BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Abad 21
disebut pula dengan milenium ketiga dan abad globalisasi. Konon, milenium
ketiga ini ditandai beberapa hal yang merupakan kelanjutan abad modern (dan
modernisasi) yaitu antara lain kemajuan iptek, semakin besar materialisme,
kompetisi global dan persaingan bebas yang semakin ketat. Dan salah satu
dampak negatif modernisasi adalah menurunnya nilai agama. Dalam bayangan
seperti itu seharusnya diperlukan keadaan masyarakat yang siap untuk mengarungi
globalisasi. Baru pada tahap berikutnya adalah kesiapan kehebatan sistem
pendidikan atau proses pemindahan ilmu dan ketrampilan untuk mampu bersaing
tersebut. Khusus untuk pendidikan agama, seandainya tidak ada krisis
multidimensi, agama sangat diperlukan untuk kesiapan menghadapi tantangan ten
abut sekaligus menghadapi dampak negatif dan apa yang akan terjadi dalam
milenium ketiga tadi. Kondisi saat ini menunjukkan, di samping bayangan tuga3
yang begitu berat menghadapi arus globalisasi, masih ada tugas yang lebih berat
lagi yaitu memperbaiki moralitas bangsa, yang berpangkal dan moralitas insan
Indonesia melalui pendidikan agama.
Mengantisipasi abad 21, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)
telah merumuskan visi dasar pendidikan (Ada yang menyebutkan lima visi dasar dengan
menambahkan learning to learn). Ini artinya, pendidikan masa depan menurt
UNESCO haruslah mengacu pada empat dasar itu. Atau dapat dikahkan, jika tidak
mengacu pada empat dasar tersebut maka pendidikan tidak akan sesuai dengan
tantangin kehidupin di milenium k.etiga ini. Tulisan (topik) ini makin mencoba
menguraikan empat dasar tadi dengan penjelasan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini
dimaksudkan bukan untuk apcogis, namun mempunyai tujuan ganda: (a), memudahkan
untuk memahami nilai-nilai universal dengan pendekatin agama yang dipeluk; dan
(b), mengingatkan kita bahwa agama ini sebenarnya telah mengajarkan nilai-nilai
yang sejalan dengan nilai-nilai universal dan modern tersebut.[1]
B. Rumusan Masalah
Dalam
uraian sebelumnya penulis dapat mengambil kesimpulan beberapa permasalahan yang
selanjutnya akan di bahas pada Bab Pembahasan yaitu :
1. Memberi landasan bagi
umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan oleh Unesco tidak bertentangan dengan
ajaran Islam
2. Memberi penekanan
pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam yang selama ini
kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan.
3. Memberi keseimbangan
kepada saudara-saudara yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan ekslusif.
C.
Tujuan dan Kegunaan
1. Untuk memberi
landasan bagi umat Islam yang diamanatkan Unesco tidak bertentangan dengan
ajaran Islam
2. Untuk memberi
penekanan pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam yang
selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan.
3. Untuk memberi keseimbangan
kepada saudara-saudara yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan ekslusif.
BAB II
PEMBAHASAN
UNESCO dalam bahasa agama
dalam waktu bersamaan dapat pula berarti sedang menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam dengan bahasa Unesco.
Uraian empat dasar UNESCO tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Learning to think (belajar
bagaimana berpikir); atau learning to know. Berpikir yang terus-menerus ini
bukan hal yang mudah. Termsuk di sini adalah sasaran agar berpikir secara
rasional, tidak semata-mata mengikuti atau ‘membeo”, bahkan juga tidak mandeg
atau tumpul. Hasilnya akan
menjadikan seseorang independen, gemar membaca, mau selalu belajar, mempunyai
pertimbangan rasjonal tidak semata-mata emosional dan selalu curious untuk tahu
segala sesuatu. Bukankah banyak ayat al-Quran mengajarkan untuk berpikir dan
belajar, baik menggunakan istilah berpikir maupun tantangan secara langsung.
Ungkapan afala taqilun” (apakah kamu tidak menggunakan akal/ berpikir ? sebagai
ungkapan teguran dan Allah) kita jumpai di dalam al-Quran tidak hanya sekali.
Al-Quran juga menyebutkan bahwa salah satu ciri ulu al-albab adalah mereka yang
berpikir tentang penciptaan langit dan bumi . Lebih dan sekedar teguran dan
suruhan untuk perpikir, tidak sedikit ayat yang berupa tantangan berpikir
secara nil, (bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan dan
bagaimana bumi dibentangkan). Curiousity (keingintahuan) menjadi sangat penting
dalam hidup, dan hal ini baru dapat terwujud jika kita mampu selalu berpikir.
Dalam tradisi Islam, termasuk syut-untuk dapat ilmu adalah dzaka (cerdas-minimal
1Q normal) dan hirsh (sikap ingin tahu atau curious). Kita juga tidak lupa terhadap
kisah Nahi Ibrahim dan Nabi Ismil. Ketiga Ibrahim menyampaikan wahyu Allah untuk
menyembelih Ismail, ia menyuruh ismail untuk berpikir yang benar yang dapat menghasilkan
kesimpulan yang benar pula. Berpikir juga erat sekali kaitannya dengan belajar seumur
hidup (min al mad ila al-lahd). Lebih dari itu, dalam abad 21 ini, berpikir di
tantang untuk mengikuti perkemnbangan dan sekaligus mengembangkan alat – alat
yang digunakan dalam information to
technologiy yang menjadi salah satu ciri globalisasi[2]
2.
Learning to do (belajar
hidup atau belajar bagaimana berbuat/bekerja). Pendidikan dituntut untuk
nienjatlikati anak didik setelai
selesai (lulus) mampu berbuat dan sekaligus mampu mernperbaiki kualitas hidupnya,
sesuai dengan tantangan yang ada. ini
realistis. Dengan ketatnya kompitisi
global, kita dituntut untuk semakin profesional, mempunyai skill yang berkualitas untuk mampu berkompetisi. Agama Islam banyak menyebutkan perintah Allah
kepada hamba hanya agar beramal shalih. Amal shalih (perbuatan/karya. yang baik) adalah salah satu syarat agar seseorang tidak berada pada tempat yang
paling rendah (asfala saflin) . Lebih
dan itu, ada juga tantangan Allah kepada
manusia agar mengelola bumi seisinya. Namun, dalam waktu bersamaan, Allah
juga mengecam dan melarang hambanya berbuat kerusakan di
atas bumi. Sudah barang tentu, di
samping kemampuan (skill) sangat diperlukan,
ketekunan, kerja keras, tanggung jawab, disiplin
dan semacamnya juga sangat diperlukan untuk
mampu berkompetisi ‘ecara ketat. Aiaran Islam sangat mengecam terhadap yang meminta-minta, tanpa berkarya/bekerja,
meskipun juga menganjurkan untuk berbuat baik kepada para pengemis. Nah, di
sini motivasi sangat penting, sehingga menekankan kepada murid bahwa bekerja
itu ibadah juga penting; dalam waktu bersamaan, pemaknaan ajaran ibadah
dikaitkan dengan proses keberhasilan kerja juga sangat penting. Pembinaan
mentalitas untuk siap bekerja juga sangat penting. mi akan menjadi landasan
untuk persiapan kerja secara professional. Sebagai contoh, zakat sebagai
kewajiban dan infaq, sadaqah, serta amal shalih/jariyah sebagai anjuran harus
dimaknai sebagai wujud keberhasilan bekerja dan bukan sebagai beban. Sedangkan
memberikan hasil jerih payah itu perlu dijelaskan pula dengan pendeta dan
kemanusiaan (humanistic). Jadi, ajaran-ajaran inipun harus mampu menjadi
motivasi dan sekaligus sebagai faktor pendukung yang dinamis untuk bekeija.
Learning to do mi perlu pula dipahami dalam kontek bekerja atau beramal;
sedangkan learning to be (di bawah nanti) dalam kontek etika.[3]
3.
Learnig to be (belajar
bagaimana tetap hidup; atau sebagai dirinya). Untuk dapat tetap hidup diperlukan
pula ‘tahu din”. Dalam bahasa agama kita, hal mi akan menghasilkan sikap tahu
din, sikap memahami dirinya sendiri, sadar kemampuan din sendiri, dan nantinya
akan mampu menjadikan dirinya mandiri. Man‘arafa
nafsahfa-qad ‘arafa rabbah
(barangsiapa mengetahui dirinya sendiri ia akan mengetahui Tuhannya). Dengan
demikian, seseorang yang telah menjalankan hal ini akan terhindar dan sikap dengki,
serakah, dan sifat tercela (perilaku tercela)
Karena tahu diri ia akan menghindarkan dirinya dan iKap mngkhaya[ di
luar kemampuannya. Dengan sikap ini
pula ia akan menghindarkan dan sikap serakah, ketergantungan kepada orang lain,
dan sesamanya. Hasil akhira akan mandiri dan menyadari realitas. Ajaran ini
memerlukan sikap tahu diri juga akan menghasilkan perilaku (keadilan) dan
kejujuran terhadap kenyataan yang ada. Pendidikan haruslah mengajarkan kepada
anak didik agar menjadi ‘tahu diri sehingga sadar atas kekurangannya, kemudian belajar. Sadar atas kemampuannya akan membangkitkan.[4]
4.
Learni to
live together (belajar untuk hidup bersama sama). Ini merupakan dunia kenyataan pluralisme. Hal ini dapat
terwujud jika kita berseisa menerima
kenyataan akan admya perbedaan. Pemahaman terhadap pluralisint akan menyadarkan
kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan semacamnya Abad 21 adalah abad globa1 sekaligus plural. Dalam masyarakat Indonesia dikenal istilah
SARA yang pada dasarnya netral dan banyak mengandung potensi positif. Dunia
realitas memang terdiri dan pelbagai macam etnis, suku, agama, eksklusivisme
yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat
terjadi. Kenyataan ini semakin kongkrit lagi dengan adanya globalisasi yang
dikualifikasi alat-alat teknologi
informasi, dimana pluralisme sama sekali tidak dapat dihindari. Oleh karena
itu, caa yang lw’us dipilih adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan
bersama-sama, tanpa harus uniformity (serba satu); saling mernanfaatkan potensi
positifnya untuk saling menopang kéhidupan bersama. Sudah barang tentu batasannya
tipis sekali, yakni hanya akidah yang tidak diperbolehkan campuran. Masalah ini
bukan hal yang sulit kalau kita sudah menyadari akan terjadinya perbedaan
akidah. Islam dengan jelas telah mengajarkan realitas perbedaan agama mi dengan
sederhana dan tegas.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbedaan
agama itu akan dijelaskan sendiri oleb Allah di akhirat kelak (QS al-Ma’idah
[5j: 48). Islam juga jelas memerintahkan perlunya saling mengenal dan saling
belajar serta saling memanfaatkan atau membantu satu sama lain, meskipun ada
perbedaan suku, etnis, bahasa, warga negara, dan sebagainya. Lebih dari itu,
Islam menganggap terjadinya perbedaan adalah sebagai rahmah. Menghargai
nilai-nilai kemanusiaan sangat dianjurkan dalam Islam. mi herarti, pendidikan
harus mengarahkan anak-anak didik agar siap dan mampu hidup bersama-sama, tanpa
permusuhan karena perbedaan etnis, agama, atau golongan.
Dan uraian
di atas, keempat dasar visi pendidikan abad 21 menurut UNESCO pada dasarnya
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan hampir semuanya sejalan. Yang
tidak diporbolehkan hanyalah saling menukar agama. Memeluk. agama atau
berakidah pada dasarnya merupakan hak yang aling asasi (HAM). Sementara melaksakan
agama kepada orang lain bukan saja melanggar HAM.
B.
Saran
1. Pendidikan agama, dalam
mengarungi era globalisasi ini perlu mencakup empat visi dasar di atas. Hal ini
semakin bermakna jika para penddik kita mampu mendasarinva dengan nilai-nilai
agama/islam.
2. Dengan kata lain, agama
seharusnya diajarkan dengan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan yang sedang muncul
3. Guru harus mengajak murid
membangun kebersamaan dan persatuan antar sesama siswa dengan berpikir sehat,
sadar diri, dan bersedia menjaga lingkungan serta berorientasi pada karya dan
prestasi untuk masa depan mereka
DAFTAR PUSTAKA
Azizy,
A. Qodri. Islam dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta : LKIS. 2000
Azra. Azyumardi. Esei – Esei Intelektual Muslim
dan Pendidikan Islam. Jakarta Logos 1998
Huda. Nuril. Desentralisasi
Pendidikan Pelaksanaan dan Permasalahannya. Dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan V : 017 (Juni 1999)
Bailyn. Bernard. Education Inthe Forming Of American Society.
New York : ww. Narton & Company. 1960
Aronowitze, Stanley dan Henry A. Giqoux Post modern Education. ;
Politics, culture and social crtisism. Minneapolis : University Of minnesota
press. 1993
[3] Huda. Nuril. Desentralisasi Pendidikan
Pelaksanaan dan Permasalahannya. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
V : 017 (Juni 1999)
[4] Bailyn.
Bernard. Education Inthe Forming Of American Society. New York : ww. Narton & Company. 1960
[5]
Aronowitze, Stanley
dan Henry A. Giqoux Post modern Education. ; Politics, culture and social
crtisism. Minneapolis : University Of minnesota
press. 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar