Kamis, 16 Mei 2013

Zakat Profesi dan Jasa


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
Zakat adalah salah satu syari’at yang menjadi sendi tegaknya Islam (min arkan al- Islam). Syari’at ini selain mempunyai dimensi kesalehan kepada Allah (habl min Allah) juga mempunyai dimensi social (habl min al-naas). Tujuan disyari’atkannya untuk menciptakan kesejahteraan umat secara merata, sekaligus untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan mensucikan jiwa dari bermacam-macam sifat tercela.
Kebanyakan kaum muslimin dalam memahami masalah zakat masih terfokus pada pembahasan fiqh yang memandangnya sebagai masalah ritual semata (ibadah mahdhah) dan statis, belum menyentuh pada masalah-masalah social yang berkembang sekarang ini. Kategori orang kaya adalah orang-orang yang memiliki sapi 30 ekor, atau memiliki kambing 40 ekor, atau memiliki unta 5 ekor, atau memiliki gandum, beras, jagung, kurma dan anggur sebanyak 5 wasaq, atau memiliki emas 20 dinar/misqal atau perak murni sebanyak 200 dirham.
B.     Latar Belakang
Hasil profesi atau hasil kerja seperti pegawai negeri dan swasta, dokter, pengacara, konsultan, notaris dan sebagainya belum dikenal di zaman klasik sebagai suatu sumber penghidupan yang menjanjikan kesejahteraan. Dengan demikian Ulama Salaf tidak banyak mempersoalkan masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi dan hasil kerja tersebut, terutama yang berhubungan dengan masalah zakat. Lain halnya dengan bentuk-bentuk kasab tradisional seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perniagaan yang sudah popular di masyarakat zaman itu, maka bidang-bidang ini telah mendapat perhatian para Ulama sehingga mendapat porsi pembahasan lebih luas yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka.
BAB II
PERMASALAHAN

A.    Pengertian Zakat Profesi dan Jasa
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab, 6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaries, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan
B.     Kewajiban Zakat Profesi dan Jasa
Perubahan masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. Misalnya seperti pejabat tinggi negara, pimpinan partai politik, pegawai negeri, pegawai perusahaan, perbankan, penerbangan, angkutan umum, transportasi, telkom dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan secara rutin yang cukup besar pada setiap bulannya. Atau seorang pegawai professional yang memberikan pelayanan tanpa terikat oleh kontrak dan waktu seperti dokter praktek, pengacara, konsultan, kontraktor, seniman dan sebagainya yang memperoleh bayaran atau imbalan jasa yang besar pada setiap kegiatan. Semua usaha ini umumnya lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang sekarang sudah mulai tidak diminati orang.
C.    Nisab Zakat Profesi dan Jasa
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sektor perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras  dan kadar zakatnya 5-10%.
Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sektor pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,-  atau 7.20 kwintal beras X Rp 2500,- = Rp 1.800.000,- sedangkan kadar zakatnya 10%  yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 180.000,-  atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud X 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup Qardhawi memberikan komentar barang kali Pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya 90 gram emas atau  Rp 8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram, maka 20 misqal/dinar = 90 gram.
Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam. Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud “zakat profesi” ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal). 
Pendapat Yusuf Qardhawi lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam.


DAFTAR PUSTAKA
§  http://dinazhar.multiply.com/journal/item/38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar