masyarakat di perkampungan bertani
tanaman keras dengan cara yang amat tradisional (yaitu bertani dengan pola sub
sistem atau dengan kemurahan alam). Di Indonesia baik pulau Sumatera, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Kalimantan maupun Papua, pertanian tanaman keras yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu sub
sistem.
Pola bertani ini
biasanya menggunakan cara dengan menanam tanaman seperti durian, duku, kemiri,
aren (secara alami, tumbuh sendiri, dibiakkan oleh hewan liar seperti musang),
pinang, pisang, asam gelugur, manggis dll. Diantara tanaman tersebut, banyak
juga tanaman yang sudah ada di lahan karena diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Khusus untuk daerah Sibolangit, sekitar
30 KM sebelah Selatan dari kota Medan, masyarakatnya juga melakukan pertanian
yang sama. Daerah yang dihuni oleh mayoritas suku Batak Karo ini rata-rata
kepala keluarga memiliki 4 hektar lahan akan tetapi lahan tersebut tidak
digarap secara maksimal, masyarakat hanya mengurus ladang atau kebun mereka
ketika musim durian atau buah yang lain yang ada dikebun mereka menjelang
(sudah mendekati masa musim buah), bila sudah begini baru mereka sibuk membabat
semak belukar di kebunnya agar ketika buah durian jatuh bisa terlihat dan dapat
segera diambil untuk dijual, karena jika tidak terlihat dan lama diambil maka
buah akan busuk.
Sementara jika tidak
ada musim buah maka kebun akan ditinggalkan, para petani biasanya akan beralih
professi untuk sementara waktu menjadi pedagang pengumpul, sopir angkot atau
taxi di kota Medan atau merantau sementara untuk menjadi buruh harian di daerah
lain.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0040%20Bio%201-9a.htm
·
http://formala.multiply.com/journal/item/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar