BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Zakat adalah
salah satu syari’at yang menjadi sendi tegaknya Islam (min arkan al- Islam).
Syari’at ini selain mempunyai dimensi kesalehan kepada Allah (habl min
Allah) juga mempunyai dimensi social (habl min al-naas). Tujuan disyari’atkannya
untuk menciptakan kesejahteraan umat secara merata, sekaligus untuk
membersihkan harta dari berbagai syubhat dan mensucikan jiwa dari
bermacam-macam sifat tercela.
Kebanyakan
kaum muslimin dalam memahami masalah zakat masih terfokus pada pembahasan fiqh
yang memandangnya sebagai masalah ritual semata (ibadah mahdhah) dan
statis, belum menyentuh pada masalah-masalah social yang berkembang sekarang
ini. Kategori orang kaya adalah orang-orang yang memiliki sapi 30 ekor, atau
memiliki kambing 40 ekor, atau memiliki unta 5 ekor, atau memiliki gandum,
beras, jagung, kurma dan anggur sebanyak 5 wasaq, atau memiliki emas 20
dinar/misqal atau perak murni sebanyak 200 dirham.
B. Latar Belakang
Hasil profesi
atau hasil kerja seperti pegawai negeri dan swasta, dokter, pengacara,
konsultan, notaris dan sebagainya belum dikenal di zaman klasik sebagai suatu
sumber penghidupan yang menjanjikan kesejahteraan. Dengan demikian Ulama Salaf
tidak banyak mempersoalkan masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi dan
hasil kerja tersebut, terutama yang berhubungan dengan masalah zakat. Lain
halnya dengan bentuk-bentuk kasab tradisional seperti pertanian,
perkebunan, peternakan dan perniagaan yang sudah popular di masyarakat zaman
itu, maka bidang-bidang ini telah mendapat perhatian para Ulama sehingga
mendapat porsi pembahasan lebih luas yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka.
BAB II
PERMASALAHAN
A.
Pengertian Zakat
Profesi dan Jasa
Kata zakat
semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh,
berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh
(terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah
dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab,
6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah
yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin
dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat
menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan
kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang
artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan
demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat
hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai
negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Dalam
prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat
dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak
lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan
pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).
Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa
tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya
seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaries, seniman, pengacara,
artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing
memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang
mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan
setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan
pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya
seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai
perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang
memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan
B.
Kewajiban Zakat
Profesi dan Jasa
Perubahan
masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju
masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari
pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan
modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi
bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa
dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada
usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. Misalnya seperti
pejabat tinggi negara, pimpinan partai politik, pegawai negeri, pegawai
perusahaan, perbankan, penerbangan, angkutan umum, transportasi, telkom dan
sebagainya, mereka memperoleh penghasilan secara rutin yang cukup besar pada
setiap bulannya. Atau seorang pegawai professional yang memberikan pelayanan
tanpa terikat oleh kontrak dan waktu seperti dokter praktek, pengacara,
konsultan, kontraktor, seniman dan sebagainya yang memperoleh bayaran atau
imbalan jasa yang besar pada setiap kegiatan. Semua usaha ini umumnya lebih
menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang
sekarang sudah mulai tidak diminati orang.
C.
Nisab Zakat Profesi
dan Jasa
Muhammad
Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan
nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian
dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan
keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena
modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini
berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat
secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama harta kekayaan yang
menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal
uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua
harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang
masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi
disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan
karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya
menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang
dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan.
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sektor
perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan
sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata.
Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras dan kadar zakatnya
5-10%.
Yusuf Qardhawi
mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sektor
pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12
kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,- atau 7.20 kwintal beras X
Rp 2500,- = Rp 1.800.000,- sedangkan kadar zakatnya 10% yaitu 120 kg
gabah atau 72 kg beras = Rp 180.000,- atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg
gabah atau 36 kg beras = Rp 90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha’ X 4
mud X 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup
Qardhawi memberikan komentar barang kali Pembuat syari’at menghendaki demikian
karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat.
Selanjutnya
beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil
profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru’).
Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan
uang tunai. Dengan demikian nisabnya 90 gram emas atau Rp
8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5%
yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram, maka 20
misqal/dinar = 90 gram.
Pendapat
Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi
sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama
pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati
ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil
eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka
menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat
jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam.
Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian
sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,-
adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal
permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum
termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang
cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu
diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud
“zakat profesi” ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang
bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter,
pengacara dan sebagainya.
Pekerjaan yang
diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian;
pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah)
dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja
profesi (kasb al-’amal).
Pendapat
Yusuf Qardhawi lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber
pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang
diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum),
kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min
ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan
hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan
menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam.
DAFTAR PUSTAKA
§ http://dinazhar.multiply.com/journal/item/38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar